Oleh Sinta Lestari
(Aktivis Dakwah Pegiat Literasi)
Vivisualiterasi.com - Menjelang akhir tahun, kita banyak disuguhi berita-berita terbaru di sosial media yang menguras emosi dan menimbulkan air mata. Mulai dari kasus perselingkuhan, kasus "tumbler" yang berujung pada pemecatan, kerusakan alam dan bencana banjir di Sumatera yang menelan banyak korban jiwa akibat ulah tangan segelintir orang yang berkuasa, ditambah lagi kasus dugaan korupsi di balai desa.
Tak luput juga, berita andalan yang selalu diulang-ulang tiap tahunnya. Bahkan menjadi ikon di akhir tahun kita, yaitu kata "toleransi beragama". Hal ini kerap dijadikan isu nasional. Sering muncul sebagai suguhan di setiap pidato yang selalu dihimbau. Seolah-olah ini menjadi alarm yang wajib selalu dinyalakan, bak lonceng yang harus digemakan agar muslim mau berbaur dengan keberagaman, meski akidahnya menjadi taruhan.
Lagi dan lagi, paham pluralisme telah digaungkan di pelosok negeri, melibatkan instansi terkait untuk berupaya membangun narasi pengarusutamaan paham pluralisme dengan dalih mewujudkan kerukunan beragama. Padahal, tak beda dari tahun-tahun lalu, masih tetap berkutat pada problematika yang sama yang dibangun sendiri atas dasar tafsir kebebasan untuk mengelola perbedaan. Namun, kali ini penguatan paham Pluralisme agama makin masif terjadi di tengah rencana Kemenag RI.
Belum lama ini Menteri Agama, Nazaruddin Umar menyatakan bahwa kebahagiaan, kejayaan, dan kedaulatan tidak akan terwujud tanpa kerukunan antar umat beragama. Hal ini telah disampaikan dalam pembukaan acara "Jalan Sehat Lintas Agama" di kantor Kementerian Agama.
Seolah menjadi kebanggaan karena ia menyebut hal ini pertama kali bagi Kemenag merayakan natal bersama dan merupakan gebrakan besar di akhir tahun dalam rangka memperkuat persatuan antara umat beragama.
Menag berharap rangkaian kegiatan natal Kemenag tahun ini, dapat memperkuat nilai cinta kemanusiaan, perjumpaan lintas iman, dan kerukunan umat beragama. (DetikNews, 25/11/2025)
Hal ini sejalan dengan program Kurikulum Cinta (KC) yang sebelumnya diluncurkan oleh Kemenag. Mulai dari tingkat Raudhatul Athfal (RA) hingga perguruan tinggi. Pasalnya, KC memiliki lima pilar: cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada hewan, cinta kepada tumbuhan, cinta pada alam semesta, dan cinta pada bangsa.
Sekilas nampak indah, namun di balik narasi yang dibangun atas dasar kerukunan dan toleransi, ternyata menyimpan banyak sekali penyesatan pemikiran yang harus diluruskan.
Di balik dalih toleransi dan kerukunan, ada bahaya yang harus diwaspadai, yaitu paham pluralisme dan sinkretisme. Di mana kedua paham ini bertentangan dengan Islam.
Seringkali Pluralisme agama dikaitkan dengan keadaan pluralitas masyarakatnya. Ini sangat jauh berbeda. Pluralitas merupakan keberagaman masyarakat seperti berbeda-beda suku, ras, agama, bahkan warna kulit.
Hal tersebut adalah fakta kondisi yang tak bisa kita mungkiri, dan keberagaman tersebut terjadi secara alami. Islam memandang realitas kemajemukan sosial bukanlah masalah, selama masih berada di dalam koridor akidah dan tidak menyelisihi sunah.
Berbeda dengan Pluralisme agama yang merupakan paham yang mengakui bahwa semua agama adalah sama. Sama-sama benarnya, berasal dari Tuhan yang sama, tidak boleh ada klaim kebenaran (truth claim).
Sedang sinkretisme artinya mencampuradukkan ajaran agama lain. Sinkretisme memang sangat identik dengan Pluralisme. Hal ini terwujud dengan perayaan hari natal bersama yang akan diadakan di kantor Kemenag yang notabene mereka mayoritas muslim. Hal lainnya seperti salam lintas agama, seolah semua harus diseragamkan, harus sama sesuai versi Pluralisme yang katanya ini tanda cinta.
Islam Penuh Cinta
Islam telah mengatur kehidupan. Mencintai manusia lainnya bukan dengan cara mencampuradukkan akidah mereka. Melainkan menghadirkan tata sistem kelola antar umat beragama sebagai cermin bahwa Islam Rahmatan Lil 'Alamin. Mampu mengayomi, melindungi harta, jiwa, kehormatan, dan keamanan bagi setiap pemeluk agama. Semua tunduk pada syariat Islam yang mampu menghadirkan rasa adil dan aman tanpa harus mencampuradukkan akidah semua agama.
