Subscribe Us

KRISIS PERTAMBANGAN INDONESIA: KAPITALISME PENYEBAB, ISLAM SOLUSI



Oleh Rusnawati 
(Kontribitor Vivisualiterasi)


Vivisualiterasi.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pada 18 September 2025 menghentikan sementara Izin Usaha Pertambangan (IUP) 190 perusahaan yang tersebar di 20 provinsi. Keputusan ini diambil setelah evaluasi terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran administratif dan lingkungan. Dari jumlah tersebut, 66 persen berada di lima provinsi utama: Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah untuk batubara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah untuk nikel, serta Bangka Belitung untuk timah. Sektor batubara mendominasi dengan 90 perusahaan yang terkena sanksi. Alasan penghentian sementara ini adalah terkait pelanggaran Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) serta kewajiban reklamasi yang tidak dipenuhi. 


Namun, di balik keputusan yang terkesan tegas ini, muncul berbagai kejanggalan yang mengundang tanda tanya. Jefri, Ketua Persatuan Pemerhati Daerah Konawe Utara (P3D Konut), menemukan fakta mencengangkan. Beberapa IUP yang dihentikan ternyata adalah perusahaan yang sudah lama tidak beroperasi atau non-aktif. Contohnya PT Cipta Jaya Selaras Mining, PT Rizki Biokas Pratama, dan PT Putra Kendari Sejahtera yang belum pernah beroperasi sama sekali. Sebaliknya, IUP yang masih aktif beroperasi dan diduga kuat melanggar aturan reklamasi di blok-blok krusial seperti Mandiodo, Langgikima, Morombo, dan Wiwirano justru lolos dari sanksi. Lebih lanjut, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Jaya Darmawan, mengungkapkan bahwa dari 190 perusahaan yang terkena sanksi, puluhan IUP nikel kemungkinan merupakan pemasok kunci bagi Proyek Strategis Nasional hilirisasi.

Sebanyak 28 IUP nikel memiliki total luas konsesi lebih dari 70.500 hektar. Pelanggaran RKAB yang meluas telah menciptakan kelebihan pasokan bijih nikel ilegal, yang mendorong anjloknya harga nikel global dari US$18.000 per ton di awal 2024 menjadi sekitar US$15.000 per ton saat ini (mongabay.co.id, 02/10/2025). 

Ketidakkonsistenan sebagai Produk Sistem Kapitalisme

Kejanggalan dalam penghentian IUP ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang integritas dan tujuan sejati dari kebijakan pemerintah. Ketika perusahaan yang sudah tidak aktif justru menjadi sasaran sanksi, sementara perusahaan aktif yang nyata-nyata melanggar aturan dibiarkan beroperasi, maka ada yang tidak beres dalam mekanisme pengawasan dan penegakan hukum. 

Lemahnya pengawasan bukan terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang menempatkan orientasi profit di atas segalanya. Jumlah pengawas yang tidak sebanding dengan jumlah tambang di Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara, menunjukkan bahwa negara sengaja membiarkan "ruang gelap" bagi korporasi untuk beroperasi tanpa kontrol ketat. Ketidakpatuhan perusahaan pertambangan terhadap regulasi sejatinya jamak terjadi, namun pemerintah acapkali tidak pernah merespons atau mengawasi secara serius karena kepentingan ekonomi politik yang terikat dengan para pengusaha tambang.

Dalam sistem kapitalisme, negara terjebak dalam dilema struktural: di satu sisi harus tampak melindungi kepentingan rakyat dan lingkungan, di sisi lain harus menjaga iklim investasi yang menguntungkan korporasi. Hasilnya adalah kebijakan yang setengah hati, inkonsisten, dan penuh dengan celah bagi permainan kepentingan. Penghentian 190 IUP yang ternyata banyak menyasar perusahaan non-aktif adalah bukti bahwa pemerintah lebih memilih mengambil tindakan simbolik ketimbang menegakkan hukum secara substansial terhadap pelaku perusak lingkungan yang sesungguhnya.

