Subscribe Us

TAKUT MENIKAH, LUKA EKONOMI KAPITALISME


Oleh Anita Arwanda, S.Pd. 
(Pendidik, Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Remaja)


Vivisualiterasi.com - Akhir Oktober 2025 lalu, media sosial Threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Unggahannya itu viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Dalam kata lain, mereka yang menyukai unggahan tersebut setuju dengan pendapat si pemilik akun.

Situasi dunia memang selalu dinamis, membentuk pola pikir dan tindakan setiap generasi manusia berbeda-beda. Di Indonesia yang sudah berusia 80 tahun dan sudah delapan kali berganti presiden, jumlah penduduk miskin negeri ini menurut Bank Dunia per 2024 masih 194,4 juta jiwa atau 68,2 persen dari total populasi.

Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2024 naik menjadi Rp 68,62 juta per tahun (Rp 6,55 juta per bulan), biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga tinggi. Mengambil contoh di Jakarta, BPS menyebut biaya hidup di sini paling tinggi di antara kota lain di Indonesia. Per bulan biaya hidup di Jakarta mencapai sekitar Rp 14,88 juta untuk rumah tangga yang terdiri dari dua hingga enam orang.

Sementara portal loker Dealls menghitung perkiraan hidup lajang di Jakarta pada 2025 berkisar Rp 4,5 juta sampai Rp 6 juta yang sudah termasuk pengeluaran sewa tempat tinggal, transportasi, makan, utilitas, dan hiburan. Paham menabung, tapi sulit konsisten Populasi warga Indonesia saat ini didominasi oleh Gen Z yakni 74,93 juta jiwa berdasarkan data Sensus Penduduk 2020. Sedangkan Gen Milenial ada di bawahnya, 69,38 juta jiwa.

Gaya hidup Gen Z sering dianggap mencerminkan hedonisme, konsumtif, dan impulsif. Namun sebenarnya Gen Milenial dan Gen Z lebih melek untuk menabung dan berinvestasi. Perilaku menabung menunjukkan menyadari pentingnya menabung untuk hari tua, masa pensiun, dan kebutuhan tak terduga (Anastasya & Pamungkas, 2023).

Populix mengadakan survei kepada Gen Z dan Milenial yang dirilis pada Juli 2025. Didapati bahwa sebanyak 42 persen dari mereka, didominasi oleh Milenial, langsung menyisihkan porsi pengeluaran dan untuk menabung ketika sudah memiliki pendapatan. Lalu sebanyak 27 persen responden, mayoritas Gen Z, memilih menabung terlebih dahulu baru sisa pendapatan yang dimiliki dihabiskan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahma Hidayati dkk (2025) dari Indonesia Banking School dengan judul Generation Z's Consumption and Savings Preferences Amidst Economic Uncertainty: A Thematic Analysis Approach memaparkan bahwa Gen Z memiliki pemahaman dasar tentang pentingnya menabung, tetapi disiplin dan konsistensi menjadi tantangan.

Ketakutan untuk Menikah

Di saat yang bersamaan, angka pernikahan di Indonesia turun drastis sejak 2023. Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana, M.Psi, pada 2024 lalu menuturkan bahwa menurunnya angka pernikahan disebabkan faktor yang pertama yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan. Faktor kedua ialah kemiskinan dan finansial. "Faktor kemiskinan juga menjadi penghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya, dikutip dari situs Unair.

Faktor ketiga menurut Dr Ike adalah ketidaksiapan fisik, mental dan finansial. Ia mengatakan, generasi muda saat ini cenderung ingin mencapai stabilitas finansial dan kematangan emosional sebelum memutuskan untuk menikah.

Miskin atau Tak Menikah yang Lebih Menakutkan?

Daffar, 24 tahun asal Banten yang merantau di Jakarta sebenarnya mengaku takut akan dua-duanya. Namun ia merasa lebih takut miskin.

"Kalau saya miskin saya enggak bisa ngapa-ngapain, hidup ajaa susah, gimana saya mau bahagia," ucap Daffa lewat pesan singkat, Kamis (20/11). Ia pun setuju bahwa ada keterkaitan antara kondisi finansial dengan ketakutan menikah.

