Subscribe Us

DAPUR MBG: LAHAN BASAH KOLUSI DAN NEPOTISME

Oleh Muthiah Al Fath
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com- Badan Gizi Nasional (BGN) mengonfirmasi bahwa Yasika Aulia Ramadhani, putri Wakil Ketua DPRD Sulawesi Selatan Yasir Machmud, menguasai 41 dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui jaringan yayasan Yasika Group. Dapur-dapur ini tersebar di Makassar, Parepare, Gowa, dan Bone. Meski aturan BGN melarang satu yayasan menguasai lebih dari 10 dapur, Yasika memecah pengelolaan ke sejumlah yayasan untuk mengakali regulasi. Alih-alih menghentikan operasional, BGN justru memaklumi dengan alasan “sudah berjalan dan bermanfaat”, sembari berjanji memperketat aturan di kemudian hari. (Detik.com, 20-11-2025)

Kepala BGN, Dadan Hindayana, menilai kepemilikan 41 dapur bukan bentuk monopoli, tetapi justru membantu mempercepat distribusi program pemerintah. Sebaliknya, Celios melalui MBG Watch mengkritik keras sikap BGN yang dinilai abai terhadap potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan anggaran publik. Peneliti Celios, Galau D. Muhammad, menegaskan bahwa pemakluman ini mencerminkan lemahnya mitigasi konflik kepentingan dalam skema MBG.

Kolusi dan Nepotisme di Balik Dapur Bergizi

Sejak awal diluncurkan, MBG sudah menuai kritik. Pemerintah berjanji program ini menciptakan 1,8 juta lapangan kerja, berdasarkan proyeksi penggunaan 377 ribu dapur, masing-masing dioperasikan lima pekerja. Indef (Institute for Economic Development and Finance) memperkirakan MBG dapat menyumbang Rp4,51 triliun atau 34,2% PDB nasional pada 2025. Hitungan itu membuat program ini terlihat menjanjikan.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan cerita lain. Alih-alih mengurangi risiko “bandit anggaran” di tingkat pusat, MBG justru menjadi ladang rente di daerah. Kasus Yasika Group adalah buktinya. Anggota Komisi IX DPR RI, Muazzim Akbar, bahkan mengungkap bahwa sejumlah dapur MBG (SPPG) dijalankan oleh anggota satu keluarga besar. Fenomena ini memperlihatkan betapa longgarnya pengawasan dan betapa mudahnya proyek publik disusupi kepentingan privat.

Kedekatan penguasa dan pengusaha dalam sistem politik hari ini membuat kebijakan publik sangat rentan dikapitalisasi. Tidak mengherankan bila MBG berubah menjadi megaproyek yang mengundang gelagat kolusi dan nepotisme. Regulasi yang lemah dan minim pengawasan membuat program populis ini rentan penyalahgunaan wewenang.

Program Bermasalah Sejak Awal

MBG bukan tanpa persoalan. Keracunan massal, kualitas gizi yang tidak memenuhi standar, keamanan pangan yang meragukan, hingga pernyataan kontroversial bahwa ahli gizi dapat “digantikan dengan pelatihan singkat”, menunjukkan bahwa desain program ini bermasalah. MBG hanya menyentuh gejala, bukan akar persoalan gizi nasional.

Akar malnutrisi adalah kemiskinan. Kemiskinan berkaitan langsung dengan pengangguran, rendahnya pendidikan, buruknya akses kesehatan, ketimpangan pendapatan, dan minimnya lapangan kerja. Sayangnya, negara justru menggantungkan penyediaan pekerjaan pada sektor swasta yang sendiri banyak tumbang. Alhasil, siklus pengangguran–kemiskinan–malnutrisi terus berulang. Program parsial seperti MBG tidak menyelesaikan ketimpangan struktural.

Dalam sistem demokrasi-kapitalistik, kebijakan negara sering lebih berpihak pada segelintir elite ketimbang rakyat. MBG sejak awal diduga menjadi proyek profit, bukan proyek sosial. Skema kemitraannya mensyaratkan modal besar, sehingga hanya pihak yang punya akses dan kapital yang bisa terlibat. Program ini akhirnya eksklusif, bukan inklusif.

Demokrasi memberi ruang bagi elite politik dan jaringan bisnisnya menyusup ke proyek publik. Akibatnya, MBG menjadi komoditas ekonomi yang bisa dipanen pihak tertentu. Klaim bahwa program ini “demi rakyat” berubah menjadi sekadar retorika, sementara keuntungan justru mengalir ke pemodal. Begitulah kapitalisme bekerja: seakan untuk publik, tetapi pada hakikatnya untuk kepentingan elite.

Perspektif Islam: Negara Wajib Menjamin Gizi Rakyat

Dalam Islam, pemimpin adalah raa’in (pengurus) yang wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat. Ini bagian dari amanah kepemimpinan yang akan dihisab Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pemenuhan gizi generasi merupakan tanggung jawab negara, bukan alat pencitraan. Islam tidak membiarkan kebutuhan dasar rakyat diserahkan kepada mekanisme proyek atau kemitraan komersial. Negara wajib mengentaskan kemiskinan sebagai akar persoalan. Maka solusi perbaikan gizi tidak bisa dilakukan secara parsial.

Sistem Islam (Khilafah) menyediakan mekanisme komprehensif:

1. Pemenuhan kebutuhan primer.
Laki-laki wajib menafkahi keluarga. Bila tidak mampu, kerabat membantu, dan bila tetap tidak mencukupi, negara wajib turun tangan.

2. Negara wajib menyediakan layanan publik gratis.
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan dibiayai negara. Penguasa tidak boleh menyerahkannya kepada swasta, apalagi asing.


3. Pembiayaan bersumber dari Baitulmal.
Pendapatan berasal dari fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, khumus, rikaz, ganimah, serta hasil kepemilikan umum seperti energi dan tambang. Semua dikelola negara, bukan korporasi.

Dengan model ini, pelayanan negara tidak bersifat proyek, tidak berbasis kemitraan komersial, dan tidak memberi celah rent seeking. Negara mampu menjamin kebutuhan gizi secara merata, bukan hanya pada kelompok tertentu seperti peserta MBG.

Dalam Khilafah, program makan bergizi bisa saja diberikan kepada siswa, tetapi sebagai bagian dari sistem pendidikan yang gratis dan paripurna, bukan proyek populis berbasis anggaran yang rentan disusupi kepentingan politik.

4. Kemandirian ekonomi negara.
Islam melarang ketergantungan pada swasta atau asing untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Produksi pangan diutamakan dari dalam negeri untuk menjamin kedaulatan pangan.

Dengan mekanisme yang terintegrasi, Islam mampu memastikan kesejahteraan rakyat dan membangun generasi kuat yang siap melanjutkan peradaban. MBG dalam sistem kapitalisme hanyalah tambalan kecil bagi masalah besar. Islam memberikan solusi sistemik yang menyentuh akar persoalan, serta terbukti mampu menghapus kemiskinan, menjamin pelayanan publik, dan memastikan negara tidak diprivatisasi oleh oligarki. Wallahu a’lam bissawab.[PUT]




Posting Komentar

0 Komentar