(Publisher Vivisualiterasi Media)
Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang menyiapkan generasi emas tahun 20245, PP TUNAS mencerminkan komitmen Indonesia melindungi anak secara daring, demi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda.
PP ini menambah daftar regulasi negeri ini yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan anak dan perempuan di ranah siber. Namun tepatkah langkah ini?
Belum Siap
Kemajuan industri teknologi dan komunikasi hadir kini tak bisa di pisahkan dalam kehidupan kelompok masyarakat modern, namun tak sejalan dengan kesiapan penerimaan hasil dan dampaknya oleh sebagian besar dari masyarakat pada umumnya. Sebagai kelompok rentan, anak dan perempuan kerap kali menjadi korban dari industri teknologi dan informasi.
Hasil penelitian Disrupting Harm yang dilakukan UNICEF pada 2022 menunjukkan 1—20% anak-anak yang menggunakan internet di enam negara ASEAN telah mengalami beberapa bentuk eksploitasi seksual online dan pelecehan seksual online selama periode 12 bulan penelitian. Belum lagi daftar kekerasan yang terdata dan terjadi sepanjang tahun ini, disebutkan ada 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 1 Januari hingga Juni 2025. Kemudian, dari awal Januari hingga 7 Juli 2025 totalnya sudah mencapai 13.000 kasus. Bukan angka yang sedikit dan juga menampakkan masalah serius imbas dari persoalan ini.
KPAI meyakini bahwa anak yang terpapar judi daring maupun sebagai korban konten pornografi adalah fenomena puncak gunung es, alias jumlah korban anak yang sebenarnya diduga jauh lebih banyak. Banyaknya angka perempuan dan anak yang mengalami jika di telaah, ini bukan soalan sederhana. Ini persoalan struktural dan masalah utamanya dari kebijakan pemerintah yang di sertai persiapan yang matang. Misalnya,Kemendikbudristek yang mendorong digitalisasi lebih luas, bahkan menteri pendidikan dalam agenda G20 menyatakan, digitalisasi di dunia pendidikan akan menjadi prioritas. Namun disayangkan ini tak sejalan dengan pemerintah menyiapkan regulasi untuk keamanan di ranah daring.
Dari itu saat anak-anak harus belajar daring dan mulai terbiasa dengan internet, lanjutnya, anak-anak menghadapi berbagai risiko yang disebut cyber-pandemic (perundungan, kekerasan, ancaman, interaksi yang tidak aman, gangguan gaming, dan gagguan media social). Ada banyak persoalan yang muncul akibat kemajuan dunia digital. Penggunaan gawai yang terlalu masif di usia dini dapat menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber. Apalagi ada banyak konten media sosial yang menjadi pemicu adanya kekerasan pada mereka.
Ini terjadi sebab lemahnya tingkat literasi digital yang diperparah buah hasil didikan sistem pendidikan sekuler yang tak berimplementasi untuk meningkatkan ketakwaan, maka menghasilkan iman yang lemah. Orang tua yang menyekolahkan anaknya pun berlepas tangan terhadap pendidikan anaknya, mereka cenderung hanya mencukupi setiap kebutuhannya seperti gawai, paket internet dll. Tanpa memperhatikan arus informasi yang anaknya dapat melalui daring. Dampaknya membuat anak rentan mendapati dirinya menjadi korban bahkan menjadi pelaku kejahatan siber.
Yang menjadi perhatian utama bagi penguasa hanyalah manfaat materi belaka dari arus digitalisasi ini. Keamanan dari anak dan perempuan ditempatkan pada nomor kesekian saja, banyak kasus terjadi jika viral ke media maka baru menjadi perhatian. Namun tak semua beruntung jika kasusnya viral,sisanya hanya menjadi korban tanpa di tindaklanjuti.
PP Tunas ini menjadi daftar panjang regulasi yang di sinyalir mampu menjadi solusi, padahal ini sama sekali menyentuh akar masalahnya. Penguasa hanya bertindak mengatasi ketika telah terjadi tanpa mencegah terjadinya masalah, mereka terus menyuarakan perhatian yang tak lain hanya lip service belaka.
Tidak dimungkiri bahwa pangkal dari semua ini adalah karena diterapkannya sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal dalam berbagai aspek kehidupan. Sistem yang mendewakan kebebasan dan menjadikan kebahagiaan berdasarkan capaian materi ini terbukti telah melahirkan individu-individu yang ketakwaannya lemah, masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan, asing dengan tradisi amar makruf nahi mungkar; serta negara yang abai terhadap tupoksinya sebagai pengurus dan penjaga umat, baik dalam urusan dunia, apalagi urusan akhirat rakyat.
Hal itu tersebab sekularisme yang melandasinya yang memang menolak kehadiran agama sebagai tuntunan kehidupan. Akibatnya, lahirlah berbagai aturan kehidupan yang serba rusak dan merusak. Alih-alih mampu menyolusi berbagai problem kehidupan manusia, aturan-aturan tersebut justru terus memproduksi masalah baru yang tidak pernah mampu diselesaikan. Penerapan sistem politik ekonomi kapitalisme, misalnya, telah melahirkan gap sosial yang sedemikian lebar. Si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Kekayaan hanya beredar pada sebagian kecil orang, sedangkan kemiskinan menimpa mayoritas rakyatnya dan membuat rapuh pertahanan keluarga-keluarga muslim.
Islam Menjamin Keamanan Digital
Keamanan adalah salah satu hak yang harus terwujud dan dimiliki oleh setiap warga negara, bukan hanya keamanan di dunia nyata namun juga di ruang digital. Tugas dari negara-lah yang mampu mengadakan terwujudnya keamanan ruang digital itu. Beberapa hal akan ditempuh negara untuk mengamankan ruang digital dengan ketentuan sebagai berikut.
Pertama, negara tidak asing dengan inovasi teknologi dari luar. Namun teknologi itu wajib diawasi negara agar tetap dapat melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan, dan negara.
Kedua, produksi dan pemanfaatan teknologi tinggi bukan hanya mengutamakan manfaat, tapi harus dipastikan membawa hasil positif, memberi maslahat bukan malah mengantarkan mudarat atau membahayakan keselamatan.
Ketiga, negara mandiri dan bertanggung jawab dalam keputusan mengambil atau menolak pengembangan teknologi dari luar. Jika ada teknologi yang bisa membawa mudharat kedalam negara semisal mempromosikan akidah, konten pornografi,dll. Maka negara menolak hal tersebut . Dan negara berorientasi pada maslahat publik, bukan mengedepankan keuntungan pihak tertentu, baik swasta atau asing.
Semua ini bisa terwujud jika negara telah menetapkan visi pembangunan teknologi tinggi tanpa meniadakan aturan Ilahi. Visi ini akan diaplikasikan melalui beberapa langkah.
Pertama, membangun sistem pendidikan yang visioner sejak dari level dasar bahkan dari pendidikan internal keluarga setiap individu,menengah, sampai pendidikan tinggi. Falsafah dan tradisi keilmuannya bersumber hanya dari akidah Islam sehingga akan lahir generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas mukmin dengan berbagai keahlian dan bidang kepakaran.
Kedua, membangun sistem penelitian dan pengembangan (litbang), yaitu kemampuan riset/penelitian yang terintegrasi, baik dari lembaga penelitian negara, departemen-departemen, dan dari perguruan tinggi. Semua dikendalikan, didorong, dan dibiayai penuh oleh negara.
Ketiga, membangun sistem industri strategis yang dimiliki dan dikelola mandiri oleh negara, serta berbasis pada kebutuhan militer mutakhir dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Kemandirian industri meliputi kemampuan untuk menguasai, mengendalikan, dan menjamin keamanan pasokan aspek-aspek penting industri, yaitu bahan baku, teknologi, tenaga ahli, rancang bangun, finansial, kemampuan untuk membentuk mata rantai industri yang lengkap, serta kebijakan.
Keempat, garis politik luar negeri Khilafah dan strategi diplomasinya akan proaktif melakukan kerja sama dengan negara-negara selain negara musuh. Bisa jadi tukar-menukar staf pengajar dan utusan-utusan antara dua negara dalam menyebarkan budaya dan bahasa di negara lain.
Hanya di bawah kepemimpinan dalam bentuk pemerintahan negara yakni Khilafah, anak-anak akan aman beraktivitas di ruang digital. Sebab negara akan mencurahkan setiap upaya dan menghidupkan peran utama negara sebagai junnah (pelindung). Rasulullah saw., “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka ia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya; dan jika ia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR Imam Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad). Wallahualam.
0 Komentar