Subscribe Us

REVITALISASI KANTOR URUSAN AGAMA, MENJADI WUJUD KONKRET MODERASI BERAGAMA 


Oleh Riris Dwi 
(Aktivis Pergerakan Mahasiswi di Surabaya) 


Vivisualiterasi.com- Belakangan ini mencuat isu revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA), yaitu mewujudkan KUA sebagai pusat layanan keagamaan bagi semua agama. Salah satu fungsi yang bertransformasi adalah layanan pencatatan pernikahan. Konsepnya, warga negara yang memeluk Agama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu yang hendak melangsungkan pernikahan tidak perlu lagi ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DISDUKCAPIL), melainkan cukup ke KUA.
 
Upaya Membumikan Moderasi

Moderasi beragama merupakan sebuah jawaban atas masalah keagamaan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini, mencegah agar konflik tidak meluas dan tidak melahirkan kerusakan yang lebih besar sehingga diperlukan cara pandang yang moderat. Moderasi beragama solusi terbaik untuk negeri." Sederet kalimat ini pernah dikatakan oleh Menag. Akan tetapi, harus dicermati lagi, apa iya moderasi beragama "sesakti itu"? Sehingga mampu memberikan solusi beragam konflik di Indonesia.

Moderasi beragama terus digelorakan dan digencarkan semangatnya menyasar semua kalangan baik tingkat sekolah, mahasiswa, aktivis dan pondok pesantren. Karena tema besar dalam RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) IV 2020-2024, dalam prioritas nasional (PN) keempat ini terdapat peraturan pemerintah yang menjadi prioritas pembangunan yaitu revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila, peningkatan kemajuan dan pelestarian kebudayaan memperkuat moderasi beragama meningkatkan budaya literasi, Inovasi dan kreativitas. (Kementrian PPN/Bappenas, 2022)

Semua rencana ini sangat nyata dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Rand Corporation (lembaga penelitian dan pemikir USA) pada tahun 2007 yang berjudul 'Building Moderate Muslim Network'. Pada dokumen itu dijelaskan bahwa karakteristik muslim yang moderat merupakan musim yang bisa menyebarluaskan dimensi kunci demokrasi (sekuler), termasuk gagasan tentang HAM (human right), kesetaraan gender, pluralisme, serta menerima sumber-sumber hukum non sektarian. 

Ini merupakan imbas yang ditimbulkan dari penerapan sistem sekulerisme di negeri ini yang melegalkan kebebasan beragama yang berimplikasi pada keharusan Negara menjamin kebebasan beragama. Negara menganggap semua harus diperlakukan sama tanpa memperhatikan dan melihat batasan-batasan yang dibolehkan atau dilarang dari agama tertentu, khususnya umat Islam. Hal ini jelas menguatnya aroma pluralisme yang semakin jelas keberadaannya sangat bertentangan dengan pemikiran Islam karena menganggap semua agama benar yang membedakan Hanya Tuhan dan ajarannya saja.  

Islam merupakan ideologi yang memiliki aqidah dan memancarkan berbagai aturan kehidupan darinya. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme hanya akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai Ideologi dan menghambat kebangkitan Islam ideologis. Pluralisme tentu berbeda dengan pluralistik, jika pluralisme adalah faham yang menganggap semua agama benar. Berbeda dengan pluralistik yakni keragaman yang bersifat sunnatullah. 

Semua ini tidak terlepas dari agenda Barat yang tidak akan pernah rela melihat kepemimpinan islam ideologi tegak demi mengkukuhkan hegemoni kapitalisme Global di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. 

Selama belasan abad Islam berhasil mempersatukan umat manusia di dalam satu ikatan, yaitu aqidah Islam. Di sisi lain, jiwa dan kehormatan muslim senantiasa terpelihara dan naungan syariat Islam. Di bawah naungan Khilafah Islam, kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah manusia. Dengan adanya penerapan syariat Islam, hak dan jaminan kebutuhan non muslim juga mendapatkan pemenuhan, seperti sandang, pangan papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, serta keadilan hukum-hukum Islam yang diterapkan. Inilah gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat yang dapat dilakukan dihilangkan dan kerukunan pun tercipta jika syariat Islam ditegakkan.

Jika kita kaji secara mendalam tentang syariat dengan baik maka akan mendapatkan betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci terhadap bagaimana menangani urusan kaum muslim dan juga non-muslim yang hidup di bawah naungan negara Khilafah. Dalam pernikahan, umat non-muslim diizinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya yang dilakukan di gereja / synagoga yang disaksikan oleh Pendeta atau Rabi.

Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka. T.W Arnold dalam bukunya "The Preaching of Islam" menyatakan Uskup Agung Kristen dan sinoda Agung bebas memutuskan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara Khilafah artinya negara tidak ikut campur dalam urusan privat non muslim dalam Khilafah adapun dalam masalah hubungan sosial kemasyarakatan non-muslim wajib mengikuti syariat Islam seperti sistem sanksi sistem peradilan sistem pemerintahan ekonomi dan kebijakan luar negeri sebab negara Islam akan menerapkan aturan-aturan tersebut pada semua orang secara sama tanpa memandang muslim atau non muslim. Beginilah Khilafah beserta bukti otentiknya memperlakukan umat non-muslim (Ahlu Dzimmah) dalam kekuasaannya penerapan Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Wallahua'lam bish-shawab.(Dft)

Posting Komentar

0 Komentar