Subscribe Us

EROPA ATASI LIMBAH TEKSTIL, APAKAH BISA?


Oleh Febri Ghiyah Baitul Ilmi
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Fenomena fast fashion kini semakin berkembang di berbagai belahan dunia. Tak bisa dipungkiri, tren mode demikian didukung oleh gaya hidup masyarakat yang konsumtif dan boros. Akibatnya, jumlah limbah tekstil kian tak terbendung. Salah satu negara penyumbang limbah tekstil adalah Eropa, sebesar 12,6 juta ton setiap tahun. Salah satu cara untuk mengurangi limbah tekstil yang kian membeludak, Eropa menjual limbah tekstilnya ke Asia dan Afrika sebanyak 90%. 

Melihat kondisi demikian, anggota Parlemen Eropa meminta agar menerapkan aturan baru terkait limbah tekstil pada Desember 2024. Aturan tersebut mengarah pada prinsip pencemar membayar dan tanggung jawab produsen diperluas. Kemudian, pada Januari 2025 anggota Parlemen mewajibkan sistem pemisahan limbah tekstil agar memudahkan saat di daur ulang. (esgnow.republika.co.id, 17/2/2024) 

Fast fashion merupakan produksi garmen atau pakaian jadi yang memiliki tujuan pemakaian jangka waktu singkat, produksi melimpah dan relatif cepat. Produk garmen ini diharapkan dapat menekan biaya produksi agar lebih murah. Namun, bahan baku yang digunakan berkualitas rendah dan justru menjadi bumerang terhadap kehidupan manusia. 

Biang Kerok Limbah Tekstil

Adapun penyebab limbah tekstil yang kian tak terbendung adalah penerapan sistem kapitalisme, yang memisahkan kehidupan dengan aturan agama. Sistem ini, melahirkan manusia yang menganut paham liberalisme, yakni kebebasan berperilaku dalam mengekspresikan diri. Belum lagi, didukung oleh fast fahsion mulai tahun 2002 yang telah menyediakan produksi tren mode 4 musim, yakni musim dingin, musim semi, musim gugur, dan musim panas. Kemudian, semua diperparah dengan adanya media sosial yang memberikan peluang para influencer untuk memasarkan fast fashion dengan berbagai tren mode kepada masyarakat. Walhasil, terbentuklah perilaku masyarakat konsumtif terhadap fast fahsion yang berlebih atau boros. 

Kira-kira siapa saja pelakunya? Pelakunya adalah generasi Z (generasi yang lahir tahun 1997-2000), generasi milenial (generasi yang lahir tahun 1980-1996), dan generasi X (generasi yang lahir tahun 1965-1980). Kenyataannya, pada tahun 2022 generasi Z berbelanja fast fashion memiliki persentase sebesar 56%, diikuti generasi milenial sebesar 43,3%, dan terakhir generasi X sebesar 32%. (dataindonesia.id, 8/7/2022) 

Penyebab berkembangnya limbah tekstil juga akibat negara memudahkan izin industri produk fast fashion. Sebagaimana, di Eropa pada abad ke-20 telah memulai toko-toko kecil fast fashion seperti Zara, H&M, TopShop, dan Primark. Sampai saat ini, fast fashion semakin berkembang pesat ke penjuru dunia. Alasan Eropa atau negara maju lainnya mendukung fast fashion adalah untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, dengan menekan biaya dalam proses produksi dan menekan gaji pekerja yang berasal dari negara berkembang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan fast fashion mendapat tekanan kerja lembur tanpa menerima gaji tambahan dan tidak mendapatkan jaminan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). (journal.uny.ac.id, 2021) 

Adapun yang membuat limbah tekstil semakin parah adalah kebijakan pemerintah yang lemah dalam menuntaskan masalah. Di Eropa telah membuat kebijakan tentang pengelolaan sampah selama 50 tahun terakhir. Bahkan, sampai saat ini, Eropa merancang berbagai aturan baru dari tahun ke tahun namun hasilnya nihil. Kebijakan tersebut tidak akan berhasil, sebab tidak ada kerja sama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengelolaan sampah. Kemudian, sejauh ini tidak ditemukan sanksi bagi pelanggar hukum. Akibatnya, masyarakat tidak takut dan terikat dengan kebijakan yang ada. 

Selain itu, kebijakan Eropa untuk mengurangi limbah tekstil adalah mengekspor ke negara Afrika dan Asia sebanyak 90%. Jelas cara ini akan sia-sia. Sebab, setiap bulan bahkan minggu industri fast fashion akan selalu berlomba-lomba dalam memproduksi tren mode demi mengikuti keinginan pasar.

Islam Solusinya

Mengenai permasalahan fast fashion yang memiliki banyak peminat dan berdampak pada limbah tekstil yang tak terbendung. Islam memiliki satu solusi tepat yakni mengganti sistem kehidupan saat ini, dari sistem kapitalisme menjadi sistem Islam. Di dalam Islam, masyarakat diberikan edukasi berdasarkan akidah Islam agar memiliki kepribadian Islam. Sehingga, masyarakat tidak bebas dalam berperilaku, khususnya menanggapi perkembangan fast fashion. 

Di dalam Islam, kaum muslim diperbolehkan untuk memiliki pakaian yang layak dipakai dan tentunya harus sesuai syariat Islam. Kemudian, masyarakat juga akan paham bagaimana cara  memanfaatkan harta agar tidak menjadi manusia yang boros dengan tidak membelanjakan pada hal-hal yang sia-sia. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang terkandung di dalam surah Al-Isra' ayat 26 yang berbunyi:

"Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan; Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." 

Selain itu, di dalam Islam hanya mengizinkan para pengusaha yang memproduksi fashion dengan kualitas terbaiknya agar memiliki daya saing ekspor ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana pabrik-pabrik tekstil terbaik pada masa Daulah Umayyah yang menghasilkan berbagai pakaian untuk memenuhi target ekspor, dan untuk tradisi memberikan hadiah pada pembesar atau para pejabat negara. Selain itu, untuk tradisi pergantian kiswah Ka'bah selama satu tahun sekali yang sangat menentukan kualitas produksi tekstil. 

Kemudian, pada masa Daulah Umayyah yang dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad dikenal produk tekstil sutera terbaik yang bernama Sutera Marwan. Bahkan, kain ini merupakan kain yang digunakan untuk membuat baju kebesaran para raja. Kain ini, dibuat dengan hiasan bordir dengan menggunakan benang emas, motif komposit pola bergulir titik-titik putih seperti tepian mutiara, serangkaian tangan anggur bergaya, dan di bagian tengah roseta dengan motif berbentuk hati. 

Kemudian, dalam menekan limbah tekstil seorang khalifah akan memberikan infrastruktur dengan teknologi terbaik dalam mengelola limbah tekstil. Sebagaimana, pada masa Bani Umayyah para ilmuwan muslim seperti Ar-Razi, Ibnu Al-Jazzar, dan Al-Masihi telah memiliki konsep pengelolaan sampah yang diserahkan kepada negara, sehingga kondisi jalanan di kota Cordoba terlihat bersih dan asri. Di dalam Islam juga, seorang khalifah akan memberikan sanksi takzir untuk memberikan efek jera kepada para pemilik pabrik tekstil yang tidak menerapkan aturan khalifah sebagaimana mestinya. 

Demikianlah hanya dengan diterapkan Islam secara kaffah akan menjadikan umat muslim tidak latah dengan perkembangan budaya fast fashion yang berasal dari Barat. Kemudian, negeri tercinta akan terbebas dari limbah tekstil dan menjadi bersih serta indah. Wallahu a'lam bish-shawab.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar