Oleh Yuli Mariyam
(Pendidik Generasi Tangguh)
Vivisualiterasi.com - Tanah suci ketiga kaum Muslim masih menatap nanar kepada para pembesar negeri-negeri Muslim di Jazirah Arab, khususnya. Sungguh, serangkaian ujian yang mereka hadapi saat ini bukanlah akibat dari kesalahan mereka layaknya azab kaum Luth ataupun kaum Tsamud. Nestapa yang tak kunjung terhenti ini bukan pula semata urusan mereka, tetapi ada andil seluruh kaum Muslim, terutama para penguasa Arab yang seakan membiarkan hal tersebut menimpa Gaza.
Setelah ratusan ribu nyawa syahid pascaperlawanan 7 Oktober 2023, dunia seharusnya membuka mata lebih lebar dan mencerna lebih dalam. Pendudukan yang dilakukan oleh Zionis—la‘natullah ‘alaihim—telah membumihanguskan wilayah Palestina, tepatnya Gaza. Bumi para nabi itu telah mengalami genosida. Tidak hanya pasukan perlawanan, tetapi juga penduduk sipil, orang tua, perempuan, bahkan anak-anak dijadikan target oleh Zionis dalam memperluas pendudukannya. Banyak upaya dilakukan atas nama kemanusiaan, mulai dari pengumpulan donasi, boikot produk-produk Zionis, sampai adanya kapal Flotilla yang mengirimkan bantuan kemanusiaan dan membuka blokade atas Gaza selama perang berlangsung. Kelaparan pun tak terelakkan saat itu; ratusan nyawa melayang akibat kelaparan akut dan malnutrisi.
Kini, berita tentang Gaza kembali mencuat saat musim hujan tiba, dan penduduk yang masih tinggal di tenda-tenda pengungsian mengalami bencana banjir. Sedikitnya 620 jiwa harus tinggal di atas tanah bekas rumah mereka yang dibombardir Zionis tanpa fasilitas yang layak. Hujan lebat telah merobek-robek tenda mereka, dan air yang menggenanginya melengkapi penderitaan dalam krisis kemanusiaan ini (Antaranews.com, 15/11/2025). UNRWA sebagai organisasi PBB yang menangani hal ini menyatakan bahwa peralatan keseharian sangat dibutuhkan dalam kondisi tersebut. Meski bantuan telah dikumpulkan, mereka menyebutkan masih membutuhkan izin dari Zionis untuk mengirimkannya ke wilayah terdampak banjir. Hal ini membuktikan bahwa gencatan senjata bukanlah solusi bagi Palestina, demikian pula konsep two-state solution atau pembagian dua negara.
Palestina telah dibebaskan berulang kali oleh kaum Muslim sejak masa Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 641 Masehi dan penaklukan kembali Yerusalem oleh Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1187 Masehi. Selama ratusan tahun kaum Muslim memegang kunci kota suci dari tiga agama, yaitu Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka hidup berdampingan dalam kedamaian, menjalankan ibadah tanpa paksaan untuk masuk Islam, demikian pula sebaliknya. Namun kekalahan Khilafah Islamiyah pada Perang Dunia I (1914–1918) menjadikan Inggris dan sekutunya meletakkan orang-orang Yahudi yang telah diusir Hitler dari Jerman ke Palestina, yang kemudian menjadi cikal bakal kebiadaban yang terjadi saat ini.
Kaum Muslim adalah satu tubuh. Itulah yang seharusnya dirasakan oleh Muslim di negeri-negeri lain saat saudaranya mengalami kesusahan. Berbagai cara yang dilakukan dalam aksi-aksi kemanusiaan terbukti tidak membawa hasil yang tepat dan solutif. Tinggal satu-satunya jalan adalah mengembalikan kesadaran umat Muslim akan pentingnya persatuan, mengabaikan ide-ide nasionalisme ala Barat, mengirimkan pasukan, dan berjihad untuk mengusir penjajah dari negeri Palestina. Namun, adakah hal tersebut bisa dilakukan tanpa adanya khilafah? Tentu sulit. Jika kita menoleh pada sejarah, khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah menjadi perisai bagi kaum Muslim; mereka berjuang di bawah komandonya. Khalifah atau imamah adalah kepemimpinan global yang menerapkan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh. Ideologi kapitalis dengan asas sekulernya mengubah jihad—yang merupakan salah satu syariat dalam Islam—dengan mengerdilkan maknanya; bukan lagi perjuangan membebaskan sebuah negeri dari penjajahan, tetapi direduksi menjadi sekadar bersungguh-sungguh, baik dalam belajar maupun bekerja.
Kini, musuh kaum Muslim dalam kasus Palestina bukan hanya entitas Yahudi Zionis, tetapi juga elite global Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka telah memecah belah kaum Muslim dengan paham nasionalisme, mengkebiri pemahaman Islam dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ada di tempat-tempat ibadah dan tidak boleh mengatur kehidupan manusia. Selain itu, para penguasa negeri-negeri Muslim yang tidak lagi peduli dengan saudara mereka sesama Muslim membiarkan Palestina menjadi penjara terbesar di dunia tanpa harapan pasti akan kemerdekaan mereka.
Dakwah tidak boleh hanya sekadar mengingatkan tentang ibadah mahdah, tetapi dakwah ditujukan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah. Hal ini harus senantiasa digaungkan kepada seluruh kaum Muslimin, baik yang berada di negeri mayoritas Muslim maupun minoritas, agar mereka menyadari bahwa Islam yang dibawa Rasulullah saw. adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin: menjaga akidah, harta, akal, nasab, dan jiwa setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Hilangnya satu nyawa seorang Muslim lebih besar timbangannya di hadapan Allah daripada hancurnya dunia dan seisinya. Wallahu a‘lam bish-shawab. (Dft)


0 Komentar