Oleh Rheiva Putri R. Sanusi, S.E.
(Aktivis Muslimah)
Vivisualiterasi.com- Sebagai seorang muslim, kita sadar bahwa setiap aspek dalam kehidupan kita telah Allah Swt. berikan aturan. Termasuk kegiatan sehari-hari, misalnya makan. Islam mengatur bagaimana tata cara makan yang baik, bahkan jenis makanan yang dikonsumsi. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Di Indonesia sendiri, ada lembaga khusus yang bertugas untuk memilah dan memberikan sertifikasi halal terhadap makanan, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH bekerja sama dengan Kementerian Agama, LPH dan MUI, dalam proses menyelenggarakan sertifikasi halal produk.
Tidak Jelasnya Standar Halal
Pelaku industri pariwisata di DIY, melalui Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, mendukung penguatan aturan legalisasi penjualan minuman keras (miras) untuk memperkuat kontrol pemerintah. Alasan yang diajukan adalah sebagai pelayanan terhadap turis asing sebab Indonesia telah menjadi negara pariwisata. (kumparan.com, 3/10/24)
Jika hal ini benar-benar terjadi maka memberikan gambaran jelas bahwa standar halal dan haram yang dikeluarkan bukan berdasarkan aturan Islam tapi berdasarkan kepentingan. Pengajuan seperti ini sangat wajar terjadi di negeri yang dilandasi kapitalisme sekuler di mana materi menjadi tujuan dari berbagai aktivitasnya, dan pemisahan agama dari kehidupan merupakan dasar dari setiap kebijakannya.
Ditambah baru-baru ini tengah ramai di sosial media, sebuah video yang berisi produk-produk dengan nama-nama seperti tuyul, tuak, beer dan wine yang memiliki sertifikat halal. Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin yang mengatakan bahwa sertifikasi halal hanya mengatur soal kandungan produknya bukan terkait penamaan suatu produk. (bersatu.com, 1/10/24)
Kasus penamaan produk ini menjadi salah satu bukti awal bahwa tidak jelasnya standar kebijakan halal dalam sistem kapitalisme sekuler. Hal ini tentu membingungkan masyarakat yang notabene mengetahui nama tersebut merupakan hal yang haram namun bersertifikasi halal. Ini memang model sertifikasi halal ala kapitalisme, nama tak jadi masalah asal zatnya halal.
Sertifikasi Halal Menjadi Ladang Bisnis
Ketidakjelasan yang diberikan oleh sistem ini membuat banyak kekhawatiran masyarakat. Terlebih lagi sertifikasi ini memiliki batas waktu empat tahun setelah diterbitkan. Walaupun dalam aturan terbaru, selama tidak ada perubahan, maka hanya perlu dibuat pembaruan sertifikat saja.
Namun di sistem kapitalisme, tentu celah ini menjadi ladang bisnis yang luar biasa. Sulitnya mendapatkan sertifikat halal ini menjadi target bagi mereka yang berorientasi materi. Belum lagi jika pembaharuan terus terjadi berulang-ulang maka peluang materi pun berkali lipat.
Bila kita lihat, produk-produk yang memiliki sertifikasi halal hanyalah produk yang pemiliknya memiliki omzet dengan besaran tertentu saja. Kita lihat para pedagang kaki lima, sangat jarang mereka memiliki sertifikat halal sebab prosesnya yang lama dan mahal. Sistem administrasi seperti ini sudah sangat lumrah ditemukan di negeri dengan sistem buatan manusia, kapitalisme.
Aturan Halal dalam Islam
Dalam Islam, pengaturan halal dan haram pada suatu benda bukanlah berdasarkan kepentingan apalagi keuntungan, melainkan soal prinsip dan aturan Sang Pencipta. Islam memiliki aturan jelas tentang suatu benda atau zat, ada yang halal dan ada yang haram. Standarnya ialah jika suatu benda itu tidak mengandung unsur yang haram baik dari kandungan zatnya maupun penamaannya maka benda tersebut halal. Hal ini akan mempermudah masyarakat dalam menggunakan benda tersebut.
Memastikan kehalalan suatu benda yang beredar di masyarakat merupakan kewajiban negara. Sebab, dalam aturan Islam, negara merupakan pelindung. Maka sertifikasi halal ini menjadi suatu pelayanan penting yang diberikan negara kepada masyarakat. Sehingga dalam prosesnya, negara wajib menjamin kemudahan dengan pelayanan yang murah bahkan gratis, namun tetap dengan pelayanan yang terbaik. Negara tidak boleh membebankan biaya ini kepada pelaku usaha. Sebab kaitannya adalah dengan aturan Sang Pencipta bukan hanya sekadar kepentingan belaka. Negara benar-benar harus memastikan kehalalan dan kebaikan setiap benda termasuk makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Dalam pelaksanaannya pun bukan sekadar pelaku usaha melakukan self declare bahwa produknya halal. Namun, negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan ke pasar-pasar setiap hari, termasuk ke tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik-pabrik. Para qadhi ini tak hanya mengklaim bahwa produk ini halal dari segi zatnya saja. Namun qadhi ini bertugas mengawasi proses produksi dan distribusi produk untuk memastikan produk tetap terjaga kehalalannya dari awal pembuatan hingga sampai kepada masyarakat. Terlebih lagi agar tidak ada kecurangan dan kamuflase.
Pentingnya Penerapan Islam
Namun aturan yang Islam tawarkan ini tentu tidak akan sejalan dengan sistem kapitalisme hari ini, sebab akan menghalangi kepentingan-kepentingan para pemilik modal. Aturan Islam ini hanya akan terwujud apabila sistem yang diterapkan adalah sistem Islam pula. Yang mana hal ini akan selaras dengan berbagai penerapan aturan Islam yang akan saling berkesinambungan. Wallahua'lam bishawab.[AR]
0 Komentar