Subscribe Us

MANTAN NAPI KORUPSI NYALEG

Oleh Yuniyati
(Kontributor Vivisualiterasi Media)

Vivisualiterasi.com-Baru-baru ini berseliweran kabar di media sosial tentang mantan terpidana kasus korupsi yang mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) di pemilu 2024 mendatang.

Tak tanggung-tanggung, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya ada 12 nama calon anggota legislatif yang notabene adalah mantan anggota terpidana kasus korupsi yang telah mendaftar dan akan maju untuk merebutkan kursi di pemilihan legislatif 2024 nanti.

Seperti yang dilansir oleh KOMPAS.com (25/8/2022), ICW menemukan 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi yang telah mendaftar dan akan ikut bersaing dalam pileg mendatang.

ICW menemukan 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) pemilu 2024. Mereka akan maju berkompetisi untuk mendapatkan kursi di DPD dan DPR RI. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan sangat menyayangkan ternyata mantan koruptor masih diberikan karpet merah oleh parpol, ICW juga menilai KPU RI terkesan menutupi keikutsertaan mereka (Kumparan.com, 26/8/2023)

Banyak warganet yang merespon kabar diperbolehkannya mantan terpidana kasus korupsi ikut mencalonkan diri menjadi anggota legislatif pada pemilu mendatang. Sebagian dari mereka mempertanyakan apa gunanya SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) sebagai syarat untuk mendaftar sebagai calon legislatif.

Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) enggan untuk membuat aturan terkait larangan mantan nara pidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di pemilu mendatang.

Sebenarnya masalah ini sudah pernah ramai di jelang pemilu 2019 lalu. Saat itu, KPU telah melarang mantan koruptor untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, namun ada pihak yang mengkritik larangan tersebut dengan dalih pelanggaran HAM.

Dalam Undang-undang HAM disebutkan bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Dalam Undang-undang HAM juga ada pengaturan tentang pembatasan dan larangan hak serta kebebasan bagi warga negara.

Akhirnya aturan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan dalih larangan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal ini seolah menunjukkan bahwa tidak ada lagi rakyat yang layak untuk mengemban amanah.

Tetapi inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem politik demokrasi. Legalitas penguasa dalam sistem ini dilihat dari suara mayoritas. Dan untuk mendapatkan suara mayoritas tentu diperlukan modal yang sangat besar.

Modal besar itu tentunya tidak semuanya berasal dari kantong pribadi, tetapi ada donatur dan juga sokongan dari sponsor. Sehingga habitat budaya korupsi menjadi semakin subur.

Sistem demokrasi lahir dari sistem sekulerisme kapitalisme yang melahirkan elit politik dan oligarki yang rakus. Jadi orang baik tanpa ada dukungan modal yang besar tidak akan bisa mendaftar menjadi calon legislatif.

Korupsi hanya bisa diminimalisir bahkan dihentikan jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, yaitu penerapan aturan Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.

Sistem Islam mengatur agar pejabat tidak melakukan kemaksiatan, termasuk korupsi.

Islam melarang para pegawai negara menerima harta selain gaji atau tunjangannya contohnya suap, tidak boleh menggunakan harta yang ada dalam tanggung jawabnya, dilarang memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk pribadi dan keluarganya.

Di dalam sistem Islam ada badan pengawasan atau pemeriksa. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang mengangkat pengawas yaitu Muhammad bin Maslamah, beliau bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan kekayaan para pejabat dihitung sebelum dan setelah menjabat. Jika tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka harta itu akan disita dan akan dimasukkan ke pos kepemilikan negara di Baitul Mal.

Para pejabat akan diberi gaji yang cukup sehingga bisa memenuhi kebutuhan, dan menyediakan biaya hidup terjangkau dan murah untuk kebutuhan dasar seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, sandang, pangan, papan dan kebutuhan publik, karena kebutuhan publik menjadi tanggung jawab negara secara mutlak. Alhasil para pejabat atau warga bisa terjamin kebutuhan hidupnya.

Negara menetapkan syarat takwa dan amanah sebagai ketentuan ketika mengangkat pejabat atau pegawai negara sebagai pengendali internal agar setiap individu tidak melakukan kemaksiatan dan dapat menunaikan amanah dengan benar.

Negara menerapkan sanksi ta'zir pada pelaku korupsi karena berkhianat kepada negara. Seperti sabda Rasulullah saw:

"Tidakkah diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR. Abu Dawud)

Sistem uqubat yang diterapkan akan membawa efek khas sebagai jawabir (penebus) dosa pelakunya kelak di akhirat, akan membawa efek jera bagi pelakunya dan sebagai pencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan yang sama.

Inilah solusi yang ditawarkan sistem Islam untuk mengatasi korupsi di negeri ini. Wallahu a’lam bish-shawab.[NFY]


Posting Komentar

0 Komentar