Oleh Novita Larasati S.Pd. (Pendidik)
Kasus-kasus ini bukan hanya sekadar cerita kriminalitas remaja, tetapi merupakan alarm keras bahwa dunia pendidikan sedang berada dalam krisis mendalam. Di balik tindakan ekstrem tersebut, tersimpan luka psikologis dan tekanan sosial yang luar biasa berat. Ketika seorang remaja tidak lagi menemukan tempat aman di lingkungan pendidikan, maka bukan hal aneh jika pelampiasannya berbentuk aksi nekat dan membahayakan.
Bullying bukanlah fenomena baru. Namun, yang mengejutkan adalah bagaimana intensitas dan dampaknya semakin destruktif dari waktu ke waktu. Seringkali dimulai dari ejekan, candaan fisik, hingga pelecehan dan pengucilan sosial, bullying tumbuh subur di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat belajar dan pembinaan karakter. Sayangnya, sistem pendidikan saat ini justru gagal menjadi benteng bagi remaja dalam menghadapi tekanan sosial semacam itu.
Pengaruh media sosial turut memperparah keadaan. Dalam dunia digital yang serba cepat dan terbuka, perilaku merundung bahkan kerap dijadikan hiburan. Video-video pelecehan verbal hingga kekerasan fisik banyak tersebar, dan lebih menyedihkan lagi adalah mendapat respon berupa tawa, like, atau komentar candaan. Ini menunjukkan bukan hanya pelaku yang bermasalah, tetapi ada krisis adab secara kolektif di tengah masyarakat kita.
Remaja yang menjadi korban perundungan sering kali tidak memiliki saluran sehat untuk mengungkapkan luka batinnya. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadikan media sosial sebagai tempat curhat, tempat mencari dukungan, bahkan tempat meniru perilaku ekstrem yang dilakukan oleh korban bullying lain di berbagai belahan dunia. Di sinilah letak bahaya sosial media: bukan hanya sebagai panggung kekerasan, tapi juga sebagai referensi balas dendam yang dianggap sah oleh remaja yang kehilangan arah.
Kita tak bisa menutup mata bahwa akar dari semua ini bersumber pada gagalnya sistem pendidikan sekuler kapitalistik. Pendidikan hari ini lebih menekankan capaian akademik, target nilai, dan kompetisi material. Dimensi pembentukan karakter, penguatan adab, dan pembinaan spiritual nyaris tak mendapat ruang berarti. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam tekanan capaian tanpa pembinaan moral yang kuat. Ketika mereka gagal beradaptasi, maka ledakan emosional bisa muncul kapan saja dan dengan korban siapa saja.
Islam memandang pendidikan dengan cara yang sangat berbeda. Dalam Islam, tujuan utama pendidikan bukan sekadar mencetak generasi cerdas secara intelektual, tetapi membentuk kepribadian yang utuh, yakni kepribadian Islam. Proses pendidikan bukan hanya transfer ilmu, melainkan pembinaan pola pikir dan pola sikap berdasarkan akidah Islam. Nilai-nilai ruhiyah, akhlak, dan adab menjadi fondasi utama yang harus ditanamkan sejak dini.
Dalam sistem pendidikan Islam, adab bukanlah pelengkap, melainkan fondasi. Seorang anak tidak akan diajarkan berhitung atau membaca sebelum ia memahami bagaimana bersikap kepada orang tua, guru, dan sesama. Pendidikan bukan semata soal materi pelajaran, tapi proses pembentukan manusia seutuhnya yang sadar bahwa hidupnya terikat dengan hukum Allah.
Untuk itu, kurikulum pendidikan dalam Islam disusun berbasis akidah Islam. Bukan sekadar mencetak tenaga kerja siap pakai, tetapi generasi yang berpikir jernih, memiliki empati, dan tahu tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Dalam sistem ini, tidak akan ada ruang bagi perilaku saling merundung, karena setiap individu paham bahwa menyakiti sesama adalah bentuk kedzaliman yang dilarang.
Tak hanya sampai di sana, Islam menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, termasuk dalam urusan pendidikan. Negara berkewajiban menyediakan sistem pendidikan terbaik, dengan kurikulum islami, guru yang mendidik dengan hati, dan lingkungan yang sehat secara moral. Negara juga bertanggung jawab melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kezaliman sosial, termasuk bullying. Negara dalam sistem Islam tidak akan membiarkan generasi muda terpapar pengaruh rusak dari sosial media tanpa kontrol.
Sudah saatnya kita sadar bahwa solusi atas maraknya bullying dan dampaknya yang mematikan bukan sekadar dengan program anti-bullying di sekolah atau literasi digital. Selama sistem yang membentuk pola pikir remaja tetap sekuler dan berorientasi materi, selama adab tidak dijadikan dasar pendidikan, dan selama negara abai terhadap pembinaan generasi, maka krisis ini akan terus berulang.
Umat Islam harus bangkit menyadari bahwa hanya sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak generasi beradab, empatik, dan tahan uji. Maka tugas kita bersama adalah memperjuangkan tegaknya sistem ini agar masa depan generasi kita selamat, dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab.[AR]


0 Komentar