Oleh Merlianty
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Vivisualiterasi.com - Aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kritik dari masyarakat sipil. Selain mencemari lingkungan, penambangan tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana, tak terkecuali tindak pidana korupsi.(metrotv.com.07/06/2025).
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengatakan, Kepulauan Raja Ampat masuk dalam kualifikasi pulau-pulau kecil yang dilindungi lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 35 huruf k mengamanatkan pelarangan penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang menimbulkankerusakan ekologis, mencemari lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar.
Kementerian Lingkungan Hidup menemukan banyaknya pelanggaran serius di Raja Ampat terkait aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Di wilayah yang terkenal akan keindahan pariwisatanya itu, terdapat empat perusahaan tambang nikel yang menjadi objek pengawasan KLH.(tirto.id.05/06/2025).
Tidak pelak, publik pun ramai menyerukan hashtag SaveRajaAmpat. Ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap keindahan dan keberagaman ekosistem laut Raja Ampat—yang dikenal sebagai salah satu pusat keragaman terumbu karang dunia. Sebagaimana diketahui, Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau dan merupakan rumah bagi 75% spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.
Kapitalisme Sistem Rusak dan Merusak.
Raja Ampat bukan kawasan biasa. Raja Ampat bahkan disebut sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Kawasan ini bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan. Jelas, kawasan ini jangan dirusak hanya demi mengejar hilirisasi nikel.
Jika ada yang harus disalahkan, jelas ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasinya. Sistem ini memicu lahirnya berbagai produk perundangan buatan manusia yang mengarah pada liberalisasi ekonomi. Salah satu wujudnya tampak pada kebebasan memiliki segala sesuatu bahkan jika hal tersebut merupakan kebutuhan vital yang harusnya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di sektor pertambangan misalnya, kebebasan tersebut diberikan bagi para investor. Tahun 1967, terbit UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur pemberian konsesi tambang, apa pun jenisnya, kepada pihak swasta. PT Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada 2020, UU Minerba direvisi untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa oligarki batu bara yang hampir habis masa konsesinya. Untuk nikel pun sama saja, seperti yang berlaku di Raja Ampat.
Sengkarut hukum yang terjadi menunjukkan betapa lemahnya kontrol negara terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh korporasi. Alih-alih menjaga kepentingan rakyat dan lingkungan, negara malah tampak berpihak pada kepentingan para pemilik modal. Tampak nyata bagaimana wajah kapitalisme sebagai sistem yang rakus dan serakah, serta merusak kelestarian lingkungan demi mendulang pundi-pundi rupiah.
Paradigma kapitalisme menempatkan keuntungan materi sebagai orientasi utama. Sehingga jangan heran jika regulasi yang semestinya lahir untuk menjaga alam justru malah dilanggar atas nama investasi. Sebab, para pemilik modal ini berpengaruh kuat dalam menentukan arah kebijakan, bahkan kerap mengalahkan suara rakyat dan hukum yang ada.
Penambangan nikel di Raja Ampat menambah daftar panjang derita rakyat. Inilah buah pahit hidup dalam naungan kapitalisme yang lahir dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Tata kelola sumber daya alam alih-alih mendatangkan keberkahan bagi rakyat, sebaliknya justru mendatangkan kerugian bahkan kesengsaraan.
Syariat Islam Selamatkan Negri
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang khas dalam mengelola sumber daya alamnya. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam seperti nikel adalah milik umum. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada individu atau korporasi, apalagi yang hanya mengutamakan keuntungan pribadi. Negara wajib mengelolanya secara langsung demi kemaslahatan rakyat.
Islam juga mewajibkan pemimpin menjaga amanah dalam mengelola sumber daya alamnya. Mereka wajib berperan sebagai pengurus urusan rakyat (raa’in) dan penjaga kepentingan rakyatnya (junnah). Oleh karena itu, tata kelola sumber daya alam dalam Islam bukan sekadar mencari keuntungan semata, melainkan erat kaitannya dengan tanggung jawab moral dan spiritual.
Dalam Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi bahwasanya,
“Sungguh Abyadh bin Hammal pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsesi atas tambang garam. Beliau lalu memberikannya kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberiannya dari Abyadh.” (Nizham Al Iqtishodiy, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani)
Hadis ini memang tentang tambang garam. Tetapi juga berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah ushul.
Pengelolaan SDA yang sejalan dengan syariat tidak akan membiarkan kerusakan terjadi. Sebab, kerusakan lingkungan akan berdampak langsung pada keberlangsungan hidup manusia. Islam memandang bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah karena Allah SWT menciptakan seluruh yang ada di bumi dan di langit sebagai amanah yang harus dijaga, bukan untuk dieksploitasi habis-habisan dan dirusak.
Maka Islam sebagai sistem hidup yang sempurna menawarkan solusi menyeluruh terhadap persoalan ini. Dengan aturan yang bersumber dari wahyu, pengelolaan sumber daya alam nisacaya akan dilakukan secara adil, berkelanjutan, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat serta kelestarian lingkungan. Kini, saatnya tata kelola tambang dan seluruh sumber daya alam lainnya dikembalikan sesuai syariat.Mahabenar Allah dengan firman-Nya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Wallahu’Alam bissawab.
0 Komentar