Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, data terbaru dari United Nations Children's Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa terdapat 48 persen anak-anak di Indonesia pernah mengalami cyberbullying. Lebih parahnya, UNICEF mencatat bahwa anak-anak di Indonesia menggunakan internet rata-rata selama 5,4 jam per hari. Sebanyak 50 persen di antaranya pernah terpapar konten dewasa. Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menangani 596.457 konten pornografi di ruang digital sepanjang 20 Oktober 2024 hingga 6 Oktober 2025 (kompas.com, 6/12/2025)
Melihat data dari UNICEF dan Komdigi, pemerintah melalui Menkomdigi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP TUNAS). Peraturan ini mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dalam menyediakan teknologi dan fitur aman bagi anak, termasuk verifikasi usia, kontrol orang tua, serta edukasi keamanan digital (bisnis.com, 19/12/2025).
PP TUNAS mewajibkan setiap PSE untuk menyaring konten berbahaya, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, dan memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. Komdigi akan mengatur pembatasan akses anak terhadap aplikasi di ponsel dan media sosial berdasarkan kategori risiko rendah, sedang, dan tinggi (cnbcindonesia.com, 22/10/2025).
Anak usia 13 tahun ke bawah, hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi. Usia 13-15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang. Usia 16-17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua. Sementara usia 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen (cnbcindonesia.com, 22/10/2025).
Mekanisme pengaturan seperti ini, pemerintah berharap mampu menyelamatkan generasi dari pengaruh buruk media sosial. Namun, benarkah media sosial adalah faktor utama rusaknya generasi? Mampukah PP TUNAS memberi solusi tuntas?
Sekularisasi Digital, Merusak Generasi
Ruang digital atau media sosial adalah sebuah teknologi komunikasi yang memudahkan urusan manusia. Media sosial hanya sebagai alat untuk mempertebal emosi yang telah lama muncul dan tumbuh pada generasi. Algoritma bekerja pada media sosial dengan menampilkan tayangan yang sering berinteraksi dengan pengguna.
Jika pengguna sering berinteraksi dengan tontonan yang salah, maka algoritma dengan otomatis akan memaksimalkan tontonan yang serupa. Algoritma tidak akan menyaring antara tontonan yang benar dan salah. Jadi, ruang digital hanya akan memperparah kondisi generasi yang sebelumnya sudah rusak.
Dengan demikian, ruang digital bukanlah faktor utama kerusakan generasi. Penerapan Sistem Sekular Kapitalisme adalah akar masalah yang memunculkan kerusakan generasi dari segala sisi. Sistem yang menjadikan aturan agama harus dipisahkan dari pengaturan kehidupan, mengakibatkan generasi tidak memiliki arah tujuan hidup. Sehingga, generasi mudah terbawa arus yang salah dari media sosial.
Sistem pendidikan yang tidak mengajarkan kepribadian yang mulia, mengakibatkan tumbuh generasi mental illness. Banyak generasi yang menjadi pelaku dan korban bullying. Selain itu, Sistem Ekonomi Kapitalistik mengakibatkan banyak orang tua yang harus bekerja lebih dari 10 jam, sehingga mengakibatkan minimnya pengawasan orang tua kepada anak. Kurangnya pemahaman orang tua terhadap perannya sebagai tempat pendidik pertama dan utama pada anak, mengakibatkan anak kehilangan peran orang tua.
Semua kondisi ini telah melahirkan kerusakan generasi. Ruang digital yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memudahkan urusan manusia, nyatanya semakin memperburuk kondisi generasi. Oleh karena itulah, diterbitkannya PP TUNAS tidak lantas menyelesaikan persoalan hingga ke akarnya. Solusi yang ditawarkan hanya solusi tambal sulam tanpa menyentuh akar masalah. Lantas, masihkah ada harapan untuk menyelamatkan generasi?
Islam Selamatkan Generasi
Sejatinya, berubahnya tingkah laku manusia bukan karena sosial media. Melainkan, dipengaruhi oleh pemahaman terhadap kehidupan. Media sosial adalah salah satu bentuk madaniyah yang merupakan produk kemajuan teknologi. Namun, pemanfaatannya tergantung pada sistem yang melingkupi ruang digital. Jika saat ini sistem yang berkuasa adalah sekuler kapitalis, maka yang dipertontonkan adalah tayangan yang menjauhkan generasi dari Islam.
Sistem Pendidikan Islam dengan kurikulum berbasis akidah Islam, akan bertujuan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Akidah Islam inilah yang akan melahirkan cara berfikir dan bersikap sesuai dengan Islam. Karena kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban di akhirat.
Jika dunia membutuhkan ruang digital, maka teknologi yang berkembang akan sejalan dengan Islam. Penguasa akan membuat ruang digital alternatif untuk melindungi generasi dari tontonan yang merusak.
Mekanisme di atas akan bisa terwujud ketika ditopang oleh sistem ekonomi yang berasal dari Islam. Sumber pemasukan yang dikelola oleh Baitulmal akan mampu menciptakan kemandirian infrastruktur ruang digital.
Demikianlah Islam menyelamatkan generasi dari pengaruh buruk media sosial. Akan tetapi, pengaturan ini tidak bisa terwujud ketika masih bertahan pada sistem yang berkuasa saat ini. Hanya Sistem Islam yakni Khilafah, yang mampu menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, baik dari sisi individu, masyarakat, maupun negara.
Sistem ini tidak lantas datang tiba-tiba. Harus ada sinergi dari seluruh elemen masyarakat untuk melakukan aktifitas dakwah politik, yaitu dakwah yang dahulu pernah dicontohkan oleh Rasulullah ketika menegakkan Khilafah untuk menerapkan Islam secara sempurna. Wallahu a'lam bisshawab.[AR]


0 Komentar