Oleh Nadia Salsabyla
(Kontributor Vivisualiterasi Media)
Vivisualiterasi.com - Data BNPB per 6 Desember menyebutkan korban jiwa bencana Sumatera ada 914 orang, korban hilang sebanyak 389 orang, dan jumlah warga terdampak sebanyak 1,5 juta orang. Hingga kini, bantuan sudah bisa masuk di beberapa wilayah terdampak. Sedangkan sebagian wilayah di Aceh masih ada yang terisolasi.
Dengan banyaknya korban terdampak dan luasnya wilayah yang mengalami kerusakan, pemerintah tidak kunjung menetapkan status bencana nasional pada kasus Sumatera ini. Banyak pihak yang bersuara, mengkritik kebijakan penguasa yang dinilai lambat. Namun yang ada hanya dalih, seolah ada yang ingin ditutupi.
Menurut Menteri dalam Negeri Tito Karnavian, meski status bencana belum ditetapkan, penanganan di wilayah terdampak dilakukan sudah setara bencana nasional. Ia menambahkan, “Dari hari pertama, pemerintah pusat sudah menilai sendiri bahwa harus turun, dan sudah dilakukan dengan prosedur nasional, jadi semua sudah all out”. (kompas.com, 2/12/25)
Jika melihat ke belakang, penyebab bencana di Sumatera ini tidak semata disebabkan oleh curah hujan ekstrem. Polanya terlalu jelas, hingga sulit bagi siapapun untuk menutup mata. Bahkan semestinya pemerintah mampu menetapkan tindakan pencegahan untuk meminimalisir dampak yang terjadi.
Telah ditemukan pembalakan liar di 5 lokasi yang berpotensi menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan dan memicu banjir dan longsor. Dua di antaranya adalah wilayah hulu dan 3 lainnya penyalahgunaan pemegang hak atas tanah (PHAT). Pelaku penggundulan hutan pun tidak hanya perorangan atau perusahaan swasta, namun juga diduga beberapa oknum yang duduk di kursi pemerintahan.
Kapitalisme Menutup Mata Hati Penguasa
Berbagai tingkah laku dan respon penguasa terhadap bencana ini menunjukkan rendahnya empati dan inkompetensi mereka. Bagaimana tidak? Aturan yang dibuat, diatur sedemikian rupa untuk memudahkan pemilik modal mengeruk sumber daya alam tanpa berfikir dampak bagi masyarakat sekitar. Bahkan beberapa pengusaha juga bisa berkamuflase sebagai penguasa demi mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Hari ini kita dapati masyarakat harus berjuang sendiri dengan susah payah, bahkan jika taruhannya adalah nyawa. Kemalangan ini disebabkan oleh sistem demokrasi kapitalisme yang visinya adalah materi dan manfaat semata. Sehingga kebijakan yang dilahirkan senantiasa berkaitan dengan pertimbangan untung-rugi bagi perorangan atau kelompok tertentu. Rakyat hanya diperhatikan saat dianggap memberi nilai guna semisal saat mendulang suara pada pemilu.
Demokrasi Kapitalisme telah menutup mata hati penguasa. Aturan yang harusnya menyejahterakan, justru merugikan. Kebijakan yang harusnya meringankan justru menambah beban. Bencana di Sumatera hanya satu di antara sekian banyak fakta yang menunjukkan dampak dari bobroknya sistem ini. Pembukaan hutan besar-besaran tanpa pertimbangan yang matang sudah pasti memberikan penderitaan di masa depan. Kritik dan saran dari berbagai elemen masyarakat bisa dianggap sebagai ancaman. Tidak ada satu pun bagian dari sistem ini yang layak diselamatkan. Lantas apa yang kita harapkan pada sistem yang busuk dari akarnya?
Saatnya kembali ber-Islam Kafah
Pemilik alam semesta Allah ﷻ memperingatkan kita dalam surah Al-A’raf ayat 96 yang artinya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Ayat di atas merupakan peringatan bagi kita semua agar senantiasa menjalankan aturan Allah dalam semua aspek kehidupan. Dari individu masyarakat hingga penguasa tunduk dan patuh terhadap syariat Islam. Jika ada upaya untuk melemahkan, bahkan mengganti syariat Allah dalam mengatur kehidupan, maka ada harga yang harus dibayar.
Di ayat yang lain Allah menantang siapapun yang merasa aturannya lebih baik dibandingkan buatan-Nya. Ini adalah sesuatu yang harus jadi perenungan bersama, bagaimana mungkin kita bisa menang melawan Allah?.
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Bukan sekali saja kita menyaksikan penderitaan umat disebabkan kelemahan aturan manusia. Memutuskan perkara dan berhukum pada hawa nafsu, juga akal yang terbatas merupakan kekufuran yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.
Saatnya kita berkaca pada kepemimpinan Rasulullah ﷺ. Sebagaimana generasi sahabat dan tabi’in juga meneladani beliau dan berpegang erat pada syariat Islam. Kesempurnaan Islam itu nyata dan telah diterapkan selama lebih dari 1300 tahun lamanya. Kesejahteraan dan kemaslahatan bagi seluruh alam adalah keniscayaan akibat diterapkannya Islam secara kafah.
Tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menolak dari Allah. Mari bergerak sesuai dengan apa yang Allah mau. Jangan tunggu bencana dan kerusakan yang lebih dahsyat. Segera kembali pada aturan Islam yang kafah (sempurna), agar selamat dunia-akhirat. Wallahu a’lam bisshowab.[AR]


0 Komentar