(Aktivis Muslimah)
IMF mendata tingkat pengangguran (unemployment rate) berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan. Persentase itu tak termasuk angkatan kerja yang tidak mencari kerja seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan orang tidak mencari kerja tidak masuk ke dalam data tersebut.
Berdasarkan data dari IMF, Indonesia memiliki persentase tingkat pengangguran tertinggi per April 2024 dibandingkan enam negara yang tergabung dalam ASEAN. Myanmar, Kamboja, dan Laos dikecualikan dari daftar tersebut karena tidak ada data yang tersedia.
Indonesia tercatat memiliki tingkat pengangguran mencapai 5,2 persen per April 2024. Bila dibandingkan tahun sebelumnya, angka pengangguran itu hanya turun 0,1 persen dari 5,3 persen pada 2023.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mencemaskan. Pada 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong tinggi.
Lonjakan terbesar terjadi saat pandemi Covid-19 menerjang. Dunia kerja nyaris lumpuh, rekrutmen dibekukan, dan ribuan lulusan baru terpaksa memulai karier mereka di tengah krisis global. Namun masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar pandemi.(CNBCIndonesia.com.01/05/2025).
Problema Pengangguran Massal ala Kapitalis
Gelar sarjana dulu begitu dipuja, dianggap sebagai pintu menuju masa depan yang cerah. Namun kenyataan berkata lain. Makin banyak lulusan universitas di Indonesia justru masuk dalam lingkaran pengangguran, menunggu tanpa kepastian, di tengah pasar kerja yang kian selektif dan jenuh.
Problem pengangguran memang masih menjadi PR besar bagi pemerintah di berbagai negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Padahal, pengangguran berkorelasi positif dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu berbagai kerawanan sosial sekaligus menjadi indikator minimnya tingkat kesejahteraan.
Sebelum pandemi saja dunia sudah kerap kali dilanda krisis, bahkan beberapa kali memasuki fase resesi. Kondisi ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang menghancurkan perekonomian dunia dan atmosfer untuk berusaha. Pembangunan nyaris mandek dan banyak proyek berakhir mangkrak.
Berbagai jurus pun sudah dilakukan. Namun, tampaknya dari rezim ke rezim pengangguran terus jadi problem warisan dan sulit dituntaskan sampai hari ini. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi makro dunia yang makin hari makin tidak karuan.
Masalahnya, selama ini pemerintah hanya fokus pada aspek pasokan atau supply tenaga kerja, bukan pada demand , yakni menciptakan lapangan kerja. Pendidikan vokasional digenjot sedemikian rupa di tengah penerapan paradigma kurikulum merdeka. Itupun lebih fokus di level SMK dengan konsep apa adanya.Para kapitalis dengan modalnya yang besar dilegalkan negara mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat. Sementara negara hanya menarik pajak dari mereka. Kalaupun para pemilik modal tersebut membutuhkan pekerjaan, para pekerja tersebut hanya digaji dengan upah minimum dan seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebab, pekerjaan yang disediakan hanya sebagai buruh atau pekerja kasar. Dengan demikian, sistem kapitalisme telah nyata menyumbang persoalan pengangguran di negeri ini.
Walhasil, lapangan kerja yang sudah sempit makin sulit didapat. Bahkan, tsunami PHK terjadi di mana-mana, termasuk melanda perusahaan-perusahaan besar. Hal ini terus terjadi hingga sekarang. Padahal, pandemi nyaris berakhir dan sedang bertransisi menuju endemi.
Selama ini pemerintah hanya berhenti di retorika saja. Paradigma kapitalisme yang dikukuhi negara membuat penguasa gamang untuk memihak rakyatnya. Alih-alih berusaha menyejahterakan, penguasa kerap menzalimi rakyatnya dengan kebijakan yang menyengsarakan. Mulai dari pajak, kapitalisasi layanan publik, undang-undang pro-asing, termasuk proyek investasi yang membuka tenaga asing, dan sebagainya.
Maraknya pengangguran menunjukkan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Di sisi lain, juga menunjukkan lemahnya industrialisasi karena industri yang ada bukan berdasarkan kebutuhan namun mengikuti pesanan oligarki. Bila umat masih menerapkan sistem sekularisme kapitalisme maka umat akan terus mengalami keterpurukan.
Islam Sebagai Solusi Hakiki
Berbeda dengan sistem sekularisme kapitalisme dalam Islam, pemimpin atau negara menempatkan diri sebagai pengurus dan penjaga. Adanya rasa takut kepada Allah SWT pada kepemimpinan Islam membuat seorang penguasa akan takut jika dzolim dan tidak adil kepada rakyat. Mereka akan berusaha maksimal mengurus dan menyejahterakan rakyat dengan jalan menerapkan syariat Islam sebagai tuntunan kehidupan.
Negara juga akan menyelesaikan masalah ini dengan sistem ekonominya dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat. Jual beli dalam sektor riil akan dipermudah, seperti sektor pertanian, perdagangan, industri, dan juga jasa. Rakyat pun akan dimudahkan untuk membuat usaha. Dengan birokrasi yang tak berbelit-belit tentunya. Terkait kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara akan memberikan kekeringan bahkan gratis, karena negara memiliki sumber keuangan. Salah satunya dari pengelolaan sumber daya alam, yang akan diberikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” [al-Mulk/67:15]
Sebab sistem ekonomi Islam tegak di atas prinsip kepemilikan yang khas, yang membagi antara kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan individu. Sumber daya alam yang melimpah dan tidak terbatas jumlahnya ditetapkan sebagai kepemilikan umum (milik rakyat). Karena itu diharamkan untuk dikuasai individu bahkan oleh negara sebagaimana yang terjadi pada sistem kapitalisme. Sebab Allah SWT sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yaitu sumber hukum memang telah menetapkannya sebagai milik umum. Adapun negara diperintah syariat untuk mengelolanya dan menggunakan hasilnya sebagai modal menyejahterakan rakyat. Khususnya melalui jaminan pemenuhan hak kolektif rakyat, yakni kesehatan, pendidikan, keamanan, layanan infrastruktur dan fasilitas umum lain sehingga tercipta kehidupan yang layak, kondusif dan lain-lain.
Khilafah juga akan meningkatkan etos kerja dan produktivitas kerja masyarakatnya yang mampu bekerja. Dalam hal ini Khilafah menjamin setiap ayah atau para wali mendapatkan pekerjaan yang layak yang memungkinkan bagi mereka memperoleh harta untuk menafkahi keluarga yang ditanggungnya. Tentu saja mutlak diperlukan pemberian pendidikan keterampilan kerja sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Di samping itu, lapangan pekerjaan juga disediakan seluas-luasnya oleh negara. Pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh negara otomatis akan membuka lapangan kerja di banyak lini. Mulai dari tenaga ahli hingga tenaga terampil. Ini sekaligus akan menghapuskan pengangguran. Apalagi jika pengelolaan dilakukan di semua jenis sumber daya alam. Demikianlah solusi Islam dalam mencegah dan mengatasi pengangguran. Semoga umat semakin sadar akan kebaikan sistem Islam yang hanya akan terwujud melalui tegaknya institusi Khilafah Islamiyah.
Jika sudah mengetahui akar masalahnya, maka solusinya adalah segera mengganti sistem menjadi sistem Islam. Inilah yang mesti disuarakan rakyat dan para buruh. Negeri ini sebagai calon negara adidaya memiliki sumber daya alam melimpah, yang bisa menjadikannya lebih kuat dengan perubahan sistem. Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang memadai sebagai salah satu mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Wallahu'alam bissawwab.
0 Komentar