Subscribe Us

KISRUH PENGELOLAAN SDA, BUKA PELUANG KORUPSI

Oleh