Subscribe Us

BENCANA SUMATERA, AKIBAT EKSPLOITASI




Oleh Indah Puspasari, S.E 
(Aktivis Dakwah Jogja)


Vivisualiterasi.com - Akhir 2025 ini menjadi saksi pilu bagi duka yang tengah dirasakan oleh rakyat di sebagian wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan sekitarnya. Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah tersebut telah mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia dan sebagian masih dinyatakan hilang. Data terbaru yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa korban meninggal dunia akibat bencana tersebut bertambah menjadi 940 orang dan 276 lainnya hilang. (detikcom, 07/12/2025). Tak hanya membawa aliran air yang sangat deras, banjir di wilayah tersebut juga membawa ribuan gelondongan kayu yang hanyut dan menghantam pemukiman warga. 

Ini bukanlah bencana yang biasa. Dahsyatnya bencana ini seringkali dikatakan sebagai bencana hidrometeorologi yang menjadikan aktivitas cuaca seperti curah hujan tinggi sebagai penyebab utamanya. Hal ini tentu juga merupakan salah satu qadha dari Allah. Namun, sebagai seorang muslim kita patut bermuhasabah, apakah semua bencana yang terjadi benar-benar datang secara alami ataukah ada andil besar dari campur tangan manusia sebagai pendorong utamanya. Jika dicermati lagi, terdapat faktor lain yang mendorong terjadinya bencana tersebut, seperti menurunnya daya tampung wilayah dan buruknya tata kelola lingkungan.

Adanya ribuan kayu yang hanyut dan terseret arus banjir sudah cukup menjelaskan bagaimana manusia memperlakukan alam secara brutal. Hal ini diperkuat dengan data dari WALHI yang mengatakan selama tahun 2016 - 2025, Indonesia mengalami deforestasi besar-besaran pada beberapa wilayah yang menyebabkan 1,4 juta hektar hutan hilang secara permanen. Salah satu wilayah yang terekam mengalami penggundulan lahan berada di daerah Tapanuli, Sumatera Utara, di mana terdapat area perusahaan tambang emas di dekatnya. Adanya deforestasi mengakibatkan suatu tempat mengalami penurunan daya tampung wilayah di sebagian daerah karena fungsi vital hutan sebagai penyerap air dan penyangga ekosistem juga hilang. Alhasil, risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor semakin meningkat diiringi dengan keanekaragaman hayati yang semakin berkurang. 

Deforestasi dalam skala besar merupakan keputusan kejam para kapitalis yang memandang area hutan sebagai salah satu komoditas untuk membuka lahan cuan, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan proyek pembangunan lainnya. Dalam sistem kapitalisme, semua ini dilakukan atas dasar kepentingan dan keuntungan para elit tanpa melihat apakah dampak yang diberikan membahayakan lingkungan atau tidak. Tak heran, segala upaya akan dilakukan demi meraup untung meskipun harus mengorbankan rusaknya ekosistem hingga hilangnya nyawa warga akibat bencana. 

Melalui persetujuan negara, dilegalkannya deforestasi dalam skala besar ini turut memperlihatkan bahwa negara masih lemah dalam melakukan pengawasan pada liarnya aktivitas pemanfaatan SDA secara berlebihan yang berdampak pada buruknya tata kelola lingkungan. Selain itu, banyaknya izin usaha yang diberikan negara kepada beberapa perusahaan besar atas aktivitas tersebut juga cukup menjadi penanda bahwa kebijakan hanya dibuat untuk melayani kepentingan para pemilik modal, bukan untuk kemaslahatan rakyat. Penguasa juga kerap bergandeng tangan dengan pemilik modal untuk menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Inilah potret suram eksploitasi alam yang sistematis dan terstruktur oleh para kapitalis, di mana bencana akhirnya timbul dari hasil keputusan politik yang salah. 

Melihat banyaknya bencana yang terjadi di muka bumi, Islam telah mengingatkan di dalam Al Quran terkait adanya potensi kerusakan (fasad) yang dibuat oleh tangan manusia. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 41: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Bencana yang menimpa wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh merupakan buah dari kebijakan zalim negara dalam me-riayah lingkungan karena memberikan wewenang kepada swasta dan pengusaha untuk mengelolanya dengan orientasi profit. Hasil SDA melimpah yang seharusnya dirasakan manfaatnya oleh rakyat justru hanya berputar pada segelintir elit. Sementara itu, segala bentuk bahaya yang dihasilkan akan ditanggung oleh rakyat. 

Hal ini sangat bertentangan dengan syariat Islam yang memandang hutan dan area pertambangan sebagai hak milik umum. Pengelolaannya pun dilakukan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat dengan mempertimbangkan berbagai dampak serta tidak berorientasi pada keuntungan seperti yang dilakukan oleh para kapitalis. Dengan begitu, negara tidak akan memberikan kesempatan bagi kapitalis untuk melakukan eksploitasi alam. Inilah keniscayaan yang terjadi ketika penguasa memahami amanahnya sebagai seorang ra'in. 

Selain itu, sebagai bentuk manajemen bencana, tindakan pencegahan dan mitigasi bencana juga merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Pencegahan dilakukan dengan menjaga lingkungan agar terhindar dari aktivitas yang merusak dan membahayakan. Sedangkan mitigasi dapat dilakukan dengan mengkaji berbagai risiko bencana di suatu wilayah, menguatkan infrastruktur, dan memberikan respons cepat tanggap dalam kondisi darurat.  

Di dalam Islam, satu nyawa manusia sangatlah berharga dan merupakan amanah dari seorang pemimpin negara. Maka, wajib bagi penguasa untuk melindungi rakyat dan alam dari bahaya terstruktur yang dibuat oleh tangan manusia atas dasar keuntungan. Keselamatan rakyat dan kelestarian alam akan terwujud ketika negara menjadikan Islam sebagai penuntun kehidupan, termasuk dalam membuat kebijakan. Wallahua'lam bisshawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar