Subscribe Us

GENERASI YANG LELAH: LEMAHNYA REGULASI DI TENGAH ARUS DIGITAL YANG HILANG ARAH


Oleh Haifa Manar
(Penulis dan Aktivis Dakwah)


Vivisualiterasi.com - Di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, layar-layar kecil pada gawai di genggaman kita seakan menjadi matahari kedua—selalu menyala dan selalu menarik perhatian kedua bola mata. Namun, di balik terang yang menyilaukan tersebut, ada sesuatu yang perlahan-lahan meredup, yakni ketangguhan generasi muda. Sebab kini, ruang digital yang mulanya dijanjikan sebagai tempat belajar tanpa batas telah menjelma menjadi ruang penuh jebakan, tempat berbagai konten merusak menyelinap dalam bentuk yang makin halus dan sulit dideteksi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada terlalu banyak konten negatif yang dapat membentuk pola pikir dan perilaku generasi saat ini. Dari pornografi yang dapat diakses oleh semua usia—bahkan menyelinap melalui film, video musik, dan gim; kemudian judi online yang menjerat dengan iming-iming cepat kaya; pinjaman digital yang memerangkap mereka dalam lingkaran utang; perundungan siber yang dapat menghancurkan mental; hingga arus pemikiran sekuler yang menggerogoti cara umat Islam beragama dan menjalani kehidupan sehari-hari. Semua ini tidak hanya memengaruhi tindakan mereka, tetapi juga merapuhkan jati diri, memperburuk hubungan mereka dengan Allah, serta menjauhkan mereka dari nilai-nilai Islam.

Sementara itu, kita pun sedang menyaksikan generasi yang hidup dalam dua wajah. Mereka tampak percaya diri di media sosial, tetapi pada saat yang bersamaan rapuh di dalam. Mereka terombang-ambing di tengah ombak keyakinan dan godaan berkedok hiburan, di antara ketaatan dan kemaksiatan. Mereka meyakini agama Islam, tetapi juga terseret oleh gaya hidup sekuler yang dipromosikan di dunia maya. Maka dari itu, hasilnya adalah pribadi dengan kepribadian terbelah—split personality—yang telah kehilangan identitas iman dan keteguhan prinsip sebagai umat Muslim.

Dalam hal ini, tidak ada siapa pun yang dapat menolak dan mencegah kemajuan teknologi, sebab ia adalah bagian dari zaman, dan zaman akan terus melaju. Teknologi pun telah memberi kemudahan luar biasa bagi manusia: akses pengetahuan terbuka luas, hubungan dapat dijalin tanpa batas, dan kreativitas dapat berkembang dengan bebas. Namun, bersamaan dengan segala kemudahan itu, ada bahaya yang diam-diam mengintai generasi.

Anak-anak dan remaja kini lebih gemar menghabiskan waktu berjam-jam dalam ruang digital alih-alih bersosialisasi secara langsung. Kerap kali mereka berselancar bebas tanpa bimbingan orang dewasa di sekitarnya. Mereka berenang dalam lautan konten tanpa pelampung nilai. Dalam sekali gulir, mereka mungkin menemukan ilmu. Dalam gulir berikutnya, mereka bisa terseret dalam konten yang merusak mental, akhlak, dan cara berpikir.

Oleh sebab itu, bahaya terbesar bukan hanya keburukan yang tampak jelas seperti pornografi, judi, atau kekerasan. Namun, yang lebih merusak justru konten yang mengubah cara pandang secara halus: candaan yang menertawakan syariat, opini yang merelatifkan agama, percakapan yang memojokkan nilai-nilai Islam, atau gaya hidup yang mengagungkan kebebasan tanpa batas. Teknologi menjadi hadiah yang indah, tetapi juga pedang yang dapat melukai jika tidak diarahkan dengan benar.

Ketika Negara Diam, Masa Depan Generasi Suram

Pada dasarnya, ruang digital bukan sekadar tempat untuk mencari hiburan, sebab ia kini beralih menjadi ruang hidup—tempat banyak orang mencari pundi-pundi rupiah atau sekadar mencari sensasi dan validasi. Oleh karena itu, generasi muda membutuhkan penjaga ketika menjelajahi ruang digital tersebut. Namun, di sinilah kita menemukan masalah besar dan krusial: negara yang dibangun di atas asas sekularisme terbukti gagal memainkan peran sebagai pelindung akhlak dan moral rakyatnya.

Pada hakikatnya, negara dengan sistem sekuler-kapitalistik memisahkan agama dari pengaturan kehidupan. Akibatnya, perlindungan terhadap nilai-nilai Islam tidak pernah menjadi prioritas. Ruang digital pun lebih banyak diatur berdasarkan kepentingan ekonomi, bukan keselamatan moral. Selama konten menghasilkan iklan dan pendapatan, ia dianggap layak beredar, tidak peduli meski konten tersebut tidak mendidik jika dilihat, didengar, atau dibaca oleh generasi muda.

Dengan kata lain, regulasi yang ada saat ini bersifat reaktif, bukan preventif. Pemblokiran situs dewasa atau platform yang dapat menjerumuskan hanya bersifat tambal sulam, bukan sistemik. Perlindungan anak muda hanya menjadi jargon dalam pidato, bukan kenyataan yang benar-benar diupayakan pemerintah. Ketika konten berbahaya membanjiri dunia digital, generasi muda dibiarkan mengonsumsi semuanya sendirian tanpa mengetahui dosis dan takarannya.

