Subscribe Us

MENJADIKAN SANTRI SEBAGAI AGEN PERUBAHAN HAKIKI


Oleh Hanum Hanindita, S.Si
(Penulis Artikel Islami)


Vivisualiterasi.com - Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyeru seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional sebagai “anak tangga pertama” menuju kembalinya The Golden Age of Islamic Civilization (Zaman Keemasan Peradaban Islam). Menag menegaskan bahwa lingkungan pesantren harus menjadi inisiator kebangkitan kembali peradaban emas tersebut.

Menag pun menjelaskan bahwa zaman keemasan peradaban Islam, seperti yang pernah terjadi di Baghdad pada masa kepemimpinan Harun Al-Rasyid, dapat tercapai karena adanya integrasi ilmu. Ulama pada masa itu tidak hanya mahir dalam kitab kuning (ilmu agama), tetapi juga menguasai kitab putih (ilmu umum). (kemenag.go.id, 02-10-2025)

Terbeloknya arah perjuangan santri

Sekilas, penetapan tema besar Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” terdengar indah dan memberi harapan cerah. Namun, dalam kehidupan sekularisme liberal seperti saat ini, arah penetapan tema tersebut perlu dicermati dengan kacamata syariat.

Fakta menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pesantren menjadi primadona proyek moderasi beragama. Proyek ini gencar disosialisasikan di berbagai instansi, lembaga pendidikan, bahkan hingga tingkat RT/RW dan keluarga sebagai unit masyarakat terkecil di negeri ini. Artinya, dunia pesantren kini telah masuk dalam pusaran kapitalisme global sekuler melalui proyek moderasi beragama.

Bahkan, komponen dalam pesantren sendiri—mulai dari santri, kiai, hingga nyai pesantren—kini diincar dan diarahkan untuk menjadi corong moderasi beragama. Mereka dirancang untuk memasarkan ide-ide Islam moderat yang pada hakikatnya merupakan sekularisasi agama dalam wajah baru.

Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM), Syukron Jamal, yang menyebut bahwa santri merupakan garda terdepan dalam mengampanyekan Islam moderat di Indonesia. (antaranews.com, 20-02-2022)

Pada Hari Santri 2021 lalu, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 tentang Pendanaan Pesantren. Perpres ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Jika diteliti lebih jauh, sesungguhnya undang-undang tersebut menebarkan aroma sekuler yang cukup kuat. Dalam Pasal 33, 38, dan 40 secara tegas disebutkan bahwa pondok pesantren didorong untuk mengusung Islam moderat.

Dari sini dapat dilihat adanya upaya yang tersistem untuk menguatkan sekularisme di dunia pesantren. Caranya adalah dengan menggeser posisi strategis pesantren sebagai pusat pencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam, serta memecah fokus santri dengan memosisikannya sebatas duta budaya dan penggerak kemandirian ekonomi—arah yang jelas berlawanan dengan peran strategis santri sebagai calon warosatul anbiya’ (pewaris para nabi).

Dengan dirancangnya pesantren sesuai proyek sekuler, arah perjuangan santri pun dibelokkan menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekularisme, serta diarahkan menjadi duta Islam moderat (wasathiyah) yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam pendidikan pesantren versi sekuler, pesantren diarahkan agar hanya fokus mempelajari ilmu alat, namun dilepaskan dari pembahasan sistem ekonomi Islam, sistem peradilan dan sanksi Islam, sistem pergaulan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pemerintahan Islam, bahkan terjadi pembelokan makna syar’i pada implementasi dakwah dan jihad.

Padahal, Islam adalah petunjuk dalam setiap aspek kehidupan. Aturannya lengkap dan sesuai dengan setiap masa serta wilayah. Segala problematika individu, masyarakat, bahkan negara dapat diselesaikan dengan aturan Islam.

Pembatasan kajian Islam hanya pada aspek akhlak dan spiritual merupakan bentuk pengerdilan terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya di pesantren dipelajari keilmuan agama dan juga dunia. Tidak boleh ada pemisahan atau sekularisasi antara keduanya. Semua keilmuan dunia harus berjalan searah dengan ajaran Islam.

Mengembalikan peran santri yang hakiki

Upaya membelokkan potensi santri harus diwaspadai. Ketidakterlibatan umat Islam secara umum dan santri secara khusus dalam opini publik serta kancah perpolitikan akan memberikan peluang besar bagi masuknya program-program politik yang bertentangan dengan Islam. Pada akhirnya, sistem kehidupan masyarakat akan dikuasai oleh proyek sekuler yang liberal.

Untuk menghentikan hal tersebut, kuncinya hanya satu, yakni mewujudkan kembali peradaban Islam. Ini merupakan kewajiban setiap mukmin, bukan sekadar narasi dan seruan semata. Islam membangun peradaban dengan berasas akidah. Dalam kehidupan sehari-hari, kekuatan akidah yang tertanam kuat akan membentuk generasi yang senantiasa berpegang pada aspek halal dan haram dalam beraktivitas. Standar kebahagiaan juga hanya ditentukan oleh rida Allah Swt.

Dalam dunia pendidikan, Islam memosisikan pesantren sebagai salah satu komponen penting dalam mewujudkan kembali peradaban Islam. Namun, hal itu tidak cukup hanya dengan pendidikan, melainkan juga harus disertai perjuangan dakwah politik Islam yang terarah pada tegaknya peradaban Islam yang hakiki.

Untuk mencapai tujuan tersebut, peran santri sebagai agen perubahan perlu dioptimalkan. Kita harus mencegah agar potensi mereka tidak dibajak oleh proyek sekuler liberal. Sejarah telah mencatat bahwa santri terbukti selalu berperan penting dalam perjuangan dan pergerakan umat. Pengaruhnya bahkan mampu membuat penjajah kewalahan.

Santri adalah orang-orang yang memahami Islam lebih mendalam daripada masyarakat umum, beribadah dengan sungguh-sungguh, serta memiliki keimanan dan ketaatan yang tinggi. Maka, santri merupakan harapan generasi dan peradaban. Mengembalikan potensi ini pada tempatnya berarti mengembalikan pula kemajuan bangsa dan umat.

Santri harus berani menunjukkan sikap terhadap setiap kerusakan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan. Santri juga diharapkan berperan dalam membina dan mengarahkan umat untuk membela Islam dari tuduhan-tuduhan yang menyesatkan. Santri harus menjadi motor penggerak dalam menangkis berbagai paham sesat yang membingungkan umat, seperti liberalisme, pluralisme, sekularisme, dan paham-paham batil lainnya. Gerakan islamofobia yang sangat membahayakan umat juga harus mampu diluruskan agar umat tidak kehilangan arah. Inilah tugas hakiki santri sebagai orang yang memahami Islam dengan baik.

Santri tidak boleh memisahkan diri dan menjauh dari urusan umat dan dunia. Mereka tidak boleh membatasi diri hanya pada aspek spiritual dan akhlak, tetapi harus menjadikan seluruh aspek kehidupan diatur dengan Islam.

Inilah pentingnya peran hakiki santri untuk selalu peka terhadap segala urusan dan problematika umat dengan pandangan serta solusi Islam. Santri harus mampu mencerdaskan umat agar Islam dipahami dengan benar dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Harapannya, santri dan seluruh elemen masyarakat dapat menghimpun kekuatan umat menjadi satu agar tegak hukum-hukum Islam sebagaimana diperintahkan oleh Sang Pencipta, Allah Swt.

Wallahu a’lam bish-shawab. (Dft)

Posting Komentar

0 Komentar