Subscribe Us

PEMBATASAN DIGITAL TANPA AKAR MASALAH: DI MANA LETAK PERLINDUNGAN ANAK?





Oleh Mintan Tyani 
(Relawan Opini Andoolo, Sulawesi Tenggara)


Vivisualiterasi.com - Saat ini, anak dan teknologi bagaikan sahabat karib yang sulit dipisahkan. Mereka tumbuh bersama layaknya sepasang sepatu yang saling beriringan. Kemajuan teknologi bukan lagi hal asing bagi generasi sekarang. Sejak lahir, mereka sudah terbiasa dengan perangkat canggih seperti telepon genggam dan komputer. Tidak mengherankan bila anak-anak dan remaja kini sangat mahir mengakses internet dan media sosial yang mereka miliki. Hal tersebut merupakan keniscayaan dari zaman yang mereka hidupi.

Namun, di balik pesatnya kemajuan teknologi dan kecakapan generasi digital ini, banyak anak dan remaja justru terpapar konten pornografi, perundungan daring, serta gaya hidup liberal di media sosial. Budaya bermedia sosial yang mereka serap menjadikan sebagian anak rapuh secara mental dan emosional. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang memilih bunuh diri saat menghadapi tekanan hidup. Semua ini kerap dikaitkan dengan pengaruh media sosial.

Melihat meningkatnya ancaman digital terhadap anak, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025. Regulasi ini bertujuan membatasi akses anak di ruang digital sekaligus menciptakan ruang digital yang aman (Kompas.com, 06/12/2025).

Namun, PP tersebut tidak secara spesifik menyebutkan platform mana yang berkategori risiko rendah, sedang, atau tinggi. Platform seperti X, Instagram, dan YouTube diminta melakukan evaluasi mandiri dan melaporkannya kepada Komdigi. Artinya, meskipun sudah ada regulasi pembatasan, belum ada rujukan yang dapat digunakan masyarakat—khususnya orang tua. Orang tua tetap tidak mengetahui media sosial apa yang aman sesuai usia anak. Mekanisme yang ada justru menyerahkan perlindungan kepada orang tua semata. Padahal di Australia, justru platform media sosial yang dibebani kewajiban membatasi usia pengguna (CNBC Indonesia, 22/10/2025).

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, ruang digital bukanlah penyebab utama masalah yang menimpa anak dan remaja. Kemajuan teknologi merupakan anugerah dari Allah; kebermanfaatannya bergantung pada penggunanya. Media sosial hanya mempertebal emosi atau dorongan anak pada sesuatu. Tanpa batasan penayangan, konten pornografi, hedonisme, sekularisme, judi daring, pinjaman daring, hingga aksi kriminal tersaji rapi dalam etalase ruang digital.

Dalam kitab Nidzamul Islam bab Thariqul Iman, karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan bahwa manusia berperilaku sesuai pemahaman yang diperolehnya melalui proses berpikir. Proses itu dimulai dari fakta yang diindera, disimpan dalam memori, lalu dicocokkan dengan ma’lūmāt sābiqah (informasi awal). Jika pemahamannya benar, perilakunya pun benar; demikian pula sebaliknya. Artinya, seseorang dapat berpikir benar atau salah tergantung ma’lūmāt sābiqah yang ia miliki.

Konten digital dapat menjadi ma’lūmāt sābiqah bagi generasi, apalagi jika tidak dibarengi penanaman akidah sebagai way of life yang benar dari orang tua, masyarakat, dan negara. Tanpa itu, konten-konten tersebut langsung dicerna sebagai informasi dan diaplikasikan, hingga membentuk pola pikir dan perilaku yang rusak.

Ditambah lagi, sistem kapitalisme yang menguasai negara ini berpondasikan sekularisme, sehingga melahirkan generasi yang bermasalah dalam berbagai aspek. Kebebasan tanpa batas menjadi sumber utama kerusakan. Dalam sistem kapitalisme, kondisi masyarakat bukan prioritas; justru keuntungan dari konten-konten tersebutlah yang menjadi tujuan. Alhasil, pembatasan akses media sosial hanyalah solusi pragmatis karena tidak menyentuh akar masalah. Regulasi yang berfokus pada media semata jelas tidak komprehensif dan tidak memberi solusi yang tepat.

Jalan keluar untuk melepaskan generasi dari krisis ini adalah membentuk aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola sikap) yang benar. Kedua hal ini hanya terwujud dengan Islam. Aqliyyah Islamiyah menuntun seseorang berpikir secara Islam dan menilai segala hal dengan cara pandang Islam. Dengan demikian, mereka tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang merusak. Bahkan nilai-nilai rusak di media sosial justru memantik mereka untuk memperbaiki keadaan. Aqliyyah Islam akan melahirkan nafsiyyah Islam, dan kedua aspek ini membentuk kepribadian Islam yang mampu menyelamatkan generasi dari dampak buruk ruang digital.

Hanya saja, pembentukan kepribadian Islam tidak akan berhasil tanpa proses pembinaan. Islam bukan sekadar teori, tetapi aturan hidup yang wajib diterapkan. Dengan pendidikan dan pembinaan Islam, pemahaman akan tertanam kuat hingga membentuk kepribadian. Metode ini pula yang dilakukan Rasulullah SAW kepada para sahabat.

Negara juga memiliki peran penting sebagai pelaksana pendidikan yang melahirkan generasi gemilang. Metode ini diterapkan Rasulullah dan para khalifah penerusnya dalam menjaga keimanan umat. Negara yang mampu menerapkan metode tersebut adalah negara Khilafah yang menjadikan ideologi Islam sebagai pondasi. Tidak hanya dalam pendidikan, Khilafah menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehingga mampu menciptakan kondisi ideal untuk membentuk generasi taat dan tangguh.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa semua pihak memiliki peran dalam meluruskan kebengkokan yang telah menjadi keniscayaan ini. Sudah saatnya generasi memahami dan memperjuangkan penerapan syariat Islam. Wallāhu a‘lam bishshawāb.(Dft)




Posting Komentar

0 Komentar