Subscribe Us

BENCANA SUMATRA, BUKTI BAHAYA PERUSAKAN ALAM DALAM SISTEM KAPITALISME




Oleh Anita Arwanda, S.Pd. 
(Pendidik, Aktivis Muslimah)


Vivisualiterasi.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian buka suara terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap banjir dan longsor di Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar). Ia menuturkan, meski status bencana nasional belum ditetapkan, penanganan bencana di wilayah tersebut tetap dilakukan setara dengan bencana nasional.

“Untuk penetapan status bencana nasional sementara ini belum, setahu saya. Tetapi perlakuannya sudah nasional dari hari pertama,” kata Tito dalam keterangannya, Senin (1/12/2025), dikutip dari laporan jurnalis KompasTV.

Menurut penjelasannya, penanganan telah dilakukan sejak hari pertama bencana terjadi. “Dari hari pertama, pemerintah pusat sudah menilai sendiri bahwa harus turun,” ujarnya. “Kemudian dari hari pertama sudah dilakukan dengan prosedur nasional, jadi semua sudah all out,” sambungnya.

Tito juga menuturkan, tidak hanya Presiden Prabowo Subianto, para menteri juga menuju ke lokasi bencana, baik di Sumut, Aceh, maupun Sumbar, dengan mengerahkan semua kekuatan nasional. Lebih lanjut ia menilai, hal yang terpenting saat ini ialah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membantu penanganannya.

“Jadi masalah status itu, pendapat saya, penting. Tapi yang paling utama itu kan perlakuan. Tindakannya itu yang penting. Tindakan nasional,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, banjir dan longsor melanda sejumlah wilayah di Sumut, Aceh, dan Sumbar beberapa waktu terakhir. Bencana tersebut mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia dan korban hilang. (Kompas.com)

Data korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di Sumatra per Senin (1/12) petang mencapai 604 orang. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa jumlah korban tersebut merupakan data terbaru.

“Data yang tampil data ter-update,” ujar Abdul Muhari kepada wartawan, Senin.

Berikut data korban bencana di Sumatra (Aceh, Sumut, dan Sumbar) per pukul 17.00 WIB, Senin (1/12):

Korban jiwa: 604 orang

Korban hilang: 464 orang

Korban luka: 2.600 orang

Warga terdampak: 1,5 juta orang

Jumlah pengungsi: 570 ribu orang

Adapun rincian korban jiwa di Aceh sebanyak 156 orang, korban hilang 181 orang, dan korban luka 1.800 orang. Kemudian, korban meninggal di Sumbar sebanyak 165 orang, korban hilang 114 jiwa, dan 112 orang terluka. Sementara itu, di Sumut jumlah korban meninggal 283 orang, 169 orang hilang, dan 613 orang terluka.

Data BNPB juga menyebutkan, sebanyak 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, dan 20.500 rumah rusak ringan. Selain itu, 271 jembatan serta 282 fasilitas pendidikan rusak. (CNNIndonesia.com)

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kesiapan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatra, meskipun terjadi penurunan alokasi dari sekitar Rp2 triliun menjadi Rp491 miliar. Isu penurunan anggaran tersebut sempat memicu perhatian publik di tengah besarnya kebutuhan untuk menangani dampak banjir dan longsor yang terjadi secara masif.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa realisasi anggaran menyesuaikan permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Jakarta, Senin (1/12/2025).

“Anggaran BNPB masih ada Rp500 miliar lebih yang siap. Kalau butuh dana tambahan, kita siap menambah. Sudah ada di anggarannya,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa penurunan realisasi anggaran tidak mencerminkan minimnya perhatian pemerintah. Menurutnya, Kemenkeu memiliki cadangan fiskal yang cukup besar sehingga siap menambah anggaran kapan pun diperlukan. BNPB juga dipersilakan mengajukan anggaran belanja tambahan apabila kebutuhan meningkat.

Dana yang tersedia dinilai masih mencukupi untuk berbagai kebutuhan penanganan bencana, mulai dari rehabilitasi, pemulihan infrastruktur dasar, hingga perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak.

“Kita siap terus,” pungkas Purbaya.

Sementara itu, berdasarkan data per Senin (1/12/2025), sebanyak 104.901 keluarga atau 526.098 jiwa terdampak banjir di Sumut, Sumbar, dan Aceh. Bencana tersebut juga mengakibatkan kerusakan berbagai fasilitas umum, termasuk perkantoran, sekolah, tempat ibadah, dan pondok pesantren. Pemerintah menegaskan komitmennya untuk mempercepat proses penanganan dan pemulihan. (Beritasatu.com)

Bencana longsor dan banjir bandang yang menerjang sebagian wilayah Sumatra bukan hanya disebabkan faktor curah hujan tinggi, tetapi juga menurunnya daya tampung wilayah. Berbagai tayangan di media sosial memperlihatkan banyaknya kayu gelondongan terbawa arus banjir, bersama lumpur dan bebatuan.

Bencana tersebut tidak semata-mata faktor alam atau ujian, melainkan dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa: pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Cipta Kerja, dan lain-lain.

Sikap penguasa seperti ini sangat mungkin terjadi dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Penguasa dan pengusaha kerap bersekongkol menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Sistem kapitalisme yang rusak melahirkan penguasa zalim yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan terhadap kelestarian alam.

Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya nyata akibat pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Alam selalu mengungkapkan fakta atas keserakahan dan kezaliman yang terjadi di negeri ini.

Inilah dampak dari negara yang meninggalkan hukum Allah dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat menderita, sementara pengusaha dan penguasa menikmati hasil dari perusakan alam.

Islam dalam Al-Qur’an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi disebabkan oleh ulah manusia. Karena itu, sebagai wujud keimanan, umat Islam wajib menjaga kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi seluruh urusan, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar.

Negara juga berkewajiban mengalokasikan biaya untuk antisipasi dan pencegahan banjir maupun longsor melalui pendapat para ahli lingkungan. Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisasi bencana yang menyengsarakan rakyat.

Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan memfokuskan kebijakannya untuk menjaga keselamatan manusia dan lingkungan. Khalifah akan merancang cetak biru tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya: tempat tinggal dengan daya dukungnya, wilayah industri, wilayah tambang, dan himmah. Wallâhu a‘lam bish-shawâb. (Dft)




Posting Komentar

0 Komentar