(Kontributor Vivisualiterasi)
Berdasarkan temuan terbaru dari lembaga kesehatan mental dan survei penggunaan digital, banyak anak-anak dan remaja Indonesia yang menghabiskan lebih dari tujuh jam per hari di depan layar, baik gawai, komputer, maupun televisi. Padahal, para ahli sepakat bahwa paparan digital berlebih akan melemahkan daya pikir, memicu kelelahan mental, bahkan berujung pada fenomena digital dementia, yaitu kemunduran fungsi otak akibat terlalu bergantung pada teknologi.
Selain itu, ironisnya, konektivitas serba mudah justru melahirkan krisis kesepian (solipsisme digital) dan kemalasan berpikir yang menjangkiti tulang sumsum generasi penerus.
Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia tidak memiliki regulasi yang memadai terkait pembatasan usia untuk akses media sosial. Anak-anak usia 9–12 tahun sudah sangat aktif menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, padahal belum memiliki kematangan mental dan emosional untuk menyaring informasi. Di sisi lain, sistem kecerdasan buatan (AI) di balik media sosial terbukti menciptakan kecanduan melalui algoritma yang memanipulasi preferensi pengguna demi keuntungan perusahaan digital.
Kapitalisme Digital dan Kehancuran Mental Generasi
Fenomena ini sejatinya adalah buah dari sistem kapitalisme digital yang menjadikan media sebagai alat penetrasi pasar dan dominasi ideologi. Dalam sistem ini, platform media sosial bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan mesin uang raksasa yang memanen perhatian publik, termasuk anak-anak sebagai komoditas.
Setiap klik, gulir, dan bagikan menjadi nilai ekonomi. Perusahaan raksasa digital tidak memiliki kepentingan menjaga kesehatan mental pengguna, apalagi remaja. Tujuan utama mereka adalah memperpanjang waktu daring dan mendorong keterlibatan digital sebanyak mungkin. Di titik inilah kerusakan mental generasi muda menjadi bahaya tersembunyi yang dianggap wajar.
Indonesia sebagai negara dengan populasi digital terbesar keempat di dunia, ironisnya hanya dijadikan pasar empuk oleh para raksasa digital dunia. Pemerintah terlihat tidak serius dalam membatasi pengaruh buruk platform-platform tersebut. Tanpa kebijakan tegas, generasi muda dibiarkan tenggelam dalam dunia digital yang tak terkendali hingga mereka kehilangan jati diri dan semangat berpikir kritis.
Lebih dari itu, negara gagal berperan sebagai pelindung generasi muda. Alih-alih menciptakan sistem pendidikan dan sosial yang mampu membentengi anak-anak dari bahaya digital, negara justru turut mendorong digitalisasi tanpa kontrol. Konten vulgar, kekerasan, dan budaya hedonis terus berseliweran tanpa penyaringan, masuk ke ruang pribadi anak-anak hanya dalam satu sentuhan.
Islam: Menjaga Generasi dari Kehancuran Digital
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki visi peradaban yang berakar pada kesadaran akan tanggung jawab terhadap generasi. Dalam sistem Islam, negara menjadikan kualitas generasi muda sebagai prioritas utama, bukan sekadar populasi ekonomi. Generasi muda dilihat sebagai aset penting yang akan memimpin dan membangun masa depan umat.
Islam tidak akan membiarkan generasi terpapar konten merusak. Negara yang berdiri di atas dasar akidah Islam secara tegas akan mengawasi seluruh konten media, baik televisi, internet, maupun media sosial. Hanya konten yang sejalan dengan nilai-nilai Islam yang diperbolehkan tayang. Tayangan yang mengandung maksiat, kebencian, kekerasan, pornografi, atau kesesatan akan dicegah dan dikenai sanksi tegas.
Lebih jauh, penerapan sistem pendidikan Islam dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pembentukan kepribadian islami hingga optimalisasi peran orang tua sebagai pendidik pertama. Generasi tidak hanya diajarkan membaca dan berhitung, tetapi juga ditanamkan akidah yang kuat, adab yang mulia, dan keterampilan berpikir kritis.
Sistem Islam juga akan membatasi akses media sosial bagi anak-anak. Tidak semua platform akan diizinkan dan usia minimal penggunaan akan diawasi ketat. Teknologi AI pun akan diatur agar tidak menjadikan manusia sebagai objek eksperimen. Algoritma harus tunduk pada aturan syariat dan pengguna harus mendapatkan perlindungan dari manipulasi digital.
Langkah preventif dan kuratif akan dilakukan negara, termasuk penyediaan layanan kesehatan mental berbasis Islam, konsultasi pendidikan, serta komunitas pembinaan anak dan remaja yang aktif. Semua langkah ini bertujuan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara spiritual dan emosional.
Penutup
Krisis mental generasi muda akibat kecanduan digital adalah bom waktu yang dapat menghancurkan masa depan bangsa. Indonesia membutuhkan sistem yang benar-benar melindungi generasi, bukan sekadar imbauan kosong. Kapitalisme telah gagal dan justru memperburuk situasi. Sudah saatnya kita memikirkan ulang fondasi negara dan sistem kehidupan kita.
Islam membawa solusi nyata dan menyeluruh untuk mencetak generasi tangguh yang siap memimpin peradaban. Generasi seperti ini hanya akan lahir dari sistem yang memuliakan ilmu, adab, dan iman, bukan dari algoritma, viralitas, atau kapitalisasi perhatian. Wallahu a’lam bishshawab. (Dft)


0 Komentar