Jadi, negara hadir, tetapi hanya sebagai administrator—bukan pelindung. Di tengah badai besar, ketika maraknya perbuatan negatif timbul akibat konten membahayakan, negara dengan sistem sekuler hanya menyediakan payung kecil yang tak mampu menghalangi hujan deras dan badai yang terjadi.

Khilafah Sebagai Perisai yang Menjaga Peradaban

Dalam Islam, negara tidak sekadar berdiri sebagai pengelola urusan publik. Negara adalah raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung). Ia bertanggung jawab menjaga masyarakat dari segala bentuk kerusakan—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, termasuk yang merayap melalui ruang digital.

Dalam sistem Khilafah sendiri, perlindungan generasi bukan hanya wacana, melainkan fondasi kebijakan. Negara memiliki visi penyelamatan akidah, akhlak, dan pola pikir generasi muda. Setiap kebijakan teknologi dilandaskan pada syariat dan bergerak untuk menjaga umat dari arus pemikiran serta perilaku yang dapat memicu kerusakan. Dalam sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, negara tidak menunggu kerusakan terjadi baru bereaksi. Ia bergerak secara preventif, menyiapkan masyarakat yang kuat secara pemikiran, mengontrol konten yang diunggah, dan menjadikan teknologi sebagai sarana pendidikan serta dakwah, bukan sarana komersialisasi syahwat.

Maka menurut Islam, inilah peran negara yang ideal: hadir bukan hanya sebagai administrator belaka, tetapi regulator penjaga moral peradaban.

Dalam Khilafah, ruang digital tidak dibiarkan liar sehingga apa pun dapat masuk. Negara menerapkan penyaringan ketat dengan teknologi canggih untuk memastikan tidak ada konten merusak yang menyusup ke lapisan masyarakat. Penyaringan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi berakar pada visi Ilahiah untuk menjaga manusia dari kemudaratan.

Penyaringan konten dapat dilakukan pada dua level:

1. Teknis, yakni menghalangi akses terhadap pornografi, judi online, pinjaman online, eksploitasi, propaganda sesat, dan semua konten yang bertentangan dengan syariat.

2. Ideologis, yakni menyaring masuknya ide-ide yang dapat merusak akidah atau mengubah cara pandang masyarakat terhadap Islam.

Dengan demikian, ruang digital diposisikan sebagai ruang edukasi. Pemerintah menggerakkan kampanye pengetahuan, platform pembelajaran, konten dakwah, dan materi yang membina akhlak berbasis akidah Islam. Teknologi bukan musuh, melainkan alat yang seharusnya diarahkan pada kebaikan. Dengan perlindungan seperti ini, generasi akan tumbuh dalam lingkungan digital yang sehat dan penuh makna.

Sistem Islam yang Komprehensif: Syariat Bukan Mengikat, tetapi Upaya Agar Tak Tersesat

Konten merusak di internet tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Ia tumbuh dari akar sistem yang salah: ekonomi kapitalistik yang menghalalkan keuntungan dari kerusakan moral, budaya liberal yang memuja kebebasan tanpa batas, serta politik sekuler yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman.

Karena akar masalahnya sistemik, penyelesaiannya pun tidak cukup dengan tambalan kecil. Ia membutuhkan perubahan menyeluruh berupa penegakan syariat Islam secara kaffah yang menghentikan kerusakan dari sumbernya. Dalam syariat, Islam mengharamkan pornografi, prostitusi, judi, riba, penipuan, dan segala praktik perusak. Islam membangun budaya yang berbasis kesucian, akhlak, dan kehormatan. Islam mengatur media berdasarkan nilai yang menjaga umat, memagari ekonomi dari praktik yang mendorong eksploitasi, serta membina masyarakat melalui pendidikan yang meneguhkan iman dan pola pikir Islam.

Ruang digital pun menjadi ekstensi dari masyarakat yang terarah—bukan tempat pelarian yang menggiring generasi pada kerusakan. Memperjuangkan tegaknya syariat Islam bukan hanya perjuangan politik, tetapi perjuangan untuk menyelamatkan masa depan. Kita hidup di masa ketika kebenaran dapat tenggelam oleh deru algoritma dan suara hati kalah oleh riuh notifikasi. Namun tantangan besar itu tidak memadamkan harapan umat.

Generasi kita tidak harus tumbuh dengan jiwa rapuh. Mereka tidak harus kebingungan dalam memilih antara iman dan modernitas. Mereka tidak harus terseret arus konten menyesatkan yang mengakibatkan degradasi moral. Selama ada sistem yang menjaga, negara yang melindungi, dan masyarakat yang mendidik, generasi dapat tumbuh kuat—baik secara akal, akhlak, maupun iman.

Maka, pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan mereka bertarung sendirian dalam dunia digital yang tidak ramah? Atau kita memperjuangkan sistem yang benar-benar melindungi mereka—dan kita semua—seperti Khilafah yang menegakkan syariat secara kaffah? Sebab masa depan sebuah peradaban tercermin dari kekuatan generasinya. Dan generasi yang kuat hanya lahir dari negara yang menjaga mereka dengan visi Ilahiah dan misi yang lurus dari koridor syariat. Wallahu a‘lam bish-shawab. (Dft)

Posting Komentar

0 Komentar