Subscribe Us

INKONSISTENSI DEMOKRASI DALAM PEMBUMBARAN PENGAJIAN


Oleh Mila Ummu Muthiah
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Miris! Aksi pembubaran paksa pengajian kembali terjadi di negeri ini. Masih kental diingatan ketika Februari tahun lalu, pengajian Ustaz Hanan Attaki di Pamekasan, Madura dibubarkan oleh Banser. Ormas yang sama juga pernah membubarkan pengajian Ustaz Abdul Somad, Ustaz Khalid Basalamah, Ustaz Felix Siauw, dan masih banyak lagi. Bahkan, telah banyak ustaz-ustaz terkenal yang terkena blacklist dan menjadi korban pembubaran oleh Banser.

Dilansir dari cnnindonesia.com (24/2/2024), anggota Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) kembali membubarkan acara pengajian Ustaz Syafiq Riza Basalamah di Masjid Assalam Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Asyiqun Nahdli selaku Ketua PAC GP Ansor Gunung Anyar menyatakan bahwa pihaknya menolak kajian tersebut lantaran si penceramah telah terindikasi radikal. Asyiqun juga mengeklaim bahwa kajian Ustaz Syafiq Basalamah dikhawatirkan akan menimbulkan konflik dan mengganggu keharmonisan masyarakat Gunung Anyar.

Meredefinisi Makna Toleransi

Jika diamati, ustaz-ustaz yang sering dibubarkan pengajiannya selalu saja terkait stigma negatif, seperti intoleran dan radikal. Intoleran karena mereka dipandang selalu menyerang paham fikih mayoritas, dan dicap radikal karena selalu menyerukan kewajiban untuk taat secara total pada syariat Islam. Selain itu, mereka berdalih bahwa ustaz tersebut telah terafiliasi organisasi terlarang yang sudah dibubarkan pemerintah atau karena terpapar sebagai gerakan pengusung Khilafah.

Mirisnya, mereka selalu menyebut bahwa ideologi Islam dan Khilafah akan memecah belah bangsa, serta bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Padahal, apa yang ditudingkan tidak terbukti dan belum tentu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Bahkan, seakan-akan ada privilege yang diberikan penguasa dan aparat pada organisasi Islam tertentu untuk melegalkan aksi pembubaran pengajian. 

Jika diamati, pembubaran pengajian jelas tak sejalan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan beragama dan berbicara. Bukankah dalam sebuah pengajian sang ustaz akan membawakan materi yang berisi ajaran Islam dan bebas dipelajari oleh setiap individu? Mengapa pihak yang berwenang tidak mengawasi terlebih dahulu, lalu membuktikan dugaan dan tuduhannya sebelum melakukan pembubaran paksa terhadap sebuah pengajian?

Banyaknya pengajian yang dibubarkan di negeri ini merupakan bukti bahwa demokrasi memang sebuah sistem yang inkonsisten. Kebebasan yang digembar-gemborkan nyatanya tidak berlaku kepada seluruh rakyat. Kebebasan beragama dan berpendapat terbukti tidak berlaku bagi kaum muslim yang mengkaji agamanya secara lebih mendalam. Anehnya lagi, demokrasi justru terbukti membebaskan kelompok perilaku menyimpang yang jelas-jelas dapat mengancam eksistensi manusia, misalnya para pelaku LBGT.

Ironi Toleransi dalam Demokrasi

Tentu saja, semua ini menjadi bukti ketidakadilan demokrasi. Pembubaran pengajian secara sepihak, sejatinya telah mencederai makna “toleransi” yang selama ini mereka gaung-gaungkan. Makna “toleransi” didefinisikan sesuai dengan kepentingan kelompok dan golongannya, sedangkan yang tidak sejalan dengan mereka akan dicap sebagai intoleran. 

