Oleh Lina Aliyah
(Kontributor Vivisualiterasi)
Vivisualiterasi.com - “Guru digugu lan ditiru,” filosofi Jawa ini menggambarkan betapa pentingnya peran seorang guru. Guru memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter siswa. Ia senantiasa berupaya membentuk peserta didik menjadi generasi unggul. Guru juga berusaha maksimal mendidik murid dengan adab serta mentransfer ilmu dengan hati yang tulus.
Namun demikian, perjuangan guru dalam mendidik karakter muridnya kerap tidak disambut dengan penghargaan yang manusiawi. Jerih payah mereka sering kali tidak sebanding dengan gaji yang diterima. Perwakilan guru dari Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) menyuarakan keras nasib guru berstatus PPPK. Mereka meminta pemerintah agar lebih memperhatikan dan menyejahterakan guru. Salah satu perwakilan menyebutkan, PPPK tidak memiliki jenjang karier, padahal banyak di antaranya bergelar S2 atau S3. Mereka juga tidak mendapat uang pensiun, dan gajinya pun minim—berbeda jauh dengan PNS.
Profesi guru yang dikenal mulia, bahkan pernah dijuluki “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa,” sejatinya juga membutuhkan uang untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup. Terpenuhinya kebutuhan hidup merupakan hal yang mendesak. Tanpa itu, guru tidak akan mampu mengemban amanahnya dengan baik. Kebutuhan hidup hanya dapat terpenuhi apabila para guru memperoleh gaji yang layak.
Tak heran jika para guru honorer berbondong-bondong mengejar status sebagai guru PPPK dengan harapan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mereka berharap gaji yang diterima sepadan dengan jerih payahnya. Sayangnya, harapan itu bak “tong kosong berbunyi nyaring.” Gaji yang diharapkan lebih baik ternyata jauh dari cukup. Banyak guru masih terjerat utang bank atau pinjaman daring. Bahkan ada yang bergaji kurang dari satu juta rupiah per bulan. Tentu, jumlah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan, terlebih di tengah harga bahan pokok yang terus melambung tinggi.
Tampak jelas bahwa negara dalam sistem kapitalisme tidak memiliki anggaran yang memadai untuk menggaji guru secara layak. Alasan keterbatasan anggaran pendidikan semakin terasa dengan adanya program MBG. Berdasarkan data yang ditampilkan dalam konferensi pers Jumat, 15 Agustus 2025, sebanyak 44,2 persen dari total anggaran pendidikan dialokasikan untuk MBG, yakni sebesar Rp335 triliun (tempo.co.id, 17/08/2025).
Program perbaikan gizi bagi murid, yang dalam praktiknya banyak menemui masalah dan kejanggalan, justru merampas sebagian hak kesejahteraan para guru. Di sisi lain, kekayaan alam yang melimpah di negeri ini merupakan fakta yang tak terbantahkan. Sumber daya alam yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraan guru justru dikelola oleh pihak asing atas nama investasi. Pengelolaan ini dianggap sah dalam sistem kapitalisme karena berlandaskan prinsip kebebasan kepemilikan.
Sayangnya, pengelolaan tersebut menjadi salah urus karena berada dalam sistem yang rusak—yakni sistem kapitalisme—yang meniscayakan adanya kesenjangan sosial. Di satu sisi, pemasukan negara hanya bergantung pada pajak dan utang yang justru membebani rakyat. Guru PPPK pun sering kali didiskriminasi, dipandang sekadar faktor produksi, bukan sebagai pendidik mulia generasi bangsa.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam memandang profesi guru sebagai profesi mulia yang layak mendapat apresiasi atas jasanya. Sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab memberikan upah kepada guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulan. Jika dikonversi dengan harga emas saat ini, maka seorang guru akan menerima lebih dari Rp60 juta per bulan.
Dalam sistem keuangan Islam yang dikelola oleh Baitul Maal, guru akan mendapatkan gaji yang layak. Sumber keuangan Baitul Maal terdiri atas tiga pos besar, yaitu:
1. Pos fai dan kharaj, yang meliputi ganimah, kharaj tanah, jizyah, usyur, rikaz, dan pajak dari kalangan aghniya (orang kaya).
2. Pos kepemilikan umum, mencakup seluruh harta milik bersama seperti migas, listrik, tambang, laut, sungai, perairan, hutan, padang gembalaan, dan wilayah hima.
3. Pos sedekah atau zakat, yang dikelola untuk kepentingan sosial.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa pembiayaan pendidikan, khususnya gaji guru, diambil dari pos kepemilikan negara.
Islam menentukan gaji guru berdasarkan nilai jasa yang diberikan, bukan berdasarkan status ASN atau PPPK, karena semua guru tergolong pegawai negara. Begitu pula pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan negara secara gratis dengan kualitas terbaik. Kualitas terbaik ini akan tercapai apabila sistem Islam kaffah diterapkan secara menyeluruh. Dengan adanya sistem ekonomi Islam, Baitul Maal akan kuat dan selalu dalam kondisi surplus.
Oleh karena itu, jangan berharap sistem pendidikan di negeri ini menjadi baik apabila APBN masih defisit dan bergantung pada utang luar negeri. Sudah saatnya kaum Muslim mencari solusi hakiki atas berbagai persoalan hidup dengan kembali menerapkan sistem Islam kaffah dalam bingkai Khilafah.(Dft)
0 Komentar