Motif terselubung yang diduga kuat sebagai konsolidasi lahan oleh konglomerat adalah wujud dari mekanisme akumulasi kapital melalui "perampokan legal." Sistem perizinan dalam kapitalisme memang dirancang untuk memfasilitasi privatisasi sumber daya alam. Ketika izin dicabut, yang terjadi bukanlah pengembalian lahan kepada rakyat atau negara untuk kepentingan umum, melainkan redistribusi konsesi kepada korporasi yang lebih kuat secara politik dan finansial. Ini adalah lingkaran setan kapitalisme: sumber daya alam berpindah dari satu tangan oligarki ke tangan oligarki lainnya, sementara rakyat tetap menjadi korban.

Dampak dari ekstraksi berlebihan tidak hanya merugikan harga komoditas di pasar global, tetapi juga menimbulkan penderitaan bagi masyarakat lokal. Krisis air akibat pencemaran, gangguan kesehatan, konflik sosial dan agraria menjadi harga yang harus dibayar oleh rakyat kecil atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Ini adalah eksternalitas negatif yang dalam logika kapitalisme dianggap "biaya sosial yang wajar" demi pertumbuhan ekonomi. Rakyat menanggung kerugian, sementara keuntungan mengalir ke kantong segelintir pemilik modal.

Benang merah dari semua anomali ini adalah satu: sistem kapitalisme yang diadopsi Indonesia telah menciptakan negara yang kehilangan kedaulatannya atas sumber daya alam. Ketidakkonsistenan kebijakan bukanlah kesalahan teknis, melainkan hasil dari tarik-menarik kepentingan ekonomi politik dalam sistem yang mengutamakan akumulasi kapital. Lemahnya pengawasan bukanlah kelalaian, melainkan desain sistem yang membiarkan korporasi mengeksploitasi sumber daya dengan gangguan minimal. Motif terselubung bukanlah konspirasi tersembunyi, melainkan cara kerja normal kapitalisme dalam mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi di tangan oligarki. Selama sistem kapitalisme masih menjadi basis pengelolaan ekonomi, pola yang sama akan terus berulang dengan wajah-wajah yang berbeda.

Islam Memutus Lingkaran Setan Kapitalisme dalam Pertambangan

Dalam perspektif Islam, permasalahan pertambangan yang terjadi di Indonesia merupakan manifestasi dari kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam. Islam memandang bahwa sumber daya alam seperti tambang, hutan, dan laut adalah kepemilikan umum (milkiyyah 'ammah) yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk dieksploitasi oleh segelintir korporasi atau konglomerat.

Rasulullah SAW bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya yang bersifat hajatul ammah (kebutuhan umum) tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu. Para ulama memperluas cakupan hadis ini mencakup barang tambang, minyak, gas, dan sumber daya alam strategis lainnya.

Dalam Islam, fungsi negara (Khilafah) sangat jelas dan tegas: ri'ayatu syu'unil ummah (mengurus urusan rakyat) berdasarkan syariat Islam. Tidak ada dikotomi antara kepentingan rakyat dan kebijakan ekonomi karena keduanya bersumber dari prinsip yang sama. Negara dalam Islam tidak memerlukan investasi swasta atau asing untuk mengelola sumber daya strategis karena negara sendiri yang berkewajiban mengelolanya. Baitul Mal (kas negara) akan diperkuat dari hasil pengelolaan langsung sumber daya alam ini, bukan dari pajak yang memberatkan rakyat atau utang yang menjerat generasi mendatang. Dengan demikian, tidak ada lagi tarik-menarik kepentingan yang menghasilkan kebijakan inkonsisten. Negara bebas dari tekanan oligarki karena tidak bergantung pada mereka secara finansial maupun politik.

Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan" (QS. An-Nisa: 5). Ayat ini menegaskan bahwa harta yang menjadi pokok kehidupan umat tidak boleh diserahkan kepada pihak yang tidak amanah atau tidak kompeten mengelolanya untuk kepentingan umum. 

