Subscribe Us

ISLAM DAN JALAN KELUAR DARI KRISIS EKOLOGIS 




Oleh Mila Ummu Al
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)


Vivisualiterasi.com - Indonesia kembali dirundung duka. Setelah longsor di Cilacap dan Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 13 November 2025, yang menghapus dua dusun dari peta kehidupan serta rangkaian bencana lain yang menyusulnya, kini giliran Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menghadapi hantaman tragedi serupa. Rentetan musibah ini kembali membuka mata publik bahwa kerentanan ekologis negeri ini belum tertangani secara serius.

Jumlah korban akibat bencana yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terus meningkat. Pusdatin BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat hingga Selasa (2/12/2025) malam, sedikitnya 744 orang meninggal dan 551 lainnya masih hilang. Aceh menjadi episentrum terdampak dengan 218 korban jiwa dan 227 orang hilang. Akses darat ke empat kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tamiang masih terputus, menyulitkan distribusi bantuan dan pendataan lanjutan. Rentetan data ini menunjukkan skala kerusakan yang jauh lebih luas dibanding laporan awal, sekaligus menegaskan lemahnya kesiapsiagaan di wilayah rawan bencana tersebut. (Kompas.com, 3-12-2025)

Sementara itu, Sumatra Barat mencatat 225 korban meninggal dan 161 orang hilang. Kabupaten Agam serta Kota Padang Panjang menjadi lokasi dengan kerusakan infrastruktur paling parah. Banjir dan longsor yang berasal dari kawasan Gunung Singgalang merusak jalan, jembatan, dan permukiman, membuat upaya evakuasi dan logistik berjalan lambat. Data ini menegaskan bahwa dampak bencana di wilayah tersebut bersifat struktural, tidak sekadar insiden lokal.


Isyarat Kelalaian dan Minim Empati

Respons pemerintah menuai kritik karena dianggap lambat dan tidak peka. Kepala BNPB Letjen Suharyanto sebelumnya menyebut situasi di Sumatra “hanya mencekam di media sosial”, sebuah pernyataan yang langsung memicu gelombang protes. Meski kemudian meminta maaf, ucapannya menegaskan jarak empati antara pejabat dan realitas di lapangan.

Presiden Prabowo pun tak luput dari sorotan. Ia baru meninjau lokasi bencana pada 1 Desember dan tetap enggan mengusulkan status bencana nasional. Padahal korban terus bertambah dan banyak warga kelaparan berhari-hari karena terputusnya akses logistik. Di beberapa wilayah bahkan terjadi penjarahan akibat lambatnya bantuan.

Sejumlah pejabat juga mengalihkan perhatian pada siklon tropis Senyar sebagai penyebab tunggal. Namun, rekaman lapangan memperlihatkan air bah membawa ribuan kubik kayu gelondongan, bukti visual deforestasi yang berlangsung lama. Pernyataan Dirjen Gakkum KLHK yang menyebut kayu itu “tumbangan alami” langsung dibantah publik. Potongan kayu bersih tanpa akar jelas menunjukkan aktivitas pembalakan. Bencana ini mustahil hanya disebabkan cuaca, melainkan akumulasi kerusakan ekologis yang telah menggerogoti Leuser, Batang Toru, hingga DAS Batang Anai.

Paradigma Salah, Melahirkan Krisis

Akar bencana tidak semata pada fenomena alam, melainkan paradigma pembangunan sekuler kapitalistime yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai agenda utama, sementara perlindungan ruang hidup dipinggirkan. Paradigma ini membuka jalan bagi kolaborasi penguasa–pengusaha yang menjadikan hutan dan tanah sebagai komoditas, bukan amanah publik.

Pernyataan Presiden Prabowo dalam Musrenbangnas RPJMN (30/12/2024) memperlihatkan cara pandang tersebut. Ia menepis kekhawatiran terhadap deforestasi dan menekankan urgensi menambah perkebunan sawit, seakan sawit mampu menggantikan fungsi ekologis hutan. Padahal kajian ilmiah menunjukkan perkebunan sawit adalah tanaman monokultur berakar dangkal, sehingga tak mampu menahan air dan tak menyediakan habitat alami bagi satwa. Lonjakan konflik satwa di Sumatra adalah akibat langsung dari hilangnya ekosistem.

Sejak era SBY, sawit dijadikan proyek unggulan nasional. Izin pelepasan hutan dikeluarkan secara masif. Greenomics mencatat Zulkifli Hasan sebagai menteri dengan izin pelepasan hutan terbesar, mencapai 1,64 juta hektare, atau 25 kali luas DKI Jakarta. Sementara itu, deforestasi akibat tambang dari 2001–2023 mencapai 721 ribu hektare, termasuk 150 ribu hektare hutan primer. Secara global, Indonesia menyumbang 58,2% deforestasi tambang tropis di 26 negara (2000–2019). Sumatra bahkan diperlakukan sebagai “zona pengorbanan” dengan 1.907 IUP aktif seluas 2,45 juta hektare (CNN Indonesia, 2-12-2025).

Kerusakan ekologis yang begitu luas mematikan fungsi dasar hutan sebagai penyangga siklon, penyimpan air, dan penguat struktur tanah. Tambang terbuka menciptakan lanskap terdegradasi yang sukar dipulihkan, sementara penggunaan merkuri dan air asam tambang mengancam ekosistem air. Semua ini memperlihatkan bahwa bencana yang terjadi adalah konsekuensi dari paradigma pembangunan yang cacat sejak asas.

Sistem Rusak yang Wajib Diganti

Sistem sekuler kapitalistime secara inheren tidak mampu menjaga keseimbangan ekologis. Ia mengagungkan kebebasan kepemilikan, menyingkirkan standar halal–haram, dan menempatkan modal sebagai aktor utama. Negara pun bergerak dalam orbit kepentingan oligarki. UU Minerba, UU Ciptaker, dan berbagai regulasi perizinan hutan menunjukkan bagaimana negara lebih sibuk melayani akumulasi kekayaan segelintir elite ketimbang menjamin keselamatan rakyat.

Dalam sistem ini, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu untuk memberikan legitimasi politik, sementara keputusan strategis tetap dikendalikan oleh kepentingan modal. Demokrasi menjadi slogan kosong yang menutupi struktur kekuasaan yang timpang.

Kepemimpinan Islam, Jalan Satu-Satunya Menuju Keberkahan

Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Manusia dipandang sebagai hamba dan khalifah yang bertugas memakmurkan bumi. Syariat diturunkan untuk memastikan kehidupan berjalan harmonis dan membawa keberkahan. Penguasa bertanggung jawab menjaga rakyat dan mencegah kerusakan.

Syariat menetapkan bahwa sumber daya alam adalah milik umum yang tak boleh diberikan kepada korporasi. Sabda Nabi saw., “Kaum muslim berserikat dalam air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad), menjadi dasar bahwa hutan, air, dan tambang wajib dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Hasilnya masuk ke Baitulmal dan disalurkan sebagai layanan publik, bukan keuntungan oligarki.

Islam juga menetapkan larangan merusak bumi (QS Al-A’raf: 56) dan menjanjikan keberkahan bagi negeri yang beriman dan bertakwa (QS Al-A’raf: 96). Kepemimpinan Islam bukan sekadar alternatif, melainkan solusi sistemik yang memulihkan manusia dan alam.

Karena itu, umat Islam wajib kembali kepada syariat dan berjuang menegakkan kepemimpinan yang menerapkan Islam secara kaffah. Menegakkan  institusi politik yang dikenal sebagai khilafah melalui dakwah yang terorganisasi sebagaimana metode Rasulullah saw. Sejarah telah membuktikan keberhasilannya, dan dunia hari ini semakin memerlukan paradigma yang adil dan berkelanjutan tersebut.
Wallahu a’lam bish-shawab.[PUT]

Posting Komentar

0 Komentar