Sungguh ironis, atas nama moderasi beragama, saudara seiman sering kali diposisikan sebagai lawan. Sebaliknya, sikap toleransi justru mereka tunjukkan dengan penuh keikhlasan ketika menjaga acara-acara besar agama lain. Bahkan, mereka sering kali terlihat menjaga dan berjoget ria di acara-acara dangdutan. Wajar jika sikap inkonsisten mereka mengundang respons negatif dari berbagai pihak. Sebab, sikap toleran ternyata hanya berlaku untuk mereka yang tidak seiman dan saat yang sama, mereka justru bersikap keras kepada sesama mukmin.

Secara teori, moderasi beragama memang indah dan mampu melenakan kaum muslim. Namun pada praktik dan kenyataannya, justru Islam yang sering menjadi sasaran program deradikalisasi oleh pihak penguasa. Moderasi dan toleransi yang katanya ibarat setail mata uang, justru menunjukkan  sikap “intoleransinya” kepada saudara seiman hanya karena perbedaan fikih. Semua ini terbukti dengan maraknya aksi pembubaran pengajian, kriminalisasi ulama, islamofobia, dan masih banyak lagi propaganda-propaganda tanpa bukti yang dilontarkan dari pihak penguasa.

Tetap Istiqamah dalam Perjuangan

Melalui moderasi beragama, musuh-musuh Islam akan selalu memalingkan kesadaran umat mengenai kewajiban dan tugasnya untuk berjuang menegakkan syariat Islam kaffah. Kemudian, rencana ini semakin mulus di bawah penerapan demokrasi yang mereduksi peran Allah Swt. sebagai satu-satunya yang berhak membuat hukum. 

Realitas inkonsisten dalam demokrasi tak akan kita temui jika semua hukum dan standar hanya berdasarkan syariat-Nya. Sebab, sejak awal, Islam memang mengajarkan umatnya untuk mencintai negara  dengan cara berhukum berdasarkan ketetapan Allah Swt. dan melarang umatnya untuk berhukum kepada selain-Nya. Alhasil, wujud toleransi yang dibangun sejak masa Rasulullah, sahabat, dan kekhilafahan dapat terwujud tanpa embel-embel moderasi beragama. Di Spanyol misalnya, toleransi antaragama (Islam, Yahudi, dan Nasrani) terwujud dengan indah selama lebih 800 tahun. Begitu pun sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah, muslim dan umat Hindu di India dapat hidup rukun selama ratusan tahun.

Perlu diketahui, musuh-musuh Islam akan terus mengadu domba kaum muslim dengan mengacak-ngacak makna “toleransi” dalam Islam untuk membenarkan dan mendukung agenda moderasi beragama. Alhasil, baik secara sadar atau tidak, kaum muslim justru begitu toleran pada perkara yang dilarang dalam Islam, seperti pluralisme, sekularisme, LGBT, kesetaraan gender, dll. Saat yang sama, mereka justru intoleran terhadap apa yang semestinya diperjuangkan sebagai tuntutan iman, seperti Khilafah dan jihad.

Oleh sebab itu, dalam negara sekuler, gagasan penegakan syariat Islam kaffah dan para pejuangnya akan senantiasa mendapat pertentangan. Narasi sesat, seperti terorisme akan terus disematkan pada para pejuang Islam demi menghadang kebangkitan Islam. Semua ini dapat dibuktikan dengan banyaknya propaganda narasi moderasi beragama yang cenderung menyasar agama Islam, dan bukan agama lainnya. 

Tentu saja, upaya makar musuh-musuh Islam tidak akan pernah bisa menghalangi kemenangan Islam yang telah dijanjikan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Bisyarah Rasulullah akan kembalinya Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan tetap terwujud, sekuat apa pun makar mereka. Hanya saja, janji Allah hanya diberikan bagi kaum muslim yang benar-benar beriman dan beramal saleh, serta ikhlas dan sungguh-sungguh istikamah berjuang di jalan Islam.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 55 yang artinya, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...”. 

Wallahu a’lam bish-shawab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar