(Aktivis Muslimah)
Maraknya problem pendidikan di negara ini menjadi pencetus diluncurkannya Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yakni berupa revitalisasi 10,440 sekolah, digitalisasi pendidikan melalui smart board, bantuan kuliah untuk guru dan bantuan untuk guru honorer. (Metro TV, 2/5/2025).
Dikutip dari Tirto.id (2/5/2025), SDN 4 Padurenan menjadi salah satu penerima manfaat program revitalisasi sekolah serta digitalisasi pembelajaran pada perayaan Hardiknas 2025, akibat bangunan kelas yang rusak tidak tidak layak untuk digunakan dalam proses belajar mengajar.
Jika melihat realita pendidikan di negara ini memang terbilang sangat memprihatinkan dengan segala permasalahan kompleks yang mendera. Mulai dari banyaknya sarana prasarana yang tidak memadai serta tidak layak digunakan, hingga upah untuk tenaga pendidik terkategori rendah terlebih untuk guru honorer. Dengan adanya program terbaru yang diluncurkan khusus untuk bidang pendidikan, tentu membawa angin segar bagi masyarakat terkhusus bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Namun jika ditinjau dari aspek ekonomi, nampak jelas bahwa program-program tersebut tentu membutuhkan anggaran yang besar untuk merealisasikannya. Sedangkan diketahui anggaran negara hanya bergantung pada pajak, APBN, APBD, hingga utang negara. Lantas, apakah program yang ditawarkan efektif untuk diterapkan?
Realita Pendidikan Kapitalisme
Kualitas pendidikan yang rendah berasal dari kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana yang menjadi penyokong generasi berkualitas. Namun kegagalan tersebut mencerminkan betapa buruknya sistem pendidikan di negara ini. Terbukti dari penampakan prasarana sekolah yang banyak yang mengalami kerusakan dan tidak layak untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Selain kerusakan, banyak pula sekolah yang tidak memiliki sarana memadai seperti perpustakaan, laboratorium dan media pembelajaran lainnya yang sangat penting untuk meningkatkan literasi siswa. Oleh karena itu, kurangnya ketersediaan fasilitas berupa perpustakaan berdampak pada rendahnya kualitas siswa sebab minim literasi.
Adapun dalam ketersediaan anggaran yang siap digelontorkan untuk merevitalisasi bangunan sekolah adalah sebanyak 17 triliun. Namun faktanya anggaran tersebut tidak cukup meskipun terbilang banyak. Sebab, diperkirakan hanya mampu merenovasi sekitar 11 ribu sekolah dari sekolah yang tersedia di seluruh wilayah Indonesia yakni sekitar 300 ribu unit.
Selain itu, tren maraknya kasus korupsi kerapkali menghiasi wajah dunia pendidikan, dengan berbagai modus berupa penyalahgunaan anggaran, menggelapkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) hingga membuat laporan fiktif. Tentu dengan banyaknya dana yang dipangkas, berimbas pada buruknya pembangunan sekolah.
Bahkan, nasib memperihatinkan juga kerap menimpa guru yang selama ini dianggap hanya sebagai pekerja dengan upah tidak setara yakni dengan gaji dibawah UMR. Disejumlah wilayah Indonesia, Gaji Guru Honorer berada pada kisaran Rp. 300 ribu hingga 1 juta perbulan, jika pun ada tambahan sebesar Rp. 300 ribu atau Rp.100 ribu per bulan, tentu sangat jauh dari kesejahteraan. Sebab, belum bisa memenuhi kebutuhan di masa serba sulit seperti saat ini. Sehingga dengan upah minim tersebut, mereka rela mengambil kerja paruh waktu untuk memenuhi tuntutan hidup. Akibatnya, tidak mampu memaksimalkan diri dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik.
Inilah potret buram dunia pendidikan ala kapitalisme, yang telah meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyatnya. Sistem ekonomi kapitalisme yang menyulitkan negara dalam menyiapkan anggaran, kerapkali mengambil jalan pintas dengan berutang pada negara lain dengan jumlah fantastis untuk memenuhi banyaknya kebutuhan program yang telah dirancang namun berujung pada kegagalan akibat tingginya kasus korupsi yang menggerayangi dunia pendidikan. Ironisnya, sistem pendidikan kapitalis juga telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang layak diperjualbelikan seperti, makin mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT), peralatan sekolah dan lainnya, yang tidak bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat terlebih bagi golongan yang kurang mampu. Sehingga berimbas pada kesenjangan sosial, pendidikan yang tidak merata dan berkurangnya kualitas pendidikan yang menyebabkan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) hingga berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Negara tidak lagi menjalankan perannya sebagai pengurus rakyat, namun sebaliknya menjadi regulator untuk mempermulus pihak swasta dan pemilik kepentingan. Ketergantungan terhadap pajak dan utang untuk modal pembangunan juga mempertegas bahwa kebijakan terbaru yang ditawarkan pun tidak lebih hanya sebuah retorika belaka yang bermuara pada kebijakan populis. Sebab kemampuan pembangunan dengan dana yang terbatas hanya akan mengulang rekam jejak pemimpin sebelumnya, yang notabene hanya membebani dan merugikan masyarakat.
Islam Solusi Tuntas Problem Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar yang berhak diterima oleh setiap warga negara. Sebab, dengan ilmu, akan menambah pemahaman seseorang baik tentang kehidupan maupun tentang keyakinan atau agama. Dengan ilmu, maka seseorang dapat membedakan perkara halal dan haram yang akan senantiasa menjadi tolak ukur dalam menjalani kehidupan. Bahkan, ditegaskan dalam Islam tentang kewajiban dalam menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena begitu urgennya perihal ilmu, bahkan dalam skala global sekalipun khilafah akan memenuhi kebutuhan pendidikan yang bersifat gratis dan berkualitas termasuk pemenuhan ekonomi, sarana, prasarana, seragam, alat tulis hingga akses pendidikan yang memadai. Sehingga melalui ketersediaan akses oleh negara, mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas dalam aspek ilmu pengetahuan umum namun juga memiliki pemahaman mendalam terhadap ilmu agama.
Dalam sistem perekonomian, Islam senantiasa menerapkan pengelolaan keuangan negara dengan prinsip syariah yang bersifat stabil dan kokoh. Sehingga jauh dari utang ribawi dan bebas korupsi.
Adapun Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan serta jaminan kesejahteraan guru dalam bentuk pemberian upah yang layak dan mensejahterakan bersumber dari pendapatan negara yang dikelola dalam baitul mal yakni melalui pos kepemilikan negara (Fai', Kharaj, Jizyah) yang berasal dari partisipasi baik muslim maupun non muslim dan harta kepemilikan umum yang berasal dari sumber daya alam (pertambangan, hutan dam lainnya).
Sejatinya, khilafah akan terjun secara langsung untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta tidak sekalipun menyerahkannya pada swasta maupun pada sebuah institusi yang merupakan pemodal atau memiliki kepentingan pasar, sehingga akan meminimalisasi terjadinya permainan pasar dan tindakan kecurangan. Adapun khilafah juga akan menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam yang dapat membina dan menghasilkan generasi yang berilmu, beriman dan bertakwa.
Dengan mengoptimalkan perhatian negara dalam bidang pendidikan, maka keadilan, pemerataan hingga pendidikan berkualitas akan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun untuk mewujudkannya, sistem Islam harus diterapkan secara kaffah dalam naungan payung khilafah Islamiyah.Wallahu A'lam Bisshowab.[PUT]
0 Komentar