Oleh Gien Rizuka
(Kontributor Vivisualiterasi)
Vivisualiterasi.com - Belum usai luka yang mengiris Palestina, kini gejolak Sudan kembali merekah ke permukaan. Sudan, negeri yang dihuni mayoritas kaum muslim, telah sekian lama memikul beban sejarah kelam, diburu bayang-bayang penindasan dan kekerasan yang tak kunjung reda.
Menurut kabar, Sudan telah merana sejak sebelum merdeka. Bahkan ada yang menyebut perang terjadi jauh sebelum kemerdekaan resmi disahkan dan berlanjut setelahnya. Maka, 1 Januari 1956 sebagai tanggal kemerdekaan tidak mampu mewakili kondisi Sudan yang lebih baik. Pada masa itu pula konflik internal muncul.
Pada periode 1955–1972 dan 1983–2005, Sudan diselimuti perang saudara dan pergolakan politik yang memanas, yang berpuncak pada serangkaian kudeta berulang. Sudan mengalami enam kudeta berhasil dan sepuluh kudeta gagal sejak kemerdekaan (Kompas.id, 25/4/23).
Konflik saudara di Sudan pertama kali pecah antara wilayah utara dan selatan. Sekitar lima ribu jiwa tewas dalam insiden tersebut. Akar konflik ini berangkat dari tuntutan otonomi regional dan representasi yang lebih besar dari wilayah selatan Sudan kepada pemerintahan pusat di utara. Perang saudara ini menjadi salah satu konflik internal terpanjang dalam sejarah dan berpuncak pada sebuah perjanjian yang justru membuka jalan bagi kemerdekaan Sudan Selatan pada 2011.
Namun, luka Sudan belum berakhir. Pada 2023, konflik internal kembali berkobar, membuka lembaran baru ketidakstabilan di negeri tersebut. Bentrok antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) melanda Khartoum dan Darfur, memicu bencana kemanusiaan yang menghantam rakyat Sudan.
Setidaknya 522.000 anak tewas akibat kelaparan dan penyakit dampak perang ini. Di sisi lain, jumlah korban tewas keseluruhan akibat pembantaian terarah yang diduga dilakukan RSF dan sekutunya terus meningkat.
Di Negara Bagian Khartoum saja, angka kematian mencapai sedikitnya 61.000 orang, 26.000 di antaranya merupakan korban langsung kekerasan fisik. Lebih dari 8,8 juta orang terpaksa meninggalkan rumah, dan lebih dari 3,5 juta lainnya mengungsi ke luar negeri untuk mencari perlindungan. Pada Agustus 2024, Komite Peninjau Kelaparan dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC) mengonfirmasi terjadinya kelaparan di beberapa bagian Darfur Utara, menambah panjang daftar penderitaan Sudan.
Sudan di Bawah Bayang Kolonial Global
Sudan kini menjadi simbol perjuangan negeri yang tak pernah berakhir. Warisan penjajahan masih membekas, dan cengkeraman nafsu kapitalisme global terus memengaruhi setiap sendi kehidupan, bahkan setelah kemerdekaan. Derita Sudan belum berakhir, menjadi bukti nyata dampak abadi kolonialisme.
Perpecahan yang direkayasa, kapitalisasi sumber daya alam, serta intrik geopolitik masa kini masih membayangi kehidupan Sudan. Semua itu menunjukkan bahwa negeri ini tidak pernah benar-benar berdiri tegak di atas fondasinya sendiri.
Sejak awal, Sudan dipaksa memikul warisan politik yang retak, sengaja dirangkai oleh kekuatan global untuk merapuhkan ikatan sosial, mengadu domba antarkelompok etnis, serta memecah-belah kesatuan wilayah. Peta yang digoreskan tangan asing tidak pernah ditujukan untuk membangun stabilitas, melainkan untuk memastikan Sudan tetap mudah dikuasai dan pintu masuk negeri itu selalu terbuka bagi kepentingan pihak luar.
Pada dekade-dekade berikutnya, bayang-bayang kolonialisme tidak enyah dari tubuh Sudan. Para penjajah justru bertransformasi dalam menjalankan misi mengendalikan Sudan. Kekuasaan asing kini bermain di balik layar, mengatur panggung global dengan misi tersembunyi yang diskriminatif serta merugikan Sudan secara ekonomi.
Negeri yang kaya sumber daya alam seperti emas, minyak, dan tanah subur ini terus menjadi arena perebutan kepentingan negeri-negeri adidaya beserta aktor luar lainnya. Konflik internal yang tampak seperti masalah domestik sebenarnya sering kali tumbuh dari akar yang sengaja ditebar sejak masa kolonial dan kemudian dipelihara oleh kepentingan baru yang ingin menjaga status quo. Di antara aktor itu adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Emirat Arab (UEA). Mereka memainkan peran masing-masing dalam kisruh internal Sudan, bahkan ada yang berusaha tampil sebagai pahlawan. Akibatnya, rakyat Sudan harus menanggung beban dari persaingan kekuatan global yang tidak pernah mereka pahami.
Sudan seolah terjebak dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan, di mana intervensi luar sering kali memperparah keadaan. Setiap upaya menuju stabilitas justru membuka celah bagi konflik baru, karena ada pihak-pihak yang diuntungkan dari ketidakstabilan tersebut.
Mulai dari rakyat sipil, petani, pedagang kecil, perempuan hingga anak-anak menjadi korban utama pertaruhan kekuasaan global ini. Mereka harus bertahan menahan lapar, penindasan, pengungsian, bahkan menyaksikan runtuhnya tatanan negara yang seharusnya melindungi mereka. Mirisnya, dunia internasional kerap memandang krisis Sudan sebatas ketidakstabilan berulang, tanpa menyadari bahwa benih-benih krisis itu berakar pada sejarah panjang hegemoni dan tipu daya negara kapitalis global.
Waktunya Bersatu untuk Sudan
Namun, meski berada di bawah bayang-bayang intervensi penjajahan, Sudan tetap menyimpan kisah tentang ketabahan yang tak tergoyahkan. Rakyat Sudan terus bangkit menuntut keadilan, memperjuangkan impian masa depan yang lebih baik.
Aksi unjuk rasa serta upaya bersama membangun tatanan politik yang lebih kokoh membuktikan bahwa semangat kedaulatan masih menyala. Mereka berjuang melepaskan diri tidak hanya dari penjajahan lama, tetapi juga dari bentuk-bentuk kontrol halus dan struktur global yang mempertahankan status quo.
Sudan mengingatkan kita bahwa penjajahan bukan sekadar soal turunnya bendera asing, tetapi soal pembebasan hakiki dari segala bentuk hegemoni. Penjajahan modern tidak lagi memakai tentara, tetapi berupa kontrol politik, ekonomi, dan budaya. Untuk itu, Sudan memerlukan prinsip pembebasan yang mampu menghancurkan hegemoni kapitalisme yang mencengkeram negeri tersebut.
Sudah saatnya dunia memiliki pandangan jernih terhadap konflik yang menghantui berbagai negeri, termasuk Sudan. Sudan membutuhkan sokongan kesadaran kebangkitan yang hakiki, yaitu persatuan terpusat negeri-negeri kaum muslim untuk menegakkan kembali peradaban gemilang.
Sudan, negeri kaum muslimin, memerlukan solusi peradaban Islam untuk menghadapi kekuatan adidaya yang selama ini mencengkeramnya. Paham kesukuan maupun kebangsaan tidak boleh lagi mengakar, karena sejatinya kaum muslimin adalah saudara di mana pun berada. Sebagaimana yang terjadi hari ini, perbedaan ras di Sudan justru dijadikan senjata penjajah untuk menghancurkan negeri tersebut.
Persatuan yang berlandaskan akidah Islam adalah kunci untuk mengatasi tantangan dan mencapai kemajuan berkelanjutan. Pemimpin dalam Islam tidak menjunjung kepentingan kelompok atau individu, tetapi mengutamakan kemaslahatan rakyat serta menjaga kedaulatan negara.
Al-Qur'an dan As-Sunnah akan menuntun negara dan rakyat berkolaborasi membangun institusi yang lebih kuat, menstabilkan ekonomi, hingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang kian taat. Mengharap bantuan dari kekuatan internasional seperti PBB bukanlah langkah tepat. Mayoritas dari mereka, termasuk pemilik hak veto, justru menjadi biang keladi dari keadaan Sudan saat ini. Wallahu a‘lam bish-shawab. (Dft)


0 Komentar