(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
Pendidikan Alat Komoditas Dalam Kapitalisme
Adapun kelompok yang paling rentan mengalami ketertinggalan dalam memperoleh pendidikan adalah masyarakat yang berada di daerah pedesaan, keluarga berpenghasilan rendah, serta individu dengan disabilitas. Ada beberapa faktor mengapa tingkat pendidikan belum mencapai angka yang lebih tinggi. Salah satunya adalah adanya ketimpangan regional yang signifikan, misalnya DKI Jakarta mencatat rata-rata lama sekolah tertinggi sebesar 11,5 tahun, sementara Papua Pegunungan hanya mencapai 5,1 tahun. Hal ini dipengaruhi karena akses terhadap sekolah yang belum tersedia secara merata di semua wilayah khususnya daerah 3 T (Terdepan, Tertinggal, Terluar). Di kota besar terdapat banyak SMP, SMA serta Perguruan Tinggi, sedangkan di desa terpencil kurang. Selain itu, fasilitas sarana dan prasarana serta ketersediaan tenaga pengajar di kota jauh lebih memadai daripada di desa.
Disisi lain, pendidikan tidak diposisikan sebagai hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara akan tetapi pendidikan dijadikan sebagai alat komoditas yang memiliki nilai jual, hal ini tidak terlepas dari paradigma Kapitalisme yang diterapkan di negara Indonesia yakni hanya mencari keuntungan semata. Oleh karena itu, pendidikan hari ini sangat mahal, sebab pendidikan sebagai komoditas dalam kapitalisme berarti nilai dan akses pendidikan ditentukan oleh mekanisme pasar, yakni siapa yang bisa bayar, dia bisa menikmati, sehingga akses pendidikan bergantung pada kemampuan ekonomi.
Dengan angka kemiskinan yang tinggi serta biaya pendidikan yang terus meningkat, menjadi beban bagi masyarakat terutama bagi kalangan menengah kebawah. Akibatnya, hanya mereka yang mampu secara finansial yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang labih tinggi, sedangkan jutaan anak dari keluarga miskin harus menghentikan pendidikan karena biaya. Semua ini tentu akan berakibat terhadap terbatasnya potensi generasi muda untuk berkembang secara optimal. Alih-alih mencetak generasi yang akan membangun peradaban, sistem pendidikan dalam Kapitalisme justru semakin mempertegas ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang sistemik.
Negara telah melakukan upaya melalui berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), sekolah gratis, berbagai bantuan yang lain, akan tetapi realitanya tidak semua rakyat dapat mengakses dan menikmati layanan pendidikan tersebut, terlebih program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas.
Adanya swastanisasi atau pengalihan tanggungjawab negara dalam penyelenggara pendidikan kepada swasta, biaya mahal, ketimpangan akses antar wilayah dan kurikulum yang tunduk pada kepentingan pasar, telah mengubah wajah pendidikan yang hanya menjadi alat pencetak tenaga kerja murah industri yang berperan sebagai pelengkap roda produksi Kapitalisme, bukan lagi sebagai hak dasar rakyat yang seharusnya bisa diakses merata tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, selama pendidikan dikendalikan oleh logika pasar, ketimpangan akan terus terjadi dan cita-cita untuk mencerdaskan masyarakat dan membentuk kepribadian mulia dalam dirinya, hanya akan menjadi mimpi disiang bolong.
Pendidikan Gratis Dalam Islam
Dalam sistem Islam, mengharuskan manusia untuk memiliki ilmu. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (laki-laki dan perempuan)” (HR. Ibnu Majah). Oleh karena itu, pendidikan merupakan hak mendasar setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara, sebab pendidikan juga termasuk gerbang utama lahirnya peradaban unggul. Negara adalah raa'in yang bertanggung jawab langsung memastikan setiap individu memiliki akses ke pendidikan secara menyeluruh dan gratis tanpa memandang status ekonomi.
Pendidikan gratis dalam sistem Islam mencakup seluruh jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga ke Perguruan tinggi. Negara memiliki tanggungjawab penuh dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, seperti bangunan sekolah, laboratorium, perpustakaan, serta fasilitas digital yang relevan dengan era modern. Selain itu, negara juga membiayai gaji para guru maupun dosen, serta memastikan ketersediaan buku dan alat pendukung pendidikan lainnya secara gratis. Dan semua itu dilakukan secara merata baik di kota besar maupun di desa terpencil, sehingga tidak terjadi kesenjangan di semua wilayah, hal ini sebagai bentuk tanggung jawab negara.
Dalam sistem Islam, negara memiliki sumber pemasukan yang besar yang memungkinkan penyediaan pendidikan gratis bagi seluruh individu. Pendanaan pendidikan bersumber dari baitul mal terutama dari pos-pos pemasukan seperti fai, kharaj, dan aset kepemilikan umum. Dengan sistem keuangan yang mumpuni, negara mampu memberikan layanan pendidikan atau sekolah gratis, berkualitas, serta merata bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Selain itu, kurikulum dalam sistem pendidikan Islam berdasarkan akidah Islam, yang memiliki tujuan untuk membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan ilmu syar'i dan ilmu kehidupan. Dengan begitu, Islam mencetak generasi yang memiliki kecerdasan intelektual serta spritual yang kuat. Pendidikan dalam Islam tidak diarahkan untuk memenuhi kepentingan ekonomi sebab pendidikan bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, tetapi pendidikan adalah kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi negara agar mencetak generasi yang mampu membangun peradaban mulia.
Sementara itu, negara bertindak Langsung sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan tanpa menyerahkan kepada swasta atau lembaga yang memiliki kepentingan pasar, dengan begitu arah pendidikan tetap terjaga dalam membentuk individu yang berilmu, bertakwa, serta siap berkontribusi dalam membangun peradaban Islam, bukan sekedar memenuhi tuntutan industri atau kepentingan pemilik modal. Sudah saatnya sistem pendidikan dibangun atas dasar tanggung jawab negara bukan logika pasar, agar setiap rakyat bisa mengakses pendidikan yang adil, merata, dan bermutu, akan tetapi semua itu hanya bisa terwujud dalam naungan daulah Khilafah Islamiyah. Wa’allahu A’lam Bish Shawwab.[PUT]
0 Komentar