Oleh Mila Ummu Muthiah
(Aktivis Muslimah)
Vivisualiterasi.com - Doha, ibu kota Qatar, diguncang ledakan pada Selasa (9/9/2025). Peristiwa itu menjadi sinyal meningkatnya agresi militer Israel. Untuk pertama kalinya, negara penjajah yang bersekutu erat dengan Amerika Serikat tersebut berani mengeksekusi operasi militer di jantung kawasan Teluk. Targetnya adalah para pemimpin Hamas, termasuk kepala negosiator Khalil Al Hayya, yang saat itu tengah melakukan pertemuan dengan pemerintah Qatar membahas gencatan senjata Gaza. (Kompas.com, 9-9-2025)
Qatar ternyata bukan satu-satunya target. Dalam kurun 72 jam, Israel melancarkan serangan militer ke enam negara Arab sekaligus. Di Gaza, serangan udara sejak Senin telah menewaskan sedikitnya 150 orang dan melukai ratusan lainnya. Di Lebanon, jet tempur Israel menghantam distrik Bekaa dan Hermel, menewaskan lima orang, serta melancarkan serangan drone di dekat Beirut.
Di Suriah, pangkalan udara Homs dan barak militer dekat Latakia jadi sasaran, sementara di Tunisia, armada kemanusiaan Global Sumud Flotilla diserang drone hingga menimbulkan kebakaran. Qatar sendiri diguncang ledakan di distrik West Bay Lagoon, tak jauh dari markas CENTCOM AS (pusat komando militer Washington untuk kawasan Timur Tengah). Sedangkan di Yaman, Israel mengebom Sanaa dan menargetkan posisi Houthi, termasuk bandara ibu kota. (Tribunews.com, 11-9-2025)
Artinya, dalam hitungan hari, Israel tidak hanya membantai Gaza, tapi juga melanggar kedaulatan enam negara Arab sekaligus. Fakta ini memperlihatkan betapa Zionis semakin percaya diri menjalankan proyek “The Greater Israel”, sementara dunia internasional, termasuk PBB, hanya bisa mengeluarkan kecaman kosong.
Sudut Pandang Geopolitik
Dari sisi geopolitik, serangan beruntun ini jelas mengirim pesan keras. Israel ingin menunjukkan bahwa mereka mampu menjangkau target di mana pun, bahkan di wilayah yang dilindungi sekutu Barat. Qatar, yang menjadi tuan rumah pangkalan militer AS terbesar di Teluk, Al-Udeid, dijadikan ajang demonstrasi kekuatan. Dengan menyerang Doha, Israel menguji batas kesabaran Amerika sekaligus mengingatkan negara-negara Teluk yang tengah dirayu normalisasi.
Dilema pun muncul di kubu Amerika. Bila AS diam, kredibilitasnya sebagai “penjaga stabilitas” di Timur Tengah runtuh, sebab tak mampu melindungi sekutunya sendiri. Namun bila menekan Israel terlalu keras, AS akan merusak hubungan istimewanya dengan Tel Aviv. Posisi ini jelas dimanfaatkan Israel, yakni menunjukkan bahwa mereka adalah aktor dominan, bahkan berani menyerang sekutu AS, demi melanjutkan proyek hegemoninya di kawasan. Lebih jauh, langkah ini juga menyasar negara-negara Arab Teluk yang sedang didekati lewat normalisasi. Pesannya jelas, siapa pun yang menjadi mediator atau mencoba memberi ruang bagi perlawanan Palestina, akan berhadapan langsung dengan kekuatan militer Israel.
Arab Tak Berdaya
Yang lebih memalukan, rezim Arab kembali hanya bisa diam. Qatar sebagai korban tidak mampu merespons tegas. Negara-negara lain sibuk dengan proyek modernisasi dan normalisasi, seakan buta terhadap penderitaan Palestina dan pelanggaran kedaulatan mereka sendiri. Ini menegaskan betapa dunia Islam dalam kondisi tercerai-berai dan tak memiliki pelindung sejati.
Sejarah mencatat, tanpa kepemimpinan Islam, negeri-negeri Muslim hanya jadi pion dalam catur politik global. Kini, bukan hanya Palestina yang berdarah, tetapi juga Lebanon, Suriah, Tunisia, Qatar, dan Yaman ikut diinjak-injak Zionis. Inilah wajah telanjang politik dunia Islam saat ini: terpecah, tergantung pada kekuatan asing, dan tidak memiliki otoritas tunggal yang bisa melindungi kehormatan umat. Situasi ini persis dengan kondisi yang digambarkan Rasulullah saw.: “Hampir saja bangsa-bangsa menyerbu kalian bagaikan orang-orang lapar yang menyerbu makanan di piring mereka.” (HR Abu Dawud).
Jalan Buntu Diplomasi
Fakta serangan ke enam negara Arab membuktikan bahwa jalur diplomasi sepenuhnya buntu. Israel sama sekali tidak menghormati gencatan senjata, perundingan, atau hukum internasional. Gencatan hanya dijadikan selubung untuk memperluas serangan. PBB pun terbukti tak mampu berbuat apa-apa selain mengeluarkan resolusi tak bergigi.
Serangan Israel di Doha juga menampar gagasan diplomasi yang selama ini diagung-agungkan. Qatar yang menjadi fasilitator gencatan senjata justru menjadi sasaran. Pesannya sederhana, Israel tidak pernah serius bicara damai. Mereka hanya memanfaatkan perundingan untuk membeli waktu, sementara di sisi lain terus melancarkan ekspansi militer.
Hamas pun paham hal ini. Meski tidak selalu mengaku bertanggung jawab atas setiap serangan, mereka secara terbuka memuji para pejuang Palestina yang melawan di Yerusalem. Sebab, bagi mereka, resistensi bersenjata adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti Zionis. Sayangnya, tanpa dukungan politik dan militer dari negeri-negeri muslim, perlawanan Hamas terus berada dalam posisi tertekan.
Umat Islam Butuh Khilafah
Dalam pandangan Islam, kejadian ini semakin menegaskan bahwa sistem politik internasional yang ada sekarang gagal melindungi umat. Negara-negara Muslim yang terjebak dalam kerangka Westphalia hanya sibuk menjaga kursi kekuasaan masing-masing, sementara umat di Palestina terus dizalimi. Padahal, Islam memerintahkan agar seluruh kaum Muslim ibarat satu tubuh; bila satu bagian terluka, seluruhnya ikut merasakan sakit.
Solusi fundamentalnya hanyalah tegaknya Khilafah Islamiyah, sebuah kepemimpinan tunggal yang menyatukan kekuatan politik, ekonomi, dan militer umat. Khilafah yang tegak akan menutup celah pengkhianatan rezim Arab, menggalang potensi militer dunia Islam, dan mengusir penjajah dari tanah para Nabi. Bukan lagi diplomasi kosong atau gencatan senjata yang rapuh, tetapi langkah nyata untuk membebaskan Palestina secara total.
Khatimah
Serangan Israel ke Qatar dan lima negara Arab lainnya adalah penghinaan terang-terangan bagi umat Islam. Zionis tidak hanya menumpahkan darah di Gaza, tapi juga berani melanggar kedaulatan negara-negara Muslim. Sementara itu, PBB lemah dan para penguasa Arab hanya berdiam diri.
Saatnya umat Islam sadar, jalan diplomasi telah buntu. Tak ada yang bisa menghentikan agresi Zionis kecuali kekuatan politik Islam yang independen dari Barat. Hanya Khilafah yang akan menyatukan umat, menggerakkan jihad secara terorganisir, dan menegakkan kembali izzah Islam di muka bumi. Selama itu belum terwujud, peristiwa seperti di Doha akan terus berulang: umat dipermalukan, darah ditumpahkan, dan kehormatan diinjak-injak. Wallahu a’lam bishawwab.[PUT]
0 Komentar