Oleh Novita Larasati, S.Pd.
(Kontributor Vivisualiterasi Media)
Vivisualiterasi.com - Pemerintah kembali menggulirkan stimulus ekonomi dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp30 triliun bagi 35 juta lebih Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tidak hanya itu, program magang nasional juga dibuka untuk 100 ribu fresh graduate di bulan Oktober dan November 2025. Dua program ini diklaim sebagai bagian dari kebijakan percepatan atau quick wins demi menjaga stabilitas sosial dan ekonomi rakyat. Namun, layakkah dua program ini disebut solusi untuk mengatasi masalah struktural yang terus menghantui Indonesia: kemiskinan dan pengangguran?
Jika kita lihat secara jujur, kebijakan ini hanyalah respons sementara terhadap gejolak sosial akibat tekanan ekonomi yang semakin berat. Harga kebutuhan pokok terus naik, lapangan pekerjaan semakin sempit, dan daya beli masyarakat makin melemah. Dalam situasi seperti ini, tentu saja bantuan tunai dan program magang terasa "membantu". Tapi yang menjadi pertanyaan adalah: apakah ini solusi atau sekadar penenang sesaat?
BLT dan Magang: Solusi Praktis Berwajah Pragmatis
Sejak awal, BLT adalah kebijakan reaktif. Tujuannya meredam keresahan rakyat akibat tekanan ekonomi. BLT memang memberikan sedikit ruang bernapas bagi rakyat miskin, namun sifatnya jangka pendek dan tidak menyentuh akar masalah. Bantuan ini habis dalam hitungan hari, tanpa memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi bagi penerimanya.
Program magang nasional juga tidak jauh berbeda. Meski memberikan pengalaman kerja bagi para lulusan baru, namun tidak otomatis menyelesaikan persoalan pengangguran. Sebab, setelah masa magang selesai, tidak ada jaminan akan terserap dalam dunia kerja. Bahkan, praktik magang seringkali dieksploitasi sebagai tenaga murah tanpa kejelasan status dan upah layak.
Kedua kebijakan ini mencerminkan paradigma ekonomi kapitalistik yang lebih fokus pada solusi tambal sulam dan jangka pendek. Program quick wins memang tampak "menggembirakan", tapi sesungguhnya tidak membangun ketahanan ekonomi rakyat. Pemerintah lebih memilih kebijakan praktis yang dapat diklaim sukses di atas kertas, dibanding membongkar akar persoalan yang lebih kompleks dan menuntut perubahan sistemik.
Masalah Utama: Kemiskinan dan Pengangguran Struktural
Dalam aspek ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan dengan adil melalui sistem kepemilikan yang khas: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Aset-aset milik umum seperti tambang, laut, hutan, air, dan energi tidak boleh dimiliki individu atau swasta. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Hasil pengelolaan kekayaan umum ini menjadi sumber pemasukan negara yang akan digunakan untuk membiayai pelayanan publik secara gratis. Dengan begitu, negara tidak bergantung pada pajak atau utang luar negeri. Sistem ini membuka lapangan kerja secara masif dan mandiri, tidak bergantung pada investor asing atau iklim usaha kapitalistik.
Negara Pelayan Rakyat, Bukan Penguasa Pasar
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menyediakan pekerjaan bagi laki-laki baligh sebagai bentuk kewajiban sosial. Negara tidak hanya mendorong rakyat untuk bekerja, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang sehat, adil, dan sesuai syariat. Tidak ada tempat bagi praktik eksploitasi seperti outsourcing, upah di bawah standar, atau kerja tanpa jaminan sosial.
Kita tidak bisa terus-menerus memaklumi kemiskinan dan pengangguran sebagai "dampak ekonomi global" semata. Sebab, jika ditelisik lebih dalam, persoalan ini bersumber dari kegagalan sistemik. Dalam sistem kapitalisme, kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengelolaan sumber daya alam, misalnya, banyak diserahkan kepada korporasi besar, baik asing maupun lokal. Akses rakyat terhadap sumber ekonomi dibatasi oleh regulasi pro-pasar yang lebih menguntungkan investor. Sementara sektor riil rakyat seperti pertanian, UMKM, dan industri rumah tangga dibiarkan berjalan tanpa perlindungan maksimal. Alhasil, ketimpangan semakin melebar, pengangguran semakin tinggi, dan angka kemiskinan stagnan atau bahkan meningkat.
Islam Tawarkan Solusi Hakiki
Berbeda dengan pendekatan kapitalistik yang pragmatis, Islam menawarkan paradigma politik dan ekonomi yang menyeluruh, berbasis pada syariat. Dalam sistem Islam, negara bukan sekadar regulator, melainkan pelayan masyarakat (raa'in) dan penjaga umat (junnah). Negara Islam memiliki kewajiban langsung dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Negara juga mendorong pertumbuhan sektor produktif berbasis rakyat seperti pertanian, peternakan, dan industri halal , yang mampu menyerap tenaga kerja luas. Bahkan, jika dibutuhkan modal untuk usaha produktif, negara dapat menerapkan kebijakan iqtha’ (redistribusi tanah) dan bantuan modal tanpa riba untuk mendorong kemandirian ekonomi rakyat.
Penutup
BLT dan program magang nasional memang memberi harapan jangka pendek, namun tidak boleh dijadikan solusi jangka panjang. Kemiskinan dan pengangguran tidak akan pernah tuntas jika kita terus terjebak dalam pola pikir pragmatis ala kapitalisme sekuler.
Sudah saatnya kita mengubah arah kebijakan dengan mendasarkan pada sistem Islam yang terbukti mampu menyejahterakan rakyat secara menyeluruh. Sistem ini bukan utopia, tetapi warisan Rasulullah saw dan para khalifah setelahnya yang membuktikan bahwa kesejahteraan bukan mimpi, melainkan konsekuensi dari penerapan sistem yang benar.
Kesejahteraan hakiki tidak dibangun dari bantuan sesaat, tetapi dari sistem yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat sebagaimana Islam telah mencontohkannya. Maka, mari berpikir lebih besar dan lebih mendalam, demi perubahan hakiki menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Wallahua'lam bishawab.[AR]


0 Komentar