Subscribe Us

MEDIA SOSIAL DAN AKAR MASALAH KRISIS GENERASI


Oleh Ummu Hanif
(Pendidik dan Pengamat Generasi)


Vivisualiterasi.com - Fenomena rusaknya generasi muda kian nyata di hadapan kita. Anak dan remaja semakin mudah terpapar konten pornografi, perundungan digital, serta gaya hidup liberal melalui media sosial. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa mayoritas anak Indonesia telah mengakses internet sejak usia dini, sementara UNICEF (2021) mencatat bahwa satu dari tiga remaja pernah mengalami kekerasan atau perundungan daring. Lebih mengkhawatirkan lagi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan peningkatan signifikan gangguan kesehatan mental pada remaja, termasuk depresi dan kecenderungan bunuh diri, dalam satu dekade terakhir.

Sayangnya, media sosial sering dijadikan kambing hitam tunggal atas seluruh problem ini. Padahal, pendekatan semacam ini terlalu sederhana dan berpotensi menyesatkan.

Media Sosial: Faktor Pemicu, Bukan Penentu

Sejumlah kajian psikologi perkembangan menegaskan bahwa media sosial bukan penyebab utama gangguan mental atau penyimpangan perilaku anak. Twenge dan Campbell (2018) dalam Journal of Adolescence menyebutkan bahwa media digital lebih berperan sebagai amplifier—penguat emosi dan kondisi psikologis yang telah terbentuk sebelumnya. Anak dengan kepribadian rapuh dan tanpa fondasi nilai yang kuat akan lebih mudah terdampak negatif dibandingkan mereka yang memiliki ketahanan mental dan spiritual yang baik.
Dengan kata lain, media sosial tidak menciptakan kerusakan dari nol. Ia hanya mempercepat dan mempertebal kecenderungan yang telah dibentuk oleh sistem pendidikan, lingkungan keluarga, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Akar Masalah: Sistem Sekularisme Kapitalisme

Di sinilah pentingnya melihat persoalan secara lebih mendasar. Sistem sekularisme-kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah melahirkan cara pandang hidup yang menempatkan kebebasan individu dan keuntungan materi sebagai nilai utama. 

Dalam sistem ini, media termasuk media sosial beroperasi berdasarkan logika pasar, bukan moral.
Konten pornografi, sensasi, kekerasan verbal, dan gaya hidup permisif terus diproduksi karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Negara, dalam banyak kasus, hadir sebagai regulator lemah yang lebih fokus pada pertumbuhan industri digital ketimbang perlindungan akhlak dan kesehatan mental generasi. Inilah yang oleh sosiolog Zygmunt Bauman disebut sebagai liquid morality, moralitas cair yang mudah berubah mengikuti kepentingan pasar.

Pembatasan Media Sosial: Solusi Parsial

Upaya pembatasan akses media sosial bagi anak, yang kini ramai diwacanakan, patut diapresiasi sebagai langkah darurat. Namun, kebijakan ini bersifat pragmatis dan tidak menyentuh akar persoalan. Tanpa perubahan paradigma pendidikan dan sistem nilai, pembatasan hanya akan menjadi solusi sementara. Anak tetap tumbuh dalam sistem yang meminggirkan agama dan menormalisasi kebebasan tanpa batas.
UNESCO sendiri menegaskan bahwa literasi digital tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pendidikan nilai dan karakter (Global Education Monitoring Report, 2023).

Islam sebagai Solusi Sistemik

Islam memandang perilaku manusia ditentukan oleh pemahaman hidupnya. Media sosial adalah produk kemajuan iptek (madaniyah) yang netral, tetapi arah penggunaannya sangat ditentukan oleh ideologi yang melingkupinya. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab strategis membangun generasi melalui sistem pendidikan berbasis akidah yang kokoh.
Pendidikan Islam tidak berhenti pada aspek kognitif, tetapi membentuk kepribadian yang terikat pada halal-haram, benar-salah, dan tanggung jawab di hadapan Allah. Generasi dengan fondasi iman yang kuat akan mampu bersikap kritis, selektif, dan bermartabat dalam menghadapi arus digital.
Lebih luas lagi, penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana dalam sistem Khilafah akan menciptakan ekosistem sosial yang sehat. Media akan diatur agar berfungsi sebagai sarana edukasi dan dakwah, bukan alat perusak moral. Negara tidak netral terhadap kemungkaran, tetapi hadir sebagai penjaga akhlak dan pelindung generasi.

Tanggung Jawab Kolektif Umat

Menyelamatkan generasi bukan tugas anak semata, melainkan tanggung jawab kolektif umat. Orang tua, pendidik, ulama, intelektual, dan negara harus memiliki kesadaran yang sama tentang akar masalah dan arah solusi. Perjuangan menuju penerapan Islam secara kaffah bukanlah romantisme masa lalu, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan generasi yang beriman, berilmu, dan tangguh.
Media sosial bukan musuh utama. Sistem hidup yang menjauhkan agama dari kehidupanlah yang sesungguhnya perlu dikoreksi.[Irw]

Posting Komentar

0 Komentar