(Aktivis Dakwah)
Sementara itu, di wilayah lain, kekerasan terhadap anak dilakukan oleh seorang remaja berusia 16 tahun hingga menyebabkan tewasnya korban, seorang anak perempuan berusia 11 tahun, di Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Motifnya, pelaku merasa kesal karena pernah ditagih oleh ibu korban terkait utang. (Berita Satu, 15-10-2025)
Merebaknya kasus kekerasan dalam lingkungan keluarga mencerminkan betapa rapuhnya hubungan keluarga di masyarakat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang paling aman dan nyaman, justru berubah menjadi sumber trauma dan luka bagi anak. Remaja yang tumbuh tanpa teladan dan kasih sayang orang tua akhirnya mudah terbawa arus pergaulan hingga bermuara pada perilaku agresif dan menyimpang. Jika menelisik kasus kekerasan dalam rumah tangga, tampak bahwa persoalan ini terus berulang. Lantas, apa yang menyebabkan kasus kekerasan sering kali terulang?
Bayang-Bayang KDRT dan Kekerasan Remaja
Krisis moral yang melanda negeri ini kian mengkhawatirkan. Generasi yang seharusnya menjadi penerus peradaban gemilang justru makin jauh dari harapan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu pemicu rusaknya mental anak dan remaja. Memori buruk yang terbentuk berdampak jangka panjang: merusak mental, menimbulkan trauma dan kecemasan, menurunkan minat belajar, hingga memunculkan perilaku sosial menyimpang.
Anak yang kerap menyaksikan KDRT cenderung menginternalisasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. Adapun KDRT sering kali dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya persoalan ekonomi, kemajuan teknologi seperti penggunaan gawai secara berlebihan hingga menghilangkan fokus pada pasangan, serta budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat.
Melansir dari UMS (29-9-2025), setiap tahun kasus KDRT mengalami peningkatan. Bahkan per 4 September 2025, jumlahnya mencapai 10.240 kasus. Ironisnya, meskipun negara telah mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kasus tersebut justru kian meningkat. Hal ini disebabkan karena penanganan tidak menyentuh akar permasalahan, ditambah sanksi yang dijatuhkan kurang tegas sehingga tak memberikan efek jera.
Dikutip dari Kumparan (21-11-2023), sanksi bagi pelaku KDRT berkisar antara 4 bulan penjara dan denda Rp5 juta hingga 15 tahun penjara dan denda Rp45 juta jika korban meninggal dunia. Adapun bagi remaja yang terlibat kasus kekerasan, hukumannya sering diringankan dengan alasan usia di bawah umur. Akibatnya, minimnya sanksi dan ketiadaan efek jera membuat kasus serupa terus berulang.
Imbas Sekularisme
Kehidupan yang semakin jauh dari syariat menampakkan wajah peradaban yang carut-marut. Sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, menjadikan halal dan haram tak lagi menjadi tolok ukur perilaku. Hilangnya rasa takut kepada Sang Pencipta membuat generasi masa kini bebas melanggar hukum syarak.
Agama yang seharusnya menjadi pedoman hidup kini terpinggirkan, digantikan oleh ideologi asing yang menyesatkan umat. Aturan hidup pun bersumber dari hukum buatan manusia yang lemah dan terbatas. Akibatnya, keluarga yang jauh dari tuntunan agama akan kesulitan menjalankan perannya. Dalam menghadapi masalah, mereka lebih sering mempertahankan ego masing-masing, yang berujung pada konflik tak berkesudahan, bahkan KDRT dan perceraian.
Dampaknya, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga tak harmonis kerap mengalami gangguan mental dan berperilaku menyimpang, termasuk terlibat dalam kekerasan akibat trauma lingkungan keluarga.
Sistem pendidikan sekuler juga berpengaruh besar terhadap kehidupan generasi muda. Pendidikan agama hanya dijadikan pelengkap kurikulum dengan jam pelajaran terbatas, lebih menekankan aspek nilai ketimbang pengamalan. Akibatnya, lahirlah generasi individualistis dan jauh dari ketakwaan. Tak heran, banyak remaja kini berani menerobos batas-batas syariat karena kehidupannya jauh dari nilai-nilai Islam.
Islam Solusi Tuntas
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Kehadirannya menjadi cahaya penerang setelah masa kegelapan. Dalam Islam, hubungan suami istri ibarat ikatan sahabat sejati yang saling menentramkan, saling mengasihi, dan menyayangi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih sayang...”. (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Keluarga adalah tempat pertama bagi anak mendapatkan pendidikan. Peran orang tua sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak agar menjadi insan bertakwa sekaligus teladan bagi mereka. Seperti cermin, perilaku orang tua akan dipantulkan oleh anak.
Oleh karena itu, orang tua perlu menanamkan adab sejak dini sekaligus memberikan teladan. Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila anak telah mencapai usia enam tahun, hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” (HR. Ibnu Hibban)
Keluarga yang dibangun di atas fondasi Islam dan menjadikan hukum syarak sebagai pedoman hidup akan mampu menyelesaikan persoalan rumah tangga melalui musyawarah. Jika tidak ada kesepakatan di antara kedua pihak, perceraian menjadi jalan terakhir. Namun, kekerasan dalam bentuk apa pun tetap tidak dibenarkan.
Dalam Islam terdapat tiga pilar perlindungan yang dapat menyelamatkan umat di antaranya:
1. Pendidikan Berlandaskan Syariat Islam
Individu yang dibina dengan nilai-nilai Islam dan kokoh akidahnya akan menjadi pribadi bertakwa dan menjauhi kekerasan. Ketika membangun rumah tangga, rasa takut kepada Allah akan mencegahnya berbuat zalim terhadap pasangan, anak, atau lingkungannya.
2. Kontrol Sosial
Masyarakat yang menerapkan prinsip amar makruf nahi mungkar akan mencegah terjadinya KDRT maupun kekerasan lainnya. Kontrol sosial ini menjadi pelindung moral bagi keluarga dan lingkungan.
3. Peran Negara
Dalam sistem Islam (daulah), negara wajib menerapkan pendidikan Islam di sekolah dan dalam kehidupan keluarga. Generasi yang tumbuh dengan pemahaman syariat sejak dini akan terjaga dari perilaku menyimpang. Negara juga wajib menegakkan sanksi (uqubat) bagi pelaku kekerasan.
Jika pelaku menyebabkan cacat atau kematian, maka hukum qisas diberlakukan sebagai bentuk keadilan bagi korban. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir), sehingga pelaku tidak lagi dihukum di akhirat.
Demikianlah, Islam hadir dengan sistem perlindungan yang menyeluruh untuk menjaga manusia, terutama generasi masa kini. Karena itu, agar kasus kekerasan tidak terus berulang, mengembalikan kehidupan pada aturan Islam dalam bingkai Khilafah merupakan keharusan, agar syariat Islam dapat diterapkan secara kaffah. Wallahu a’lam bishshawab.[PUT]


0 Komentar