Subscribe Us

PASCA BENCANA SUMATRA: AMANAH NEGARA DAN MASA DEPAN YANG TERTUNDA


Oleh Haifa Manar
(Penulis dan Aktivis Dakwah)


Vivisualiterasi.com - Bencana tidak pernah hanya soal air yang meluap, tanah yang runtuh, atau bangunan yang roboh. Ia selalu membawa dampak yang lebih senyap, tetapi jauh lebih menggelegar: terhentinya kehidupan, terputusnya harapan, dan—dalam konteks generasi muda—terganggunya masa depan. Sumatra, dengan segala kekayaan alam dan sejarahnya, kembali menjadi saksi bahwa tatkala alam murka, negara diuji: hadirkah ia sebagai pengurus rakyat atau sekadar penonton yang sibuk menenangkan narasi di media?

Dilansir dari detik.com (9-12-2025), data yang dipaparkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI seharusnya menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang masih menganggap situasi pascabencana Sumatra sebagai “terkendali”. Sebanyak 2.798 satuan pendidikan terdampak, 5.421 ruang kelas mengalami kerusakan, dan lebih dari 600 ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan. Bahkan, sejumlah sekolah rusak, akses terputus, dan sebagian dialihfungsikan menjadi posko pengungsian.

Deretan angka tersebut bukan sekadar data statistik. Angka-angka itu merepresentasikan wajah anak-anak yang kehilangan ruang belajar, guru yang kehilangan ruang mengajar, serta keluarga yang kehilangan kepastian akan masa depan anak-anaknya. Namun, pada saat yang sama, publik justru disuguhi pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menyebut kondisi Sumatra pascabencana berada dalam keadaan baik dan terkendali. Di sinilah jarak antara realitas lapangan dan narasi kekuasaan tampak menganga lebar.

Terkendali di Atas Kertas, Hancur di Ruang Kelas

Sesungguhnya, tidak ada yang menafikan bahwa negara telah bergerak. Ada kebijakan pembelajaran darurat, rencana pembangunan kembali sekolah mulai Februari 2026, imbauan pembebasan UKT, serta koordinasi lintas kementerian. Namun, persoalannya bukan sekadar apakah negara bergerak, melainkan seberapa cepat dan seberapa empatik kehadiran itu dirasakan.

Meminta rakyat menunggu pembangunan sekolah hingga awal 2026, sementara ratusan ribu siswa kehilangan hak belajar hari ini, merupakan kemewahan waktu yang tidak dimiliki korban bencana. Pendidikan tidak dapat diperlakukan sebagai urusan administratif yang menunggu siklus anggaran. Setiap hari keterlambatan berarti setiap hari masa depan generasi direnggut.

Kesan lamban inilah yang menjadi problem mendasar. Pemulihan sarana dan prasarana pendidikan belum menunjukkan urgensi yang sepadan dengan besarnya dampak. Negara tampak tenang, sementara generasi terdampak dipaksa bertahan dalam kondisi darurat yang berkepanjangan, tanpa kepastian kapan penderitaan itu akan berakhir.

Lebih menyedihkan lagi, di banyak titik, yang bergerak cepat justru bukan negara. Lembaga kemanusiaan, organisasi nonpemerintah, komunitas relawan, hingga figur publik hadir membawa buku, tenda belajar, dukungan psikososial, dan perhatian publik. Rakyat bergerak dengan sumber daya terbatas, tetapi dengan kecepatan dan empati yang nyata. Sementara itu, pemerintah pusat—dengan kewenangan dan anggaran besar—tampak tertinggal beberapa langkah.

Kebijakan Tanpa Rasa, Rakyat Menanggung Luka

Masalah utama penanganan pascabencana bukan semata persoalan teknis, melainkan paradigma. Ketika negara menyebut kondisi “baik”, sementara ratusan ribu siswa kehilangan akses pendidikan, di situlah tampak kegagalan empati yang serius. Kebijakan yang tidak berangkat dari urgensi penderitaan rakyat akan selalu terasa dingin, betapapun rapi dirumuskan. Pendidikan darurat tanpa kepastian jangka pendek dan menengah hanya akan melahirkan generasi yang tumbuh dalam ketidakpastian.

Anak-anak korban bencana bukan hanya membutuhkan ruang belajar sementara, tetapi juga jaminan bahwa negara sungguh-sungguh menjaga hak mereka sebagai warga negara.

Kritik terhadap pemerintah pusat di sini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar mengelola stabilitas narasi dan memoles citra, melainkan mengurus luka rakyat secara nyata dan memulihkan keadaan dengan kesungguhan.

Islam dan Paradigma Kepemimpinan: Negara sebagai Rā‘in

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah privilese, melainkan amanah. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa setiap pemimpin adalah rā‘in (pengurus) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (H.R. Bukhari). Negara bukan pemilik rakyat, melainkan pelayan dan pengurus mereka. Paradigma ini menuntut kehadiran negara yang aktif, cepat, dan penuh empati, terlebih dalam kondisi bencana.

Kesiapsiagaan tidak hanya soal mitigasi fisik, tetapi juga memastikan terpenuhinya kebutuhan asasi rakyat: pangan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Dalam fase pascabencana, negara seharusnya segera memobilisasi guru dengan skema darurat, menyediakan sarana pendidikan sementara yang layak, mengintegrasikan pemulihan pendidikan sebagai prioritas utama, serta memastikan koordinasi intensif dengan pemerintah daerah agar tidak ada wilayah yang terabaikan. Semua itu bukan pilihan, melainkan kewajiban kepemimpinan.

Refleksi Sejarah: Ketika Negara Hadir Tanpa Menunggu Anggaran

Sejarah peradaban Islam mencatat bagaimana negara merespons bencana secara cepat dan terkoordinasi. Ketika terjadi kelaparan, wabah, atau bencana alam, pemimpin tidak menunggu laporan berlapis atau siklus fiskal. Baitulmal difungsikan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan dan pengasuhan generasi.

Pemulihan infrastruktur berjalan seiring dengan pemulihan manusia. Guru tetap digaji, lembaga pendidikan dijaga keberlangsungannya, dan anak-anak tidak kehilangan hak belajar meski dalam kondisi darurat. Menjaga generasi dipahami sebagai bagian dari menjaga peradaban.

Sebaliknya, dalam sistem kapitalistik, anggaran kerap terjebak pada logika serapan dan formalitas administratif. Korban bencana diminta menunggu anggaran tahun berikutnya, sementara proyek-proyek lain terus berjalan. Padahal, dalam konsep keuangan Islam, kebutuhan rakyat adalah prioritas mutlak. Anggaran bukan sekadar angka, melainkan alat untuk memastikan tidak ada hak yang tertunda.

Jika lebih dari 600 ribu siswa terdampak, maka seharusnya ada kebijakan luar biasa—bukan menunggu Februari, bukan menunggu mekanisme panjang, melainkan tindakan cepat yang menunjukkan kehadiran negara secara nyata.

Amanah Negara: Menjaga Generasi untuk Masa Depan yang Terpelihara

Bencana Sumatra merupakan ujian bukan hanya bagi ketangguhan masyarakat, tetapi juga bagi watak kepemimpinan negara. Apakah negara akan terus merasa cukup dengan narasi “terkendali”, atau berani mengakui bahwa masih banyak yang belum pulih?

Pemulihan pendidikan pascabencana bukan sekadar membangun gedung sekolah, melainkan memulihkan rasa aman generasi, menjaga kesinambungan belajar, dan memastikan anak-anak korban bencana tidak tumbuh dengan perasaan ditinggalkan. Negara harus berhenti merasa terlalu tenang dan berhenti menunda. Sebab di balik ketenangan semu itu, ada generasi yang terlalu lama menunggu dan rakyat yang terus menanggung luka.

Sejarah tidak akan menilai seberapa rapi laporan disusun, melainkan seberapa cepat dan sungguh-sungguh negara hadir ketika masa depan generasi dipertaruhkan. Sebab menjaga generasi bukan proyek musiman, melainkan fondasi keberlangsungan peradaban. Negara yang lamban memulihkan pendidikan pascabencana sejatinya sedang menunda masa depan bangsanya sendiri. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb. (Dft)

Posting Komentar

0 Komentar