(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Namun demikian, di sekeliling kita kekerasan pada anak kerap kali terjadi. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Salah satu kisah tragis dialami seorang bayi perempuan berusia 2 tahun di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Bayi yang sedang lucu-lucunya ini tewas akibat kekerasan yang dilakukan suami istri yang mengasuhnya, yakni AYS (28) dan YP (24).(kompas.com/15/06/2025).
Kasus ini berawal dari ibu korban, IS (21), yang menitipkan anaknya kepada temannya YP. YP meminta kepada IS untuk mengasuh korban alasannya sebagai pancingan agar memiliki anak.
Selain itu, seorang anak berinisial M diduga disiksa orang tuanya di Surabaya dan ditemukan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia ditemukan Satpol PP Kebayoran Lama yang tengah melakukan patroli di kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu, (11/6/2025) pagi pukul 07.20 WIB.
M ditemukan seorang diri dalam keadaan di atas kardus dan sedang tertidur di lorong pasar. M pun sempat mengaku disiksa orang tuanya. Namun, M tidak bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait penyiksaan atau penganiayaan karena masih kesulitan berbicara.(tirto.id/12/06/2025).
Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak
Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak ini merupakan bukti bahwa anak belum mendapatkan jaminan keamanan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Ini merupakan fenomena yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang tampak di permukaan. Yang membuktikan lemahnya jaminan terhadap perlindungan anak di negeri ini, bahkan di tingkat keluarga.
Di tengah berita yang kian masif ini , sejatinya akar masalah seputar perlindungan dan jaminan keamanan anak sangatlah kompleks. Untuk itu, perlindungan anak membutuhkan peran berbagai pihak, yakni keluarga dalam hal ini orang tua, masyarakat serta negara.
Sayangnya, dalam sistem kehidupan yang kapitalistik hari ini, peran seluruh elemen tersebut tidak bisa berjalan ideal. Dalam carut marutnya tuntutan ekonomi dan paradigma materialistis , menggunakan jasa penitipan dan perawatan anak dianggap sesuatu yang logis.
Ditambah Kondisi negara yang berasaskan sistem kapitalisme menjadikan negara seolah tidak memiliki tanggung jawab penuh terhadap hajat hidup masyarakat. Masyarakat seolah harus bekerja rodi di negaranya sendiri memenuhi kebutuhan hidup, demi memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan yang semua serba mahal. Sehingga kehidupan dalam naungan kapitalisme sekulerisme juga membuat beban hidup makin berat, termasuk meningkatkan stress, sehingga mengakibatkan mudahnya melakukan kekerasan.
Islam adalah solusi
Kekerasan dalam Islam dengan tegas dan jelas adalah suatu hal yang dilarang kecuali dalam hal-hal yang besifat mendidik. Namun, pemberian hukuman dalam Islam tetaplah tidak diizinkan dengan jalan kekerasan. Kekerasan adalah jalan akhir yang ditempuh sesorang dalam mendidik.
Hal ini juga harus sesuai dengan ketentuan syari’at dan tidak melampaui batas yang dapat membuat trauma dan luka fisik pada anak. Sedangkan dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap anak, banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kekerasan pada anak diantaranya dengan memberikan perlindungan terhadap anak dan dengan pemahaman pendidikan Islam.
Materi pendidikan adalah salah satu solusi agar tidak terjadinya kekerasan yaitu orangtua mengajarkan anak menghormati, berbuat baik dan merealisasikan kasih sayangnya kepada sang anak, dengan begitu anak memberikan hak orangtua karena anak telah mendapatkan haknya yakni pendidikan dengan penuh kasih sayang, kelembutan, keikhlasan dan keridhaan dari orangtua.
Perlindungan Anak dalam Islam
Sebagai komparasi yang sistemis, Islam memiliki konsep sahih dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Allah Swt. telah mewajibkan para orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak. Konsekuensi dari tanggung jawab ini terkait erat dengan pahala dan dosa.
Allah berfirman dalam ayat:
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّذِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْا Ù„َا تَØ®ُÙˆْÙ†ُوا اللّٰÙ‡َ ÙˆَالرَّسُÙˆْÙ„َ ÙˆَتَØ®ُÙˆْÙ†ُÙˆْٓا اَÙ…ٰÙ†ٰتِÙƒُÙ…ْ ÙˆَاَÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ
, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 27).
Dalam Islam, mempekerjakan orang dengan tujuan memudahkan peran orang tua tentu dibolehkan. Oleh karena itu, ada akad yang terjadi antara pemberi layanan jasa dengan orang tua. Pada titik ini, hukum yang berlaku akan mengikat antara pemberi dan pengguna jasa.
Bagi pelaku penganiayaan, Islam memiliki sistem sanksi yang harus diberlakukan kepada pelakunya sesuai tingkat kriminalitas yang dilakukan. Ini akan kembali pada pendapat hakim sesuai standar hukum syariat yang berlaku.
Syekh Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nizam Al-Uqubat, menjelaskan bahwa batasan tindakan atau perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.
Sanksinya sesuai diat yang ditetapkan syariat. Bisa pula terkategori takzir jika pelaku melakukan kriminalitas yang terkategori melanggar hak seorang hamba. Bahkan, bisa terkategori kisas jika sampai menghilangkan nyawa.
Selanjutnya, negaralah yang berperan dalam pelaksanaan sanksi terhadap pelaku. Negara pula yang berperan dalam menciptakan iklim yang kondusif agar penganiayaan terhadap anak —baik dilakukan oleh orang tua sendiri, maupun dari lingkungan sosial— tidak terjadi.
Di dalamnya negara berperan menciptakan atmosfer kondusif bagi terwujudnya keamanan bagi anak, masyarakat bahu-membahu merealisasikan apa yang menjadi visi negara bagi setiap generasi, sedangkan para individu masyarakat menjalankan perannya masing-masing sesuai standar syariat. Kondisi ideal ini akan memastikan terwujudnya tatanan keluarga ideal sebagai institusi pencetak generasi masa depan yang cemerlang. Wallaahualam bissawab. [PUT]
0 Komentar