Subscribe Us

RUMAH TAK LAGI MENJADI SURGA BAGI SEORANG ANAK

Oleh Ummu Fahri
(Kontributor Vivisualiterasi Media)

Vivisualiterasi.com- Apalah artinya, jika rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi anak, runtuh seketika. Dalam realitas kehidupan yang dipengaruhi oleh sekularisme dan kapitalisme, seringkali peran rumah sebagai landasan pendidikan keluarga terabaikan. Tingginya jumlah kasus anak yang terlibat dalam konflik hukum menjadi peringatan serius bagi masyarakat dan pemerintah.

Sungguh miris, sebut saja S seorang remaja berusia 14 tahun, terlibat kasus kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun di Sukabumi, Jawa Barat. Remaja tersebut merupakan seorang pelajar SMP, telah ditetapkan sebagai tersangka setelah proses penyelidikan yang panjang. (detik.com,2/5/2024).

Menurut data dari Kementerian Hukum dan HAM, kasus anak berkonflik dengan hukum meningkat dari 2020 hingga 2023. Pada 26 Agustus 2023, hampir 2.000 anak terlibat, dengan 1.467 anak dalam tahanan dan 526 menjalani hukuman narapidana. (kompas.com, 29/08/2023)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membeberkan fakta bahwa, tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual merupakan dua jenis tindak kriminal yang paling sering dilakukan oleh anak, Pada tahun 2020, proporsi tindak kekerasan fisik mencapai 29,2 persen dari total tindak pidana, sementara kekerasan seksual mencapai 22,1 persen. (kompas.com, 29/08/2023)

Merujuk pasal 1 ayat (2) Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan, menggolongkan anak dalam ranah hukum usia 12-17 tahun. Mereka dibagi menjadi dua kategori: anak berhadapan dengan hukum dan anak berkonflik dengan hukum. Anak berhadapan dengan hukum mencakup anak yang berkonflik dengan hukum, menjadi korban, atau saksi tindak pidana. Sedangkan anak berkonflik dengan hukum adalah yang diduga melakukan tindak pidana.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya proporsi tindak kriminal anak. Diantaranya, pengaruh lingkungan sosial yang negatif, ketidakstabilan emosional, paparan media yang menyajikan kekerasan, konflik keluarga, serta kurangnya pendidikan dan pembinaan yang memadai terkait dengan hak dan kesejahteraan anak.

Sementara itu, fenomena tawuran atau konflik antar geng motor terus meningkat, begitu pun tindak kekerasan seksual kerap terjadi dalam kasus hubungan seksual di luar pernikahan yang melibatkan anak, hingga berujung pada pembunuhan. Berbagai tindak kriminal anak tersebut  berkelindan, terjadi di masyarakat.

Menurut ICJR (Institute For Criminal Justice Reform) mencermati bahwa, masih ditemukan problem dari implementasi peradilan pidana anak di Indonesia, yang dituangkan dalam UU SPPA. Pada praktiknya sistem peradilan bahkan regulasi pendukung seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden masih belum lengkap. Selain itu minimnya jumlah institusi pengganti tempat penahanan anak dan meningkatnya jumlah anak dalam tahanan menjadi masalah serius. (Icjr.or.id, 21/07/2017)

Demikian pula kurangnya pemahaman tentang hak anak atau korban, layanan yang terbatas, dan kecenderungan untuk memidana anak secara lebih berat daripada tindakan alternatif juga menunjukkan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana anak yang ada saat ini.
(Icjr.or.id, 21/07/2017)

Adapun beberapa bentuk hukuman yang diberikan kepada anak yang terlibat dalam tindak kriminal meliputi teguran, pengawasan oleh pejabat pemasyarakatan, layanan masyarakat, rehabilitasi, pembinaan, pengawasan oleh otoritas pemuda, atau penahanan di lembaga pemasyarakatan khusus untuk anak. Kemudian pendekatan yang diambil biasanya lebih terfokus pada rehabilitasi dan pemulihan anak daripada hukuman yang bersifat punitif.

Semua perkara tersebut terjadi akibat adanya penerapan sistem aturan sekuler-kapitalistik dimana anak menjadi korbannya. Sehingga rumah tidak lagi berperan sebagai landasan utama pendidikan keluarga. Banyak rumah yang kini hanya dianggap sebagai tempat perlindungan fisik belaka, bahkan ada yang hanya dijadikan sebagai tempat singgah sementara. Karena mayoritas penghuni rumah lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.

Basis Pendidikan Keluarga

Bagi seorang Muslim, memahamkan ajaran Islam kepada keluarga merupakan kewajiban. Sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an Surat At-Tahrim ayat enam, agar memelihara diri dan keluarga dari panasnya api neraka. Semuanya tentu berawal dari rumah sebagai basis pendidikan keluarga. Oleh karena itu, perlu upaya lebih untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk memastikan bahwa rumah dapat optimal menjalankan peran pendidikan keluarga, diperlukan upaya untuk mengembalikan nilai-nilai keluarga yang kuat dan membangun komunikasi yang baik antara anggota keluarga. Anak-anak harus menerima pendidikan pertama dari orang tua di lingkungan rumah. Pengetahuan yang mereka dapatkan akan menjadi modal berharga untuk berinteraksi dengan masyarakat dan menghadapi berbagai realitas kehidupan. 

Dengan bekal ini, mereka akan mampu memilih dan menilai dengan bijaksana apa yang harus diikuti dan dihindari dengan pegangan nilai yang jelas, yaitu syariah Islam.
Selain itu, penting juga untuk memprioritaskan waktu bersama keluarga, memberikan pendidikan agama dan moral yang kuat, serta menciptakan lingkungan rumah yang aman, nyaman, dan penuh kasih sayang. 

Anak-anak yang dididik dan dibesarkan dalam keluarga peduli pada pendidikan Islam yang baik, cenderung memiliki keteguhan dalam keyakinan dan komitmen pada kebenaran. Otomatis anak akan tumbuh menjadi individu beriman, taat pada syariah, dan berpengetahuan luas. Di sisi lain, pendidikan yang kurang baik dapat menghasilkan generasi lemah. 

Negara Bertanggung Jawab 

Namun ketakwaan individu yang berbasiskan pendidikan keluarga tersebut juga masih belumlah cukup jika tidak di dukung oleh sistem yang benar, yang mampu menaungi aspek kehidupan. Oleh karena itu, berbagai serangan dan ancaman terus menyebar di kalangan umat tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Contohnya, gagasan sekuler, hedonis, materialistik dan sebagainya merupakan pemahaman yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, justru kerap merusak generasi Muslim.

Disinilah dibutuhkan peran negara, dengan melaksanakan aturan yang diperintahkan Allah Swt.Terbukti selama ribuan abad, tindak kriminalitas yang merajalela dapat ditekan. 

Ini dikarenakan hukum yang diberlakukan bersifat jawazir, yakni untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Serta Jawabir (penebus) digunakan untuk menggantikan hukuman akhirat. Hukuman akhirat bagi seorang Muslim dapat dihapuskan oleh hukuman di dunia yang diberlakukan oleh negara.

Demikianlah kemuliaan Islam, segala bentuk kejahatan dapat diminimalisir. Sehingga rumah dapat kembali menjadi tempat yang efektif dalam membentuk generasi yang baik, tangguh, dan siap menghadapi tantangan zaman. Allahu'alam bisawab. (Dft)


Posting Komentar

0 Komentar