Oleh Shita Istiyanti
(Pegiat Literasi)
Vivisualiterasi.com - Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatra kembali membuka luka lama tentang bagaimana pembangunan yang tidak berkelanjutan selalu menjadikan rakyat sebagai korban. Setiap tahun, bencana seolah datang dalam pola yang sama, curah hujan ekstrem, sungai yang meluap, tanah longsor, dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Namun di balik narasi alam yang kerap diulang, ada pertanyaan yang harusnya lebih dulu disorot. Mengapa dampaknya bisa sedahsyat ini? Mengapa kerusakan selalu berulang di tempat yang sama? Jawabannya jarang menyentuh soal struktur kekuasaan dan tata kelola lingkungan yang telah lama bermasalah.
Fakta terbaru menunjukkan bahwa bencana yang terjadi tahun ini bukan kejadian biasa. Berdasarkan laporan Kompas (26/11/2024), curah hujan ekstrem yang memicu banjir di Sumatra Barat menyebabkan lebih dari 1500 warga mengungsi, merusak infrastruktur jalan, serta memutus akses antarwilayah. Data dari BNPB menunjukkan bahwa sejak awal tahun, Sumatra Barat telah mengalami lebih dari 260 kejadian bencana hidrometeorologi, sebagian besar banjir dan longsor. Laporan KLHK tahun 2023 juga menegaskan bahwa provinsi-provinsi di Sumatra mengalami laju deforestasi yang signifikan, dengan Sumatra sebagai penyumbang lebih dari 28% deforestasi nasional. Angka-angka ini memperkuat argumen bahwa kerentanan terhadap banjir adalah hasil akumulasi dari kerusakan ekologis panjang, bukan sekadar fenomena alam!
Dalam konteks ini, kritik terhadap pola pembangunan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan menjadi semakin relevan. Ekspansi industri ekstraktif seperti sawit, tambang, dan HTI yang menggerus kawasan hutan primer telah melemahkan daya serap tanah dan memperparah risiko banjir. Di banyak daerah, sungai yang dulu luas kini menyempit akibat sedimentasi dari pembukaan lahan besar-besaran. Ketika hutan digantikan oleh perkebunan monokultur yang hanya menguntungkan kelompok ekonomi tertentu, rakyat kecil justru harus menanggung biaya sosial dan ekologisnya. Inilah bentuk ketidakadilan struktural yang jarang dibicarakan dalam diskursus publik.
Lebih jauh, relasi antara penguasa ekonomi dan politik dalam penguasaan lahan sering kali menciptakan lingkaran kekuasaan yang sulit ditembus publik. Banyak konsesi diberikan tanpa kajian lingkungan yang memadai, atau bahkan bertentangan dengan rekomendasi teknis. Situasi ini membuat praktik perusakan hutan mendapatkan legitimasi formal, meskipun dampak jangka panjangnya sangat merugikan masyarakat. Ketika izin dikeluarkan untuk membuka ribuan hektare hutan, risiko ekologis tidak pernah diperhitungkan secara serius dalam proses politik yang sarat kepentingan.
Pada akhirnya, bencana yang menewaskan warga dan menghancurkan rumah bukan semata hasil dari cuaca ekstrem, tetapi dari hasil keputusan dan kebijakan yang gagal melindungi hutan sebagai penyangga kehidupan. Di titik ini, kritik tidak bisa lagi diarahkan hanya kepada alam, karena alam bekerja sesuai hukum-hukumnya sendiri. Yang patut dikritisi tajam adalah kegagalan tata kelola negara dalam melindungi ruang hidup warganya dari eksploitasi berlebihan. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan para pemilik modal yang kerap berlindung di balik narasi pembangunan dan kontribusi ekonomi.
Jika akar masalahnya tidak dibongkar, maka siklus ini akan terus menjadi tragedi rutin. Musim hujan datang, banjir menyapu, dan rakyat kembali menjadi korban. Dan setiap nyawa yang hilang di tengah bencana semacam ini adalah pengingat pahit bahwa kegagalan kebijakan bukan sekadar persoalan administratif melainkan soal moral, keberpihakan, dan keberanian politik. Banjir di Sumatra bukan hanya bencana alam. Ia adalah cermin dari tata kelola yang retak, yang selama ini dibiarkan menganga.
Dalam perspektif yang lebih mendasar, akar dari krisis ekologis ini tidak dapat dilepaskan dari paradigma kapitalisme yang menjadikan alam sebagai komoditas tanpa batas. Logika keuntungan jangka pendek selalu mengalahkan pertimbangan ekologis dan keselamatan manusia. Kapitalisme mendorong konsentrasi kepemilikan lahan pada segelintir elite ekonomi, memberikan ruang legal bagi eksploitasi besar-besaran melalui mekanisme perizinan, serta membiarkan relasi ekonomi-politik menentukan arah pembangunan. Selama paradigma ini bertahan, hutan hanya dilihat sebagai “aset” yang harus diekstraksi, bukan sebagai amanah yang harus dijaga. Inilah yang membuat kerusakan terus berulang: sistemnya memang memungkinkan, bahkan mendorong, kerusakan.
Berbeda dengan paradigma tersebut, Islam menawarkan kerangka tata kelola lingkungan yang secara prinsipil menolak eksploitasi tanpa batas. Dalam Islam, kepemilikan hutan dan sumber daya alam strategis bukanlah milik privat yang dapat diakuisisi oleh korporasi, tetapi dikategorikan sebagai milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Dalil ini menjadi fondasi kuat bahwa sumber daya yang menjadi penopang kehidupan publik tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok elite demi keuntungan pribadi.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan penerapan prinsip ini secara konsisten. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, wilayah hutan, padang penggembalaan, dan sumber air diatur secara ketat agar tidak jatuh ke tangan pemilik modal yang dapat merugikan rakyat. Umar bahkan mencabut izin pengelolaan lahan yang dikuasai secara tidak adil, karena menurut beliau, negara bertanggung jawab menjaga keseimbangan ekologis dan memastikan akses rakyat terhadap sumber daya tetap terjamin. Di masa Daulah Abbasiyah maupun Utsmaniyah, pengelolaan lahan publik dilaksanakan melalui lembaga resmi negara yang memastikan aktivitas ekonomi tidak melampaui daya dukung lingkungan.
Prinsip-prinsip ini bukan sekadar romantisasi sejarah, tetapi tawaran solusi sistemik: bahwa penyelamatan lingkungan mustahil dilakukan jika negara tidak memposisikan diri sebagai penjaga amanah publik. Islam menempatkan negara sebagai pihak yang wajib mencegah kerusakan (dar’ul mafasid), memastikan pembangunan berkelanjutan, dan menindak pihak yang merusak lingkungan sebagai bagian dari penegakan keadilan. Kerangka sistemik inilah yang hilang dalam logika kapitalisme modern yang menempatkan rakyat sebagai korban dari kebijakan yang lahir dari kompromi dengan kepentingan pemilik modal.
Oleh karena itu, upaya mengatasi banjir berulang dan krisis ekologis lain tidak cukup hanya dengan proyek rehabilitasi atau peringatan dini. Masalah dasarnya terletak pada paradigma sistem yang mengatur hubungan negara, modal, dan alam. Tanpa mengoreksi akar sistemik ini, kerusakan akan terus berulang, dan bencana hanya menjadi siklus tahunan. Sistem Islam, dengan prinsip kepemilikan publik, amanah negara, dan larangan eksploitasi yang merusak, menawarkan kerangka yang jauh lebih berkeadilan dan berkelanjutan untuk melindungi manusia dan lingkunganya.[Irw]


0 Komentar