"Itu jelas (berpengaruh). Jadi cowok miskin, siapa yang mau nikah sama saya?" ungkap Daffa.

Menurutnya, keinginan menikah itu ada tetapi bagi pria perekonomian menjadi hal sensitif untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

"Buat diri sendiri aja kadang susah. Kecuali kalau udah settle banget, di atas UMR gajinya, agak berani tuh buat ke sana (pernikahan)," tuturnya. Bagi Ahsan (27), menjadi miskin atau tidak menikah adalah pilihan yang sulit. 

"Opposite miskin dan gak nikah kan sumber kebahagiaan. Kalau pilih salah satu, misal enggak miskin tapi enggak nikah atau nikah tapi miskin, saya lebih baik pilihan pertama," kata Ahsan asal Jawa Barat.

"Karena kalau enggak nikah, kita masih bisa self-reward atau masih bisa nyenangin keluarga, apalagi masih ada orang tua sebagai keluarga terdekat. Kalau miskin tapi nikah, enggak mikir aja sih karena belum stabil diri sendiri udah nambah tanggungan," jelasnya.

Senada, dari sudut pandang sebagai wanita, Tiara (25) asal Jakarta juga lebih takut miskin. Kondisi ekonomi yang tidak baik berisiko menghancurkan rumah tangga menurutnya. "Kalau nikah miskin juga isinya emosi mulu. Ujung-ujungnya enggak nikah lagi," ujar Tiara. (sumber : kompas.com)

Dari fakta di atas, bisa diketahui banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. Secara realita memang ada benarnya sebab ketika sudah berkeluarga pengeluaran untuk kebutuhan akan sangat tinggi, suami yang berkewajiban menafkahi keluarga banting tulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga agar bisa memiliki kehidupan yang layak dan sejahtera seperti rumah, kebutuhan dapur, keperluan rumahtangga juga ketika sudah memiliki keturunan maka lonjakan kebutuhan semakin meningkat untuk pendidikan bahkan ketika keluarga dalam keadaan sakit atau urgent.

Rumah tangga tidak bisa lepas dari kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi setiap hari, namun faktanya juga lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang tidak murah, ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama. Ditambah narasi "marriage is scary" memperkuat ketakutan akan pernikahan.

Ketakutan miskin dari sistem Kapitalisme yang membuat biaya hidup tinggi, pekerjaan sulit, dan upah rendah. Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga beban hidup dipikul individu. Gaya hidup materialis dan hedon tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Pernikahan dipandang beban, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan melanjutkan keturunan.

Pandangan Islam

Dalam Islam, penguasa atau pemimpin sangat berperan penting untuk menjalankan fungsinya salah satunya sebagai Riayatul syu'unil ma'al umat (pengurus urusan umat). Negara menyediakan kebutuhan dasar rakyat, membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam, menstabilkan harga pangan, menyediakan berbagai fasilitas secara terjangkau bahkan gratis. Pengelolaan sumber daya alam sesuai syariat, tidak boleh diserahkan pada asing, aseng apalagi diprivatisasi sehingga hasilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat dan mampu menekan biaya hidup. Pendidikan berbasis aqidah yang akan membentuk generasi berkarakter, tidak terjebak hedonisme dan materialisme justru generasi ini menjadi penyelamat umat. Negara juga sebagai penguat institusi keluarga, mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan.

Rasulullah ï·º bersabda:
“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu perisai, rakyat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Seorang pemimpin negara akan menegakan syariat dengan benar sesuai apa yang sudah diajarkan termasuk menjaga hukum pernikahan, mempermudah terlaksananya pernikahan, melarang adanya zina, juga membantu para suami mempermudah dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Sehingga masing-masing anggota keluarga akan mudah menjalankan kewajibannya. Negara akan memfasilitasi pernikahan sesuai syariat bukan mempersulit dan memperumit. Negara akan melindungi perempuan dari penelantaran. Negara akan menjaga nasab dengan tegas. Wallahua'lam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar