Subscribe Us

PEMERINTAH TAK BAYAR UTANG, MINYAK GORENG TERANCAM LANGKA

Oleh Murni Supirman
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com-Polemik minyak goreng seakan tidak ada habisnya di negeri ini, para ibu selalu dibuat gelisah karenanya. Kini ancaman kelangkaan minyak goreng sudah di depan mata. Kita tentu masih ingat di awal tahun 2022 ketika para ibu harus rela mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan se-liter minyak goreng. Semua itu imbas dari kebijakan yang salah yang diambil pemerintah dan para pemilik modal yang berkongkalikong dibalik layar. 

Baru-baru ini, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) mengancam akan menyetop penjualan minyak goreng jika pemerintah tidak segera melunasi utangnya sebesar Rp 344 miliar untuk pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng oleh Kementerian Perdagangan. Tuntutan itu nampak serius jika pemerintah tidak segera merealisasikannya terlebih dahulu. Hal ini terjadi berawal dari program minyak satu harga yang diluncurkan pemerintah pada awal Januari 2022.

Ketua umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey mengatakan, jika Kementerian Perdagangan gagal membayar utangnya, Aprindo akan berlepas tangan jika nanti 31 perusahaan ritel yang mencakup 45.000 toko di seluruh Indonesia berhenti membeli minyak goreng dari produsen. Sementara kata Roy, ada 31 perusahaan ritel yang bergabung, yakni Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart hingga Superindo.

Dampak yang mungkin terjadi jika dilakukan peritel, yakni potongan tagihan atau mengurangi pembelian, misalnya memotong tagihan pasti akan ada ketidaksetujuan dari pihak produsen, pasti akan ada aspek masalah, bisa saja produsennya menyetop, 'bayar dulu dong tagihan ini kan bukan rafaksi' dia nyetop pasokan. Nah, kalau menyetop pasokan, ada gak minyak goreng di toko?" kata Roy saat konferensi pers di bilangan Gatot Subroto, Jakarta, Jum'at (18/8/).

Selain melakukan aksi mogok pembelian minyak goreng, lanjut Roy, langkah yang dilakukan para peritel juga dengan memotong tagihan distributor minyak goreng dari peritel ke distributor minyak goreng.

"Saat ini Aprindo sudah gak bisa membendung keresahan anggota. Kita gak bisa menahan anggota. Bahkan penghentian pembelian minyak goreng oleh peritel, bukan Aprindo," jelasnya.

Jika kita jeli melihat kasus ini, maka kita akan menemukan fakta bahwa ternyata dalam sistem kepitalisme, semua kebijakan ditentukan oleh para pemilik modal atau swasta. Posisi mereka amat strategis dalam membuat aturan sindiri karena keberadaan mereka dianggap mampu meningkatkan economic-scale dalam produksi hingga dengan adanya ritel-ritel yang menjual produk secara eceran kepada konsumen tentu membuat produsen mampu memproduksi secara massal produknya sehingga dapat memperkecil biaya produksi dari suatu produk. Jadi ancaman untuk tidak mengambil barang produksi minyak goreng ke produsen bisa saja dilakukan oleh mereka.

Sementara negara yang harusnya berkewajiban meriayah rakyatnya dalam penyediaan minyak goreng justru tidak mampu berbuat apa-apa. Padahal negara sebagai pihak berwenang punya potensi untuk mengatur sirkulasi distributor kebutuhan pokok ke publik. Ini jelas ada intervensi kepada pemerintah dan menjadi bukti nyata betapa besar dan berkuasanya para peritel (pengusaha) di negeri ini. 

Inilah realitas negara yang mengadopsi sistem sekuler kapitalisme. Keberadaannya hanya sebagai regulator untuk kepentingan pengusaha dan antek-anteknya, mudah disetir karena kebijakan dibuat di atas kesepakatan dan undang-undang pesanan. Tak heran semua kepentingan dan kebijakan yang ada tidak pernah memihak rakyat melainkan hanya kepada korporasi. Rakyat dipaksa berjuang sendiri sementara penguasa berlepas tangan tidak mau peduli.

Berbeda dengan sistem Islam, negara hadir sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara kehidupan rakyatnya terlebih menyangkut kebutuhan pokok. Dalam Islam, penguasa wajib menyediakan bahan pokok dan kebutuhan rakyatnya termasuk kebutuhan minyak goreng dengan harga murah bahkan gratis.

Islam memiliki mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa. Sebab, SDA masuk dalam harta kepemilikan umum di mana negara mengelolanya secara mandiri tanpa intervensi dari pihak manapun dan hasilnya dirasakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang berlindung di bawahnya. Begitupun dalam kebijakan politik ekonominya, negara tidak akan memberi ruang bagi pemilik modal atau para peritel untuk menguasai pasar dan membuat kebijakan yang bisa saja menyalahi ketentuan syariat. Negara memiliki hak penuh dalam mengatur distribusi kebutuhan pokok masyarakat. Sebab, dalam politik ekonomi Islam, semua bertolak dari pandangan yang mengarah ke bentuk masyarakat yang hendak diwujudkan, yakni memenuhi semua kebutuhan seluruh masyarakat baik kaya maupun miskin. Seluruh kebutuhan pokok individu harus dijamin pemenuhannya secara sempurna oleh negara.

Kedudukan penguasa dalam Islam adalah pelindung rakyat bukan sebagai pelayan pengusaha. Sebab, penguasa dalam sistem Islam sadar betul bahwa semua keputusan dan kebijakan yang dibuat kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Untuk itu, penguasa jelas akan berhati-hati dalam meriayah rakyatnya.

Inilah wajah sistem Islam dalam menjaga kestabilan kebutuhan pokok primer di tengah masyarakatnya. Wallahu a'lam bish-shawab.[Irw]


Posting Komentar

0 Komentar