Subscribe Us

WAR WHV : CERMIN KEGAGALAN SISTEMIK MENJAMIN GENERASI


Oleh Shita Istiyanti
(Pemerhati Remaja)


Vivisualiterasi.com - Baru-baru ini anak muda Indonesia sedang berperang diodepan layar komputer. Bukan melawan musuh atau memainkan gim, melainkan berebut kesempatan hidup yang lebih layak di luar negeri lewat Working Holiday Visa (WHV) Australia. Fenomena ini bukan sekadar antusiasme sesaat. Ia adalah cermin buram dari kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan di negeri sendiri, yang gagal memberi ruang bermartabat bagi generasi muda untuk tumbuh dan bekerja.

Dalam beberapa jam setelah pendaftaran dibuka, situs imigrasi Australia dilaporkan diserbu lebih dari 1,4 juta kali hingga crash dan membuat ribuan peserta frustrasi (disway.id, 10/10/2025). Semua itu demi kuota hanya 5.500 orang untuk program WHV Subclass 462. Di media sosial, beredar cerita anak muda yang rela antre di warnet sejak subuh, bahkan ada yang terbang ke Papua demi mencari jaringan internet tercepat agar tak kalah “klik” dalam perang digital memperebutkan visa tersebut.

Ironis, di tengah gegap gempita narasi “Indonesia Emas 2045”, justru para penerus bangsanya kini berlomba meninggalkan tanah air, bukan karena ingin jalan-jalan, tapi karena mereka tak melihat masa depan yang pasti di sini.

Generasi Z: Korban Janji Ekonomi yang Tak Terealisasi

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka Indonesia memang turun menjadi sekitar 4,8% pada 2025, tapi di balik angka itu terselip kenyataan getir: 70% pengangguran adalah anak muda usia Gen Z (goodstats.id, 25/7/2025). Lebih dari 16% dari mereka tidak bekerja dan tidak menempuh pendidikan atau pelatihan apapun. (detik.com, 21/5/2025)

Mereka bukan tidak mau bekerja, tapi yang tersedia di dalam negeri sering kali tak layak disebut“pekerjaan”. Upah di bawah standar, kontrak tidak tetap, jam kerja berlebihan, dan nihil perlindungan sosial. Di sisi lain, biaya hidup terus melonjak tanpa diimbangi kenaikan pendapatan. Maka, ketika ada peluang bekerja di Australia dengan upah minimum AUD 24,95 per jam (pvtistes.net, 1/7/2025), wajar jika ribuan anak muda langsung berebut. Fenomena “war WHV” pada akhirnya bukan sekadar perebutan visa, melainkan pelarian dari sistem yang membuat mereka tidak berdaya.

Kegagalan yang Bersifat Sistemik

Pemerintah kerap menyalahkan mental“ingin instan” generasi muda. Padahal persoalannya jauh lebih dalam, sistemik dan struktural.

Pertama, pendidikan dan dunia kerja tak pernah benar-benar terhubung. Kurikulum pendidikan tinggi masih berkutat pada teori, sementara industri modern menuntut keterampilan teknis dan adaptif.

Kedua, lapangan kerja formal stagnan, sementara sektor informal membengkak. Banyak perusahaan mengandalkan sistem kontrak jangka pendek dan pekerja lepas demi efisiensi biaya. Negara menutup mata terhadap praktik eksploitasi ini.

Ketiga, pembangunan ekonomi masih Jawa-sentris. Wilayah timur Indonesia tertinggal jauh dalam hal industri, infrastruktur, dan akses pelatihan kerja.

Keempat, regulasi ketenagakerjaan lebih berpihak pada investor daripada pekerja. Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang digadang-gadang membuka lapangan kerja justru memberi celah lebih besar bagi praktik kerja murah dan kontrak fleksibel. (jakartaglobe.id, 20/3/2025)

Masalahnya bukan pada generasi yang malas, tapi pada negara yang gagal menata sistem ekonomi berdasarkan keadilan sejati.

Menata Ulang Arah dengan Sistem Islam

Islam memandang pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan, melainkan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Karena itu, negara dalam sistem Islam memiliki kewajiban langsung menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk lapangan kerja yang layak.

Dalam sejarah pemerintahan Islam, pengangguran hampir tidak dikenal. Misalnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), kas baitul mal (perbendaharaan negara) sampai berlebih, dan para amil zakat kesulitan mencari penerima zakat karena semua orang sudah berkecukupan. Itu bukan karena keajaiban spiritual, tetapi karena kebijakan ekonomi Islam yang berkeadilan.

Beberapa prinsip kuncinya antara lain:

Pertama, negara wajib menjamin pekerjaan bagi setiap warga. Rasulullah saw bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, negara aktif menciptakan lapangan kerja melalui pengelolaan sumber daya alam, pertanian, industri, dan proyek publik, bukan menyerahkannya pada pasar bebas atau investor asing.

Kedua, kepemilikan umum dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Sumber daya strategis seperti tambang, hutan, energi, dan air tidak boleh dikuasai swasta atau asing.

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api. ”(HR. Ahmad)

Ini mencegah ketimpangan ekonomi yang ekstrem dan memastikan hasil kekayaan negara kembali kepada rakyat bukan hanya ke segelintir elit.

Ketiga, sistem pendidikan Islam mencetak manusia produktif dan beriman. Kurikulum dirancang untuk membentuk akhlak, keterampilan, dan kesadaran tanggung jawab sosial bukan sekadar kompetisi mencari nilai dan ijazah.

Keempat, distribusi kekayaan yang adil. Pajak tidak dijadikan sumber utama APBN, karena negara memperoleh pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam, zakat, fa'i, kharaj, dan lainnya. Dengan itu, pemerintah bisa menyediakan layanan publik dan jaminan sosial tanpa membebani rakyat.

Ketika Negara Benar-Benar Mengurus Rakyat

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika Madinah dilanda kekeringan panjang, beliau tidak tinggal diam. Umar turun langsung ke lapangan, membuka lumbung negara, menyalurkan bahan pangan, dan mengatur distribusi pekerjaan agar masyarakat tetap produktif.

Demikian pula di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau memerintahkan agar petani diberi lahan yang tidak ditanami, agar setiap orang memiliki kesempatan bekerja dan mandiri. Tidak ada “war visa”, tidak ada generasi muda yang ingin pergi, karena mereka merasa dihargai dan dilindungi oleh negaranya sendiri.

Saatnya Negara Belajar dari Generasi yang Pergi

Fenomena “war WHV” seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah bahwa generasi muda bukan kabur karena ingin foya-foya, tapi karena negeri ini tak memberi ruang hidup yang layak.

Sudah saatnya kita berhenti menambal sistem ekonomi kapitalistik yang rusak dari akar. Dibutuhkan transformasi paradigma, bukan sekadar program pelatihan kerja atau bantuan digital. Islam telah menawarkan sistem yang pernah terbukti bukan utopia, tapi realitas sejarah selama berabad-abad.

Generasi muda tak butuh imbauan “cintai negeri sendiri” bila negeri ini tak mencintai mereka kembali. Yang mereka butuhkan adalah sistem yang adil, pemimpin yang amanah, dan negara yang menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan modal.

Mereka bukan generasi yang manja. Mereka hanya lelah menunggu negara yang terlalu lama menepati janjinya. Dan sudah waktunya kita berhenti menunggu lalu menata ulang sistemnya, dengan Islam sebagai fondasinya. Wallahua'lam bishawab.[AR]


Posting Komentar

0 Komentar