Subscribe Us

FENOMENA FATHERLESS DALAM BINGKAI KEHIDUPAN KAPITALISME 


Oleh Ayu Ummu Umar
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)


Vivisualiterasi.com - Fatherless kini menjadi salah satu wacana yang kerap menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh dampak fatherless terhadap anak yang memengaruhi kondisi mental, sehingga banyak di antara anak-anak hari ini mengalami emosi yang cenderung fluktuatif. Melansir dari Tagar.co (8-10-2025), di Indonesia terdapat sekitar seperlima atau 20,1 persen (15,9 juta) anak yang mengalami fatherless. Mereka tumbuh tanpa peran dari sosok seorang ayah.

Adapun hasil survei terhadap 16 psikolog di Indonesia menunjukkan bahwa menurut sembilan di antaranya, anak yang mengalami fatherless cenderung memiliki kondisi emosi atau mental yang labil dan menarik diri dari lingkungan. Sementara itu, tujuh psikolog menyebutkan bahwa anak dengan fatherless kerap terjerat kenakalan remaja. Lima psikolog menyatakan anak sulit berinteraksi sosial, sedangkan empat lainnya mengatakan motivasi akademik anak rendah. Bahkan, menurut pernyataan Lindarda S. Panggalo, salah satu psikolog di Toraja, Sulawesi Selatan, anak yang tumbuh tanpa figur seorang ayah cenderung tidak percaya diri dan kerap menjadi sasaran tindakan kekerasan. (Kompas, 10-10-2025)

Meningkatnya kasus kenakalan remaja di Indonesia tak luput dari fenomena fatherless yang kian merebak. Anak yang kehilangan figur seorang ayah sangat rentan mengalami gangguan perkembangan mental. Sebab, peran ayah sangat penting dalam keluarga, selain sebagai pemimpin, pencari nafkah, pendidik, dan pelindung keluarga. Perannya yang tak kalah penting adalah menjadi sosok teladan atau role model bagi anak-anaknya. Maka tak heran jika banyak anak yang tumbuh tanpa figur ayah kehilangan jati diri, bersikap agresif, atau justru menarik diri dari lingkungan sosial. Lantas, apa yang menyebabkan fenomena fatherless kian marak?

Fenomena Fatherless

Fatherless merupakan kondisi di mana seorang anak tumbuh tanpa figur seorang ayah dalam kesehariannya. Padahal, peran ayah sangat penting dalam tumbuh kembang seorang anak. Ada beberapa faktor penyebab ketidakhadiran sosok ayah dalam membersamai tumbuh kembang anak, di antaranya karena kematian, perceraian, atau kehadiran ayah secara fisik namun tidak secara emosional. Misalnya, seorang ayah yang larut dalam kesibukan bekerja sehingga tidak mampu memaksimalkan perannya.

Sebelumnya, isu fatherless sempat menjadi trending topic di media sosial. Sebab, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia dengan tingkat fatherless tertinggi (VOI, 11-10-2025). Dampak fatherless terhadap anak tidak bisa disepelekan, sebab sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosionalnya. Banyak kita dapati anak-anak yang terlibat dalam aksi kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan berbagai kenakalan remaja lainnya. Ketika ditelusuri sumber penyebabnya, ternyata kebanyakan anak yang terlibat berasal dari keluarga broken home. Bahkan, anak yang tumbuh dalam pengasuhan keluarga tidak harmonis cenderung sulit fokus dan kehilangan minat belajar akibat perasaan tertekan, kurang motivasi, serta trauma emosional yang dialami.

Melansir dari Pusiknas.polri.go.id (21-2-2025), berdasarkan data dari aplikasi EMP Pusiknas Bareskrim Polri, sejak tanggal 1 Januari hingga 20 Februari 2025 terdapat 437 kasus pencurian yang dilakukan oleh anak-anak. Ironisnya, selain terlibat kasus pencurian, juga tercatat sekitar 460 anak terlibat kasus kekerasan (penganiayaan dan pengeroyokan) serta 349 anak terlibat kasus narkoba.

Ada dua penyebab utama kenakalan pada remaja, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang banyak terjadi adalah krisis identitas akibat tidak mendapatkan arahan yang tepat dari orang tua, sehingga anak mengalami kebingungan dan memiliki kontrol diri yang lemah. Ketidakmatangan emosional ini berpotensi menimbulkan perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja. Sedangkan faktor eksternal muncul karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, sehingga anak berusaha mencari perhatian dari lingkungan luar. Kondisi seperti ini membuat anak mudah terjerumus dalam pergaulan salah dan perbuatan buruk.

Imbas Kapitalisme

Merebaknya fenomena fatherless dalam kehidupan hari ini tak lepas dari penerapan sistem kapitalisme. Keberadaan sistem ini berimbas pada berbagai sektor seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga tatanan keluarga. Sistem kapitalisme telah memaksa manusia memaksimalkan diri dalam meningkatkan pendapatan di tengah gempuran perekonomian yang kian sulit. Seorang ayah yang notabene sebagai pencari nafkah harus kehilangan banyak waktu untuk membersamai anak akibat jam kerja yang panjang. Sehingga, ayah yang lelah bekerja seharian tidak mampu memaksimalkan perannya dalam mendidik anak-anaknya.

Selain itu, budaya patriarki dan stigma yang telah mengakar kuat di masyarakat terkait peran ayah sebagai pencari nafkah juga menjadi penyebab anak mengalami fatherless. Di mana beban pengasuhan anak sepenuhnya diserahkan kepada ibu, sementara ayah nyaris tidak berperan dalam proses pengasuhan.

Dalam naungan kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi, kondisi masyarakat kian memprihatinkan. Hanya para kapitalis dan kroninya yang menikmati keuntungan, sedangkan rakyat harus menelan pil pahit karena biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal. Belum lagi beban pajak yang terus meningkat. Ironis, masyarakat yang seharusnya disejahterakan justru diperas keringatnya demi memenuhi kantong pajak pemerintah kapitalis.

Dalam tatanan keluarga, sistem kapitalisme juga berpotensi merusak keharmonisan rumah tangga. Sebab, sistem ini kerap memicu konflik akibat kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, serta ketidakseimbangan sosial yang berujung pada kasus perselingkuhan hingga KDRT. Akibatnya, banyak rumah tangga berakhir dengan perceraian, dan anak-anak menjadi korban fatherless.

Mewujudkan Peran Penting Ayah melalui Sistem Islam

Pada dasarnya, seorang ayah memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam mendidik dan terlibat dalam pola asuh terhadap anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis dan memiliki keterikatan kuat dengan orang tua akan berkembang dengan baik. Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa peran utuh dari kedua orang tua sering kali terjebak dalam pergaulan salah.

Karena begitu pentingnya peran ayah sebagai pendidik yang setara dengan ibu sebagai madrasatul ula, Allah mengabadikan nasihat penting Luqman kepada anaknya dalam Al-Qur’an:
“(Luqman berkata), Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat makruf, dan cegahlah dari yang mungkar...” (QS. Luqman: 17)

Peran penting seorang ayah adalah menanamkan tauhid dan nilai-nilai Islam dalam keluarganya. Anak yang tumbuh dalam didikan berbasis Islam dengan fondasi akidah yang kokoh akan menjadi pribadi taat syariat. Namun, hal ini tentu harus didukung oleh sistem Islam yang memudahkan seorang ayah menjalankan perannya secara utuh.

Dalam Daulah Islam, negara menjamin kesejahteraan masyarakatnya dengan sistem ekonomi yang stabil, pendidikan yang layak, serta lapangan pekerjaan yang tersedia. Bahkan para ayah yang lemah dan memiliki keterbatasan pun dijamin oleh negara. Tidak ada penarikan pajak yang semena-mena yang memaksa ayah banting tulang demi memenuhi pajak negara. Harta yang dikelola di dalam Baitulmal dari tiga pos pemasukan, yakni kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan pos zakat — mampu memenuhi anggaran negara. Pajak (dharibah) hanya bersifat sementara, dipungut bila tidak ada lagi harta dalam Baitul Mal, dan hanya dari laki-laki Muslim yang kebutuhan primer dan sekundernya telah terpenuhi.

Potret kehidupan dalam daulah Islam sangat memudahkan seorang ayah memaksimalkan perannya sebagai pemimpin, pencari nafkah, pelindung, pendidik, sekaligus role model dalam keluarga. Sebab, pemerintahan Islam berjalan berdasarkan hukum syarak dan berfokus pada kemaslahatan umat. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan fenomena fatherless dan mewujudkan peran penting ayah dalam keluarga, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu A’lam bish-shawab.[PUT]

Posting Komentar

0 Komentar