Subscribe Us

AGAMA DIPINGGIRKAN, AKANKAH TERWUJUDNYA KOTA LAYAK ANAK?

Oleh Ita Claudia, S. Pd
(Guru SD dan Pemerhati Generasi)

Vivisualiterasi.com- Pemerintah Kota Palu berhasil meraih penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Pratama pada 22 Juli 2023, sebuah prestasi yang diumumkan dalam peringatan Hari Anak Nasional di Semarang (posoline.com, 7/23). Atas pencapaian ini, Pemerintah Kota Palu kembali menyatakan kesiapannya untuk menghadapi proses verifikasi KLA pada tahun 2025 mendatang (kailipost.com, 6/25). Penghargaan ini menempatkan Palu sejajar dengan Kabupaten Poso dan Banggai Kepulauan yang juga menerima predikat serupa, menunjukkan adanya pengakuan formal atas upaya pemenuhan hak-hak anak di tingkat administratif.

Namun, kenyataannya kondisi perlindungan anak di Palu sangat memprihatinkan, ditandai dengan lonjakan drastis kasus kekerasan yang 71 kasus lebih banyak pada akhir 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (inipalu.com, 12/24). Situasi ini diperburuk oleh temuan 14 kasus kekerasan seksual oleh Balai Nipotowe hanya dalam lima bulan pertama tahun 2025 (sulteng.antaranews.com, 5/25), dan ironisnya, Palu justru tercatat sebagai kota dengan kasus kekerasan perempuan dan anak tertinggi di Sulawesi Tengah (rri.co.id, 7/24). Masalah ini juga meluas ke daerah tetangga seperti Kabupaten Sigi yang mencatat 63 kasus sepanjang 2024 (palu.tribunnews.com, 01/25), sementara di Palu sendiri eksploitasi pekerja anak masih marak terjadi (referensia.id, 8/23), sehingga menimbulkan pertanyaan krusial mengenai apakah predikat Kota Layak Anak (KLA) selaras dengan realitas di lapangan? 

Kebijakan Kota Layak Anak dan Realitasnya

Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), yang merupakan strategi pembangunan terpadu sejak 2006 (terinspirasi Child-Friendly Cities Initiative UNICEF, dengan Surakarta sebagai percontohan), bertujuan menjamin hak dan perlindungan anak sesuai Permen PPPA 2/2009 dan Inpres 1/2010 untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) pada 2030. KLA adalah perwujudan kebijakan global World Fit for Children dan selaras dengan Konvensi Hak Anak (KHA) PBB 1989, yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres 36/1990, menjamin hak anak di berbagai bidang; namun, predikat KLA yang diberikan kepada banyak daerah, termasuk Palu, seringkali hanya formalitas dan gagal menciptakan lingkungan aman bagi anak, terbukti dari peningkatan kasus kekerasan di daerah berpredikat KLA.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahkan mengakui bahwa banyak kota berstatus KLA masih diwarnai kasus bullying, pelecehan, dan kekerasan anak. Ini bukan hanya menandakan implementasi yang lemah, tetapi juga kegagalan pendekatan sistematis yang ada. Akar masalahnya seringkali adalah kebijakan perlindungan anak yang berlandaskan nilai-nilai liberal dan sekuler, yang tidak menyentuh inti permasalahan. Predikat KLA, yang seharusnya menciptakan lingkungan aman bagi anak, ternyata belum efektif dan seringkali hanya sebatas formalitas administratif.

Akar Masalah dan Kritik terhadap Pendekatan Sekuler-Liberal

Kegagalan kebijakan ini disebabkan karena solusi yang diterapkan, termasuk yang berbasis KHA, tidak menyentuh akar masalah. Konvensi Hak Anak (KHA) dan kebijakan sejenis berlandaskan nilai-nilai sekuler Barat yang bertentangan dengan ajaran agama. Liberalisme, yang mengutamakan pemenuhan hawa nafsu dan memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme), sebagai penyebab utama maraknya kekerasan. Tanpa pijakan spiritual yang kuat, kehidupan di dunia sekuler menjadi tak tentu arah. Ketika agama dijauhkan dari ranah publik dan moral hanya berlandaskan akal atau kesepakatan sosial, batasan benar dan salah menjadi kabur. Akses mudah ke pornografi, sikap permisif terhadap penyimpangan, dan pengabaian masyarakat terhadap syariat agama memicu maraknya kekerasan.

Ironisnya, sekularisme yang melandasi kebijakan modern justru berani mengabaikan peran Sang Pencipta. Sistem ini tidak menuntut ketakwaan, hanya mengandalkan pengawasan dan sanksi. Akibatnya fatal, ketika pengawasan longgar dan sanksi tidak menjangkau, kekerasan merajalela. Kekerasan seksual anak bukan lagi berita, eksploitasi demi uang jadi biasa, dan anak-anak terjebak dalam kekejaman dunia.

Kebijakan sekuler-liberal yang lahir dari paradigma kapitalisme, terus-menerus gagal karena kerusakan fundamentalnya terletak pada cara pandang terhadap hidup dan martabat manusia. Menambah aturan tidak akan membuahkan hasil jika akar masalahnya tidak tersentuh. Masalah anak tidak bisa dibereskan hanya dengan akal yang telah tercemar pandangan sekuler-liberal ini. Solusi komprehensif yang mempertimbangkan dimensi spiritual dan sosial mutlak dibutuhkan.

Perlindungan Anak dalam Perspektif Islam

Dalam pandangan Islam, anak adalah amanah yang harus dijaga dan merupakan aset berharga bangsa sebagai calon pemimpin masa depan. Oleh karena itu, optimalisasi tumbuh kembang anak sangat esensial untuk melahirkan generasi penerus yang mumpuni. Islam menyediakan serangkaian aturan dan sistem yang memadai untuk mengatasi persoalan anak dan menjamin rasa aman mereka.

Islam menetapkan kewajiban bagi keluarga untuk melindungi anaknya, bagi masyarakat untuk menyediakan lingkungan yang kondusif guna membentuk generasi yang beriman dan bertakwa, serta bagi negara untuk mengurus dan melindungi anak secara paripurna sesuai dengan ketentuan Allah. Regulasi terkait pengasuhan anak senantiasa berlandaskan akidah Islam dan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunah. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
Allah SWT juga memandatkan negara untuk melindungi keselamatan setiap individu rakyatnya, termasuk anak-anak. Tindakan kekerasan terhadap anak dikategorikan sebagai kejahatan. Untuk mencegah hal tersebut, Islam membina setiap individu rakyatnya dengan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT dan hari akhir, yang berfungsi sebagai benteng dari perbuatan maksiat dan kejahatan. Lebih lanjut, Islam mewajibkan negara untuk mengeliminasi berbagai faktor yang berpotensi mengancam keselamatan anak.

Secara komprehensif, Islam memiliki sistem untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Sistem ekonomi Islam berorientasi pada perwujudan kesejahteraan. Sistem informasi Islam berperan dalam mencegah penyebaran tayangan dan pemikiran yang merusak dan berpotensi memicu kejahatan terhadap anak. Selain itu, Islam juga dilengkapi dengan sistem sanksi yang bersifat menjerakan bagi pelaku dan preventif bagi masyarakat luas. Implementasi berbagai sistem kehidupan yang berbasiskan Islam ini akan mewujudkan perlindungan terhadap anak secara optimal, yang secara utuh hanya dapat terealisasi melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 48, yang artinya, “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” Ayat ini menegaskan pentingnya berpegang pada petunjuk Allah dalam menyelesaikan masalah, termasuk dalam perlindungan anak.Wallahu a'lam bishawab.


Posting Komentar

0 Komentar