Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, bahkan mengungkapkan data yang mencemaskan: lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental, dari sekitar 20 juta jiwa yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa gratis. Angka ini menggambarkan bahwa persoalan mental anak bukan sekadar kasus individual, melainkan gejala sistemik dari kegagalan sistem sosial dan pendidikan yang berlaku saat ini.
Kerapuhan Mental, Cermin Pendidikan Tanpa Akidah
Angka bunuh diri juga terus mengalami peningkatan yang tajam di Indonesia. Data Pusiknas Polri, pada 2024 terjadi sebanyak 1.105 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka itu turun tipis dibandingkan 2023 yang mencapai 1.288 kasus. Sebelumnya, kasus bunuh diri juga memiliki tren meningkat sebab pada 2022 tercatat 902 kasus. Lebih tinggi dari 2021 dengan sebanyak 629 kasus dan 2020 sebanyak 640 kasus. Sementara di kalangan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat hingga Oktober 2024, ada 25 kasus bunuh diri anak sepanjang tahun ini. Sementara total kasus di 2024, mencapai 43 kasus bunuh diri anak, dan pada 2023 sebanyak 46 kasus bunuh diri.
Dari daftar angka bunuh diri, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa remaja adalah fase ambang identitas yang menyebabkan terjadi ledakan sensitivitas sosial, kebutuhan afiliasi, serta reward-seeking yang tinggi. Namun, kapasitas regulasi emosi dan kemampuan mengambil perspektif jangka panjang belum matang secara neuropsikologis. “Kombinasi ini membuat mereka sangat rentan terhadap rasa malu publik, rasa tertolak, dan persepsi ‘ketidak-terelakkannya’ masalah. Dan ketika sense of belonging runtuh, rasa sakit psikologis bisa terasa absolut.
Meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pelajar memperlihatkan bahwa banyak anak tumbuh dengan kepribadian rapuh dan tanpa arah hidup yang jelas. Mereka kehilangan kemampuan untuk menghadapi tekanan, gagal menemukan makna hidup, dan tidak memiliki pegangan spiritual yang kuat. Ini bukan semata persoalan psikologis, melainkan buah dari sistem pendidikan sekuler, yakni sistem yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan.
Dalam paradigma sekuler, pendidikan hanya berfokus pada capaian akademik, kompetisi, dan prestasi fisik, sementara aspek akidah dan spiritualitas anak diabaikan. Agama memang diajarkan, tetapi sebatas teori. Ia tidak diinternalisasi menjadi jalan hidup yang membentuk cara berpikir dan bersikap. Akibatnya, ketika anak menghadapi tekanan, mereka tidak memiliki pondasi nilai yang bisa menjadi sandaran.
Paradigma Barat dan Krisis Kedewasaan Anak
Masalah ini diperparah oleh paradigma Barat yang mendominasi sistem pendidikan nasional. Dalam pandangan Barat, anak dianggap belum dewasa hingga berusia 18 tahun. Akibatnya, banyak anak yang sebenarnya sudah balig secara biologis dan psikis, tetapi masih diperlakukan sebagai anak-anak — tidak diberi tanggung jawab, tidak diarahkan untuk berpikir matang, dan tidak dididik untuk menyempurnakan akalnya.
Dalam pandangan Islam, masa balig justru merupakan titik penting untuk mendewasakan akal dan menyiapkan tanggung jawab moral. Pendidikan anak sebelum balig harus diarahkan untuk mematangkan kepribadian Islami, agar ketika ia tumbuh, ia memiliki kesadaran spiritual, kecerdasan berpikir, dan ketahanan mental menghadapi ujian hidup.
Gangguan Mental: Buah dari Sistem Kapitalisme
Bunuh diri adalah puncak dari gangguan kesehatan mental, dan gangguan mental sendiri adalah hasil dari kompleksitas persoalan dalam sistem kapitalistik: tekanan ekonomi, keluarga retak akibat perceraian, pergaulan bebas, tuntutan gaya hidup konsumtif, hingga paparan konten negatif media sosial. Kapitalisme menjadikan kehidupan serba kompetitif dan materialistik. Anak-anak tumbuh dalam budaya yang menilai harga diri dari harta dan prestasi, bukan dari moral dan iman.
Mereka dibombardir dengan citra kesuksesan semu di media sosial, disuguhi komunitas daring yang bahkan menormalisasi bunuh diri. Dalam lingkungan seperti ini, kesehatan mental anak tak mungkin stabil, sebab akar persoalannya bukan hanya medis, tetapi ideologis dan sistemik.
Solusi Islam: Pendidikan Berbasis Akidah yang Menumbuhkan Ketahanan Jiwa
Islam menawarkan solusi mendasar dan menyeluruh. Dalam sistem pendidikan Islam, akidah menjadi dasar seluruh bangunan pendidikan, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Tujuannya bukan sekadar melahirkan siswa berprestasi, tetapi membentuk pola pikir (aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang Islami.
Dengan dasar ini, anak tumbuh menjadi pribadi yang tahu tujuan hidupnya: beribadah kepada Allah. Ia akan kuat menghadapi kesulitan, karena memahami makna ujian hidup dan yakin bahwa setiap cobaan adalah bagian dari takdir yang harus dihadapi dengan sabar dan ikhtiar.
Selain itu, sistem Islam juga menyelesaikan faktor non-klinis yang menjadi akar gangguan mental, seperti tekanan ekonomi dan disfungsi keluarga. Dalam sistem Islam, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, menjaga ketahanan keluarga, dan menumbuhkan masyarakat dengan nilai ukhuwah, bukan kompetisi individualistik.
Kurikulum Islam yang Menyelamatkan Generasi
Kurikulum pendidikan Islam di bawah sistem khilafah dirancang untuk memadukan penguatan kepribadian Islam dengan berpikir dan bertindak sesuai dengan aqidah atau keimanan yang kuat terhadap sang Khaliq dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diterapkan dalam kehidupan.
Murid bukan hanya diajarkan berpikir logis, tetapi juga berpikir syar’i, mampu menilai setiap peristiwa dengan kacamata iman mana yang halal dan yang haram. Dengan kepribadian seperti ini, mereka tidak mudah terguncang oleh tekanan, tidak kehilangan arah ketika gagal, dan tidak putus asa di tengah ujian hidup.
Penutup: Kegagalan Sistem Sekuler, Seruan untuk Kembali ke Pendidikan Berbasis Akidah
Lonjakan kasus bunuh diri di kalangan pelajar bukan sekadar krisis psikologis, tetapi indikasi gagalnya sistem pendidikan sekuler yang memisahkan iman dari kehidupan. Ketika anak diajarkan ilmu tanpa arah, prestasi tanpa makna, dan kebebasan tanpa batas, maka kehampaan batin menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Sudah saatnya kita berhenti menambal luka dengan solusi parsial seperti seminar mental health atau pelatihan motivasi. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah revolusi pendidikan berbasis akidah, yang menanamkan iman sebagai akar, dan membentuk kepribadian Islam sebagai buahnya.
Karena sejatinya, pendidikan bukan sekadar mencetak manusia cerdas, tetapi membangun manusia yang kuat jiwa dan akalnya, agar tak mudah hancur di tengah ujian hidup. Wallahualambishowab.(Dft)


0 Komentar