Islam memiliki mekanisme pengawasan berlapis yang ketat. Islam menekankan bahwa tidak ada celah bagi korporasi swasta untuk mengeksploitasi sumber daya strategis karena sejak awal konsep privatisasi sumber daya umum sudah diharamkan. Dalam konteks pengelolaan oleh negara, Islam menetapkan sistem pengawasan yang komprehensif. Pertama, pengawasan struktural melalui hierarki administratif yang jelas dari Khalifah, Mu'awin (asisten khalifah), Wali (gubernur), hingga 'Amil (pegawai lapangan). Setiap level memiliki kewajiban mengawasi level di bawahnya. Kedua, pengawasan masyarakat (hisbah) yang diberdayakan untuk melaporkan penyimpangan. Ketiga, lembaga Mahkamah Mazhalim yang independen untuk mengadili pejabat negara tanpa pandang bulu.

Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya" (HR. Bukhari-Muslim). Prinsip pertanggungjawaban ini bukan sekadar retorika, melainkan dioperasionalisasikan melalui sistem hukum yang tegas. Pejabat yang terbukti korup atau lalai dalam menjaga amanah akan dipecat, dijatuhi sanksi, dan diharuskan mengembalikan harta yang diambil secara tidak sah.

Lebih penting lagi, sistem Islam membangun pertanggungjawaban yang tidak hanya bersifat administratif dan hukum, tetapi juga akidah dan akhlak. Pejabat dalam negara Islam bukan sekadar teknokrat yang mengejar target, melainkan hamba Allah yang menyadari akan ada pertanggungjawaban di akhirat. Kesadaran akan muraqabatullah (pengawasan Allah) ini menjadi benteng internal yang mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sesuatu yang tidak akan pernah ditemukan dalam sistem sekuler kapitalisme.
Islam juga menutup rapat pintu-pintu akumulasi kekayaan yang menghasilkan kesenjangan dan penindasan. Pertama, dengan melarang privatisasi kepemilikan umum, Islam memastikan tidak ada individu atau kelompok yang bisa menguasai sumber daya strategis. Kedua, sistem distribusi kekayaan dalam Islam dirancang untuk mencegah terkonsentrasinya harta di tangan segelintir orang. Allah SWT berfirman, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. Al-Hasyr: 7).

Ketiga, Islam mengharamkan berbagai mekanisme kapitalis yang memfasilitasi akumulasi seperti riba, monopoli, penimbunan (ihtikar), dan spekulasi. Keempat, sistem perpajakan Islam tidak membebani rakyat dengan pajak yang mengalir ke kantong oligarki melalui proyek-proyek koruptif, melainkan kharaj (pajak tanah) dan jizyah yang diambil dari non-Muslim dalam negara Islam, sementara hasil pengelolaan kepemilikan umum menjadi sumber utama pendapatan negara.

Dengan sistem ini, tidak ada lagi fenomena "lahan berpindah dari oligarki satu ke oligarki lain" karena lahan tambang memang tidak pernah menjadi milik oligarki. Hasil tambang digunakan untuk membiayai fasilitas umum seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, infrastruktur, dan jaminan kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Reklamasi dan pelestarian lingkungan dalam Islam bukan sekadar kewajiban administratif yang bisa "dibeli" dengan jaminan uang, tetapi merupakan tanggung jawab syar'i negara dalam menjaga amanah untuk generasi mendatang. Rasulullah SAW bersabda, "Dunia itu hijau dan indah, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian khalifah (pengelola) di dalamnya, maka Dia melihat bagaimana kalian beramal" (HR. Muslim). Prinsip khalifah fil ardh (pengelola di bumi) mewajibkan manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai bentuk ibadah dan pertanggungjawaban kepada Allah.

Penutup

Penghentian 190 IUP tambang bermasalah oleh pemerintah, alih-alih menjadi solusi, justru memunculkan lebih banyak pertanyaan dan kecurigaan. Kejanggalan dalam pemilihan target sanksi, lemahnya pengawasan, dan dugaan motif konsolidasi lahan oleh konglomerat menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi sistemik.
Dalam perspektif Islam, akar masalahnya terletak pada sistem kapitalisme yang membolehkan privatisasi sumber daya alam untuk kepentingan segelintir elite. Solusi sejati hanya bisa tercapai dengan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada negara dalam kerangka sistem Islam yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, bukan profit korporasi. Wallahu a'lam.[Irw]

Posting Komentar

0 Komentar