Subscribe Us

PASIEN DITOLAK, AKIBAT SISTEM RUSAK


Oleh Audina Putri
(Aktivis Muslimah)


Vivisualiterasi.com - Di negeri yang katanya menuju kemajuan, masih ada orang yang meregang nyawa setelah bolak-balik rumah sakit tanpa sempat mendapatkan kamar yang nyaman. Seorang ibu yang hanya ingin melahirkan dengan selamat, harus menghadapi kenyataan yang begitu jahat. Berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, namun hasilnya tetap nihil, tak ada kamar atau penanganan yang didapat, seolah hidupnya hanyalah secuil harapan yang tak terlihat.

Dalam laman Bbcnews.com (22/11/2025), Methodius Kossay, pengamat kebijakan publik Papua menyebut kejadian ini sebagai tragedi kebijakan, bukan sekadar musibah keluarga semata. Menurutnya ada 3 hal yang menjadi sorotan;

Pertama gagalnya sistem rujukan, kedua dugaan pelanggaran kewajiban rumah sakit dalam penanganan gawat darurat, dan lemahnya pengawasan di daerah. Hal ini yang membuat sang ibu dalam bahaya dan tak sempat menerima stabilisasi medis sebelum dirujuk, sebagaimana diamanatkan Pasal 174 UU Kesehatan.

Kematian Ibu Irene Sokoy adalah tanda bahwa regulasi telah bersuara, tetapi layanan kesehatan masih bungkam tanpa suara. Sebab saat ini kita telah berhadapan dengan wajah asli sistem kapitalisme yang menjadi fondasi pelayanan kesehatan. Sistem yang menjadikan rumah sakit sebagai gedung megah yang dingin.

Mereka memandang pasien bukan sebagai manusia, melainkan sebuah deretan angka. Di beberapa tempat, yang menjadi pertimbangan bukanlah urgensi nyawa, tetapi budget biaya untuk kelas layanan dan fasilitasnya.

Kapitalisme melahirkan jurang dalam antara si kaya dan si miskin, jurang yang tak terlihat, namun memberi jarak. Mudah sekali memahami mengapa penolakan terjadi, sebab dalam logika kapitalisme, kesehatan bukan kewajiban negara, tetapi transaksi bisnis.

Berbanding terbalik dengan sistem Islam yang pernah menunjukkan wajah lain dari peradaban. Dalam sistem Islam, kesehatan adalah hak rakyat, bukan komoditas. Negara bukan sekadar regulator, tetapi pelindung yang menyediakan pelayanan kesehatan gratis secara merata, dan tanpa syarat. Rumah sakit tidak mengenal kelas, dokter tidak menjadikan pasien sebagai sumber penghasilan, dan setiap manusia, baik muslim maupun non-muslim diperlakukan dengan cara yang sama.

Sejarah mencatat di era Kekhilafahan, berdirilah bimaristan-bimaristan (rumah sakit) megah seperti Al Adudi di Baghdad, Al Nuri di Damaskus, dan Qalaqun di Kairo.

Pasien dirawat dengan fasilitas terbaik, diberi makanan, obat, bahkan pakaian bersih saat pulang, dan semuanya ditanggung oleh negara. Tidak ada penolakan, tidak ada uang muka, tidak ada syarat administratif yang rumit, dan disana para dokter bergerak bukan karena jam kerja saja tetapi juga karena amanah.

Kita tidak bisa berharap pada sistem yang menjadikan nyawa sebagai angka dan rumah sakit sebagai tempat penentuan harga. Kita membutuhkan sistem yang memuliakan manusia, bukan sistem layanan sesuai kasta. 

Harusnya sistem menempatkan negara sebagai pelindung, bukan sebagai pengusaha, dan sistem tersebut pernah ada dan jaya hingga melingkupi dua pertiga dunia.

Islam bukan sekadar ajaran rohani semata, tetapi peradaban yang pernah membuktikan bahwa kesejahteraan bukanlah utopia. Dalam naungannya, kesehatan adalah hak yang dijaga, nyawa adalah amanah yang diperjuangkan sebisa manusia, dan negara berdiri sebagai penjaga, bukan sebatas membuat kebijakan semata.

Kita seharusnya berfikir jernih. Jika Islam pernah memberikan pelayanan terbaik untuk setiap rakyatnya, mengapa kita tidak kembali saja pada sistem yang sangat memuliakan manusia. Sebab Islam datang dari pencipta dan pemilik seluruh alam, sudah terbukti keadilan dan kebijakannya yang jujur dan amanah, para pejabatnya adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang jahat.

Dan karena itu, kembali pada sistem Islam bukan sekadar pilihan, ini merupakan sebuah kebutuhan, dengan menerapkan syariat secara keseluruhan, semoga rahmat akan datang untuk seluruh alam. Wallahua'lam Bisshawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar