Oleh Nur Hajrah MS
(Kontributor Vivisualiterasi)
Vivisualiterasi.com - Di Indonesia, setiap 25 September diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN) dan tema HGN tahun ini adalah “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini sejalan dengan pidato Presiden Prabowo Subianto pada Hari Guru 2024, di mana dalam pidato tersebut beliau mengatakan, “Guru adalah pilar utama kemajuan bangsa.”
Sebagai pilar utama, tentu seorang guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Apalagi di era sekarang, guru dituntut untuk sempurna dalam menjalankan tugasnya. Namun, sayangnya saat guru bertindak tegas dalam mendisiplinkan murid, justru ia dilaporkan ke pihak berwajib. Belum lagi tuntutan administrasi dan kebijakan pendidikan yang kerap kali berubah mengikuti gerak bangku pemangku kekuasaan, menuntut guru untuk mengikuti dan mempelajari perubahan tersebut dengan cepat, padahal kurikulum sebelumnya saja belum sempat mereka kuasai. Ya, guru dituntut untuk sempurna dan serba bisa di tengah kebijakan penguasa yang jauh dari kata sempurna. Namun, saat bicara soal kesejahteraan, guru justru menjadi hal yang dikesampingkan dan tidak masuk dalam prioritas utama. Buktinya, pada Agustus lalu sempat viral berita mengenai upah guru dan dosen yang dianggap menjadi tantangan bagi keuangan negara, seolah-olah kesejahteraan guru merupakan beban bagi negara.
Pada kenyataannya, upah guru yang diberikan memang jauh dari kata sejahtera, apalagi bagi para guru honorer. Tenaga yang mereka keluarkan tak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Bahkan sering kali upah mereka lambat diberikan dan/atau dipotong dengan alasan yang tak dapat diterima oleh nalar. Salah satu contoh kasus berasal dari Mojokerto, di mana viral di media sosial sebuah foto slip gaji seorang guru honorer yang menerima upah sebesar Rp66 ribu selama sebulan mengajar (jawapos.com, 18-11-2025).
Selain itu, dari Luwu Utara, Sulawesi Selatan, viral dua orang guru yang dipecat, ditahan, dan didenda sebesar Rp50 juta usai meminta iuran dari orang tua murid untuk keperluan gaji bagi para guru honorer. Walaupun kasus ini telah dianggap selesai setelah keluarnya surat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto, tetap saja kasus ini memperlihatkan betapa mirisnya kesejahteraan guru di negeri ini (detik.com, 13-11-2025).
Keterlambatan gaji dan pemangkasan tunjangan guru seharusnya tidak terjadi, mengingat jasa para guru dalam mendidik generasi penerus bangsa begitu luar biasa. Tidak selayaknya para tenaga pendidik hidup dalam kemiskinan dan/atau kesulitan ekonomi. Sudah terlalu banyak keluh kesah dari mereka yang tidak didengarkan. Belum lagi para tenaga honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun tetapi belum juga diangkat sebagai pegawai; mereka hanya bisa bersabar menanti janji yang tak kunjung ditepati. Kehidupan para tenaga pendidik tidak diperhatikan, padahal mereka adalah pilar utama kemajuan bangsa. Ya, benar, secara seremonial guru hanya dirayakan dan diingat sebagai profesi, tetapi tidak untuk kesejahteraan mereka yang kerap kali terlupakan.
Tidak dapat dimungkiri beginilah wajah dunia pendidikan ala kapitalis: tak ada yang gratis. Segala lini kehidupan berorientasi pada keuntungan materi, termasuk dunia pendidikan. Tidak heran jika hak para guru terkait kesejahteraan sulit direalisasikan, bahkan dunia pendidikan pun tak luput dari praktik korupsi.
Islam Solusinya
Sistem pemerintahan saat ini gagal menjamin kehidupan yang layak bagi para tenaga pendidik. Mereka dituntut menjalankan tugasnya dengan sempurna di tengah sistem yang jauh dari kata sempurna. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, yang pernah berjaya di dua per tiga dunia. Khilafah sangat memperhatikan para tenaga pendidik; gaji mereka harus dipastikan memenuhi dan menjamin segala kebutuhan mereka, baik tempat tinggal, keamanan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Dalam naungan Khilafah, guru begitu dihargai karena mereka mengemban tugas yang mulia—tugas di mana setiap tenaga pendidik harus memastikan bahwa murid-muridnya tidak hanya paham ilmu pengetahuan yang diajarkan, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam demi terwujudnya generasi yang gemilang, generasi rabbani.
Selain itu, para guru juga mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara, berupa upah yang melebihi kebutuhan mereka. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dari Sadaqah ad-Dimasyqi dan al-Wadli‘ah bin Atha, pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas, sehingga 15 dinar = 63,75 gram emas. Jika harga emas masa kini Rp500 ribu per gram, maka upah guru pada masa Umar bin Khattab setara Rp31.875.000). Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam tidak dikenal istilah guru honorer maupun pegawai; semua guru sama derajatnya dan tidak dibeda-bedakan.
Khatimah
Para tenaga pendidik saat ini sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah, termasuk para guru honorer serta mereka yang bertugas di daerah terpencil. Pegawai maupun honorer berhak mendapatkan hak yang sama tanpa pembedaan. Para tenaga pendidik membutuhkan sistem yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka serta memfasilitasi tugas mereka sebagai guru. Namun, sayangnya semua itu hanya dapat terwujud jika penerapan hukum Islam dilakukan secara kaffah di seluruh aspek kehidupan—baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya. Semua itu hanya dapat diwujudkan dalam satu sistem pemerintahan yang dirahmati Allah Swt., yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a‘lam bishshawab.(Dft)


0 Komentar