Subscribe Us

REMAJA DALAM GENGGAMAN ALGORITMA


Oleh Audina Putri
(Aktivis Muslimah)


Vivisualiterasi.com - Di tengah gencarnya akses dunia maya, generasi muda kita mulai terbawa arus fatamorgana. Kesenangan yang didapat dari sebuah layar hampa, namun mampu membuat mereka lupa pada dunia yang nyata.

Dalam laman detiknews.com (15/01/2025), Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, membuka mata publik untuk lebih menyoroti sisi gelap media sosial bagi remaja. Adanya dunia maya yang dulu hanya digunakan untuk menyambung tali komunikasi dan membuka lebar akses masuk informasi, kini justru berubah menjadi taman berbahaya.

Di sana penuh dengan konten-konten provokatif, destruktif, dan ancaman terhadap perkembangan psikologis anak-anak. Dave menegaskan bahwa fenomena ini bukanlah hal sepele, melainkan harus dihadapi dengan serius.

Diperlukan adanya regulasi, penguatan literasi digital serta kewaspadaan orangtua agar ruang maya tak merenggut masa depan generasi muda. Jika dunia maya dibiarkan berkembang liar tanpa filter maka pemikiran anak-anak muda bangsa kita akan redup karena dibutakan oleh gulita konten yang tidak mendidik.

Tapi mengubah kecanduan gadget bukan hal mudah, sebab jari-jari mereka terbiasa bergerak lincah, scroll layar tanpa kenal lelah, padahal hati mereka sering kehilangan arah. Mereka tersesat dalam gemerlap keindahan fatamorgana. 

Kecanggihan digital yang seharusnya menjadi jembatan ilmu, berubah menjadi ikatan yang membelenggu. Seluruh informasi bisa diakses dengan jari, beragam konten hiburan penuh ilusi, pornografi, flexing, narsisme, pornoaksi juga ide-ide moderasi agama dan sekulerisasi mampu mengaburkan prinsip-prinsip akidah dalam diri. 

Konten-konten itu menyusup halus lewat algoritma, lalu menguasai sepenuhnya pusat perhatian mereka, mempengaruhi cara berpikir hingga perilaku, bahkan mengubah cara pandang mereka terhadap agamanya.

Nilai-nilai Islam yang ada mulai memudar, tergeser oleh gaya hidup liberal yang diagungkan dunia digital. Membentuk pola hidup sekuler yang juga mengejar sebanyak-banyaknya keuntungan.

Karakter diri mulai terkikis, menjadi generasi rapuh yang tampak percaya diri di dunia maya, namun mengasingkan diri dari kehidupan nyata. Mengaku sebagai muslim yang sejati, akan tetapi menjalani hidup sesuai ritme tren terkini.

Kemajuan teknologi tak akan bisa kita dihindari. Ia datang membawa kemudahan, kecepatan, dan akses yang luar biasa. Tetapi bagai pedang bermata dua, ia juga bisa menjadi bencana bagi generasi serta akidahnya.

Paparan konten pornografi, judi online, pinjol, cyberbullying, trafficking, hingga propaganda moderasi agama adalah racun yang mereka hirup setiap hari. Tanpa perlindungan yang kuat, generasi muda mudah terjatuh dalam labirin digital yang gelap.

Ditambah lagi negara yang harusnya menjadi pelindung justru memisahkan agama dari aturan kehidupan. Negara juga tidak memiliki visi untuk menyelamatkan masa depan juga akidah generasi.

Negara justru gagal menciptakan ekosistem digital yang aman, dan malah membiarkan industri hiburan serta kepentingan kapitalis menguasai ruang maya tanpa dibatasi. Akibatnya, generasi dibiarkan berjalan sendiri tanpa benteng yang melindungi.

Lihatlah betapa kita membutuhkan negara yang berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai). Berbeda dengan negara sekuler, Islam memiliki visi penyelamatan generasi, memastikan setiap kebijakan pemerintahannya membawa perlindungan dan kemaslahatan bagi rakyat, termasuk dalam dunia digital.

Negara akan memfilter setiap konten yang ada, menggunakan teknologi tercanggih. Sistem keamanan digital bukan hanya untuk mencegah kejahatan, tetapi untuk menjaga kesucian akhlak dan akidah setiap masyarakat, terutama generasi muda.

Negara juga menjadikan teknologi, termasuk sosial media sebagai ladang dakwah, bukan sebagai lahan bisnis yang mengutamakan keuntungan. Media diarahkan untuk menanamkan iman, membangun pola pikir Islam, agar melahirkan generasi yang kokoh, bukan generasi yang fomo atau generasi latah yang suka ikut-ikutan.

Negara juga harus menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan sempurna, sehingga praktik atau konten merusak tidak memiliki ruang berkembang, apalagi sampai viral, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Ruang digital tidak akan pernah bisa netral. Ia bisa menjadi taman-taman ilmu atau justru jadi jurang kehancuran. Masa depan generasi tidak boleh dipertaruhkan pada algoritma kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan.

Di sinilah pentingnya memperjuangkan syariat Islam dalam bentuk negara agar generasi tidak hanya selamat dari gelombang algoritma, tapi bisa tumbuh menjadi pelita peradaban yang menguatkan dunia, bukan malah terhanyut oleh arusnya. Wallahua'lam bisshawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar