Subscribe Us

MENSTABILKAN HARGA BERAS TANGGUNG JAWAB NEGARA

Oleh Nora Forina, S.Si., M.Ling
(Pemerhati Sosial Masyarakat)

Vivisualiterasi.com-Beras merupakan salah satu bahan makanan utama yang sangat krusial bagi masyarakat Indonesia, dan kestabilan harga beras berpengaruh besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. Fluktuasi dalam harga beras sangat berdampak pada kesejahteraan masyarakat.  Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah atau Beras sebagai upaya untuk mengendalikan harga beras di Indonesia. Pemerintah melalui Perum Bulog pun melakukan pencadangan beras. 

Pada Mei 2025, tercatat bahwa jumlah cadangan beras nasional mencapai 3,5 juta ton dan hingga pekan kedua Juni jumlah beras yang disimpan Perum Bulog mencapai 4,15 juta ton beras. Menteri Pertanian mengungkapkan bahwa hal ini merupakan capaian tertinggi Indonesia dalam Sejarah pertanian Indonesia, sehingga dibuatlah peta jalan Swasembada dengan capaian target di tahun 2007 dan akan memulai ekspor beras pada tahun 2028.

Akan tetapi, terjadi lonjakan harga beras ditengah melimpahnya jumlah stok beras nasional tersebut , bahkan telah melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Lonjakan harga ini terjadi di 133 kabupaten/kota di Indonesia. (ekonomi.bisnis.com, 16/06/2025)

Mengapa Ini Terjadi?

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyatakan bahwa kondisi ini terjadi karena sebagian besar gabah/beras menumpuk di gudang Bulog yang dikatakan sebagai cadangan beras stok terbesar sepanjang sejarah. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga naik. (Suara.com, 10/06/ 2025)

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Prof. Lilik, Guru Besar UGM. Menurut analisa beliau, anomali terjadi karena adanya ketidaknormalan dalam proses distribusi beras yang menyebabkan harga beras di pasaran naik. Kenaikan harga beras di saat kondisi cadangan melimpah akan berpotensi menyebabkan masalah besar. (Beritasatu.com, 19/06/2025)

Inilah ciri khas dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini, dimana pengeloaan pangan didasarkan pada mekanisme pasar dan kepentingan elite, sangat tidak pro-rakyat. Sistem Kapitalis memandang bahwa beras (pangan) merupakan komoditas jual beli sehingga bukanlah merupak hak dasar rakyat yang wajib di jamin oleh Negara. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggungjawab atau pengurus rakyat. Saat fluktuasi harga terjadi dan akhirnya rakyat miskin yang menjadi korban.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, kebutuhan pokok seperti beras merupakan salah satu tanggungjawab negara. Seorang khalifah (pemimpin) wajib memenuhi setiap kebutuhan pokok rakyatnya. Setiap transaksi ekonomi harus berada di bawah pengawasan negara agar sesuai dengan syariat, meskipun kebutuhan masyarakat meningkat.

Pengaturan Islam tegak berdasarkan dua pilar sistemnya, yaitu politik dan ekonomi. Negara bertanggung jawab penuh untuk melayani rakyat dalam pengaturan pangan dan stabilitas harga. Kemampuan negara dalam pengaturan pangan dan pengendalian harga ditentukan penguasaan negara terkait pasokan. Jadi, negara berperan mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi.

Pada aspek produksi, negara menjamin tersedianya pasokan produksi dan cadangan pangan negara. Proses penawaran dan permintaan akan bahan pangan juga dipastikan hanya dipengaruhi oleh faktor alami. Sehingga, seluruh faktor yang menyebabkan terjadinya penawaran dan permintaan yang tidak alami dihilangkan.
 
Dalam hal distribusi, negara akan mengawasi aktifitas penjual dan pembeli agar tercapai sistem distribusi yang adil dan penetapan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, praktik riba, praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Penimbunan bahan pangan dapat mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan disebabkan oleh kenaikan harga yang tidak wajar. Akibatnya, harga menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, penimbunan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat merupakan bentuk kezaliman yang dilarang dalam Islam. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw. yang menyatakan,

"Tidak ada yang menimbun, kecuali orang yang bersalah." (HR.Muslim)

Penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam pun dilakukan. Pengawasan ini betul-betul serius dilakukan sehingga negara akan mengangkat sejumlah Qadhi’hisbah untuk melaksanakannya. Qadhi' hisbah adalah hakim yang menangani hak publik. Qadhi’hisbah akan berkeliling pasar dan secara berkala mengecek gudang cadangan para pedagang yang didampingi para Syurtoh (polisi). Kepastian ketersediaan cadangan pangan harus selalu dikoordinasikan dengan ketersediaan anggaran di Baitul Mal (pengelola harta milik umat atau kas negara). Jika Baitul Mal ada anggaran, maka alokasi cadangan gudang negara bisa segera dipenuhi dari anggaran Baitul Mal. Harta Baitul Mal untuk mencukupi kebutuhan stok pangan bisa berasal dari harta kepemilikan umum (Al Milkiyatul Amanah), dan harta kepemilikan negara berupa Jizyah, Kharaj, Usyur, Fai, Ghanimah maupun Anfal. Adapun untuk mengatasi masalah cadangan pangan untuk penanggulangan kemiskinan merupakan masalah khusus yang diambil dari harta zakat karena fakir miskin merupakan salah satu penerima zakat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa di dalam sistem Islam, Negara bertanggungjawab penuh terhadap pemenuhan pangan sekaligus stabilitas harga pangan, termasuk beras melalui penerapan peraturan Islam. Wallahu a’lam bishawab.[AR]



Posting Komentar

0 Komentar