Toleransi dalam Islam menghendaki kemajemukan, namun tetap dalam batas syar'i yang ditetapkan. Islam pun tidak memaksa umat agama lain mengakui kebenaran agama Islam dan memaksa mengikuti ajaran agama Islam. Namun, cara Islam adalah dengan menyampaikan dakwah dengan cara yang ahsan. Menjelaskan bahwa Islam sesuai fitrah dan memuaskan akal, juga memberikan ketenangan hidup yang damai. Bukan hanya kepada non-muslim yang ada dalam naungan Islam, namun dakwah menjadi bagian agenda besar Islam yang harus dipromosikan ke seluruh penjuru dunia.
Selama ini tidak pernah ada konflik antar agama yang dipicu atas dasar perbedaan. Jika pun ada konflik yang muncul seperti pembangunan rumah ibadah di tengah kawasan mayoritas muslim yang tidak sesuai dengan prosedur pembangunan.
Batas Toleransi dalam Islam
Padahal dalam Islam, batas toleransi beragama telah Allah jelaskan di Al-Qur'an. "Bagimu agamamu, dan untukku agamaku."
Ayat ini jelas memberikan jawaban jelas. Bahwa Islam membebaskan pemeluk agama memeluk keyakinan masing-masing dan menjalankan aturan agamanya sesuai keyakinannya tanpa ada paksaan toleransi yang kebablasan.
Konflik antar agama bukanlah dipicu oleh perbedaan akidah, melainkan konflik tersebut berawal dari banyak kebijakan pemerintah seperti izin pendirian gereja di tengah pemukiman warga mayoritasnya Muslim pada umumnya.
Fakta sejarah membuktikan saat penaklukan Baitul Maqdis. Justru Umar bin Khattab selaku Khalifah pada masa itu mengeluarkan 'Uhdat 'Umar (Perjanjian Umar) yang menjamin keamanan kaum Nasrani. Selain itu, Umar menolak memilih salat di luar gereja karena Umar sangat menjaga toleransi beragama agar tidak dijadikan alasan kaum muslim untuk kelak berhak mengubah gereja menjadi tempat beribadah kaum muslimin hanya karena Umar pernah salat di gereja tersebut.
Inilah sepenggal sejarah menakjubkan yang dicontohkan Khalifah Umar, bahwa kerukunan antar umat beragama harus dibangun atas dasar keadilan dan akidah Islam. Pemimpin seperti inilah yang mampu menjaga akidah umat. Hal ini terbukti dengan menolaknya salat di dalam gereja. Seperti inilah model pemimpin bertakwa. Bukan dengan jalan kompromi sebagaimana Kemenag saat ini.
Persoalan Utama Umat Islam
Sebagaimana melirik lima pilar dalam kurikulum cinta yang diajukan. Jika cinta kepada tumbuhan, maka mengapa ada akar pohon legal dicabut akarnya, hutan dideforestasi besar-besaran yang mengakibatkan bencana alam. Jelaslah problematika umat yang utama bukan karena kita kurang toleransi. Namun karena sistem yang bercokol hari ini.
Sudahlah alamnya dirusak, akidahnya dibajak, lalu kita masih berharap pluralisme yang direncanakan akan menyelesaikan permasalahan umat?
Kita harus menyadari bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan saat akidah umat ditawarkan berbagai gangguan keyakinan. Mengikis setiap jiwa yang kosong karena jauh dari Islam. Memporak-porandakan keimanan yang kapan saja siap untuk diluluhlantakkan sebab keimanan dicabut secara perlahan.
Hingga tak heran jika setiap kebijakan itu batil dan selalu kontroversial. Sebagaimana kebijaksanaan natal bersama di kementerian. Ini sungguh memprihatinkan, bagaimana bisa pejabat Menteri agama membuat kebijakan yang bertentang dengan akidahnya sebagai muslim.
Bayangkan saat kita dipaksa bersatu dengan umat yang lain akidah. Justru umat Islam dalam keadaan terpecah belah tanpa persatuan. Di sisi lain, para penguasa tak pernah menyerukan persatuan umat Islam di seluruh dunia. Mereka diam seribu bahasa melihat kemungkaran di depan mata atas kemungkaran terjadinya genosida di Sudan dan Palestina yang jelas-jelas membutuhkan persatuan.
Sebaliknya, mereka acapkali menyerukan Pluralisme Sinkretisme yang jelas tak mungkin dipersatukan dalam hal akidah.
Namun, yang lebih real dan nyata, yaitu dengan langkah penerapan Islam secara kaffah yang mampu mengelola perbedaan dan memahami problematika kehidupan dan terbukti mampu menyolusi berbagai persoalan.
Dengan demikian negara harus berdiri di atas aqidah yang kuat. Berupaya memperbaiki sistem hidup yang rusak yaitu dengan mengganti sistem hidup yang lebih terarah dan berfungsi sebagai penjaga aqidah dengan menerapkan Islam secara Kaffah. Wallahu a'lam bishawab.[Irw]


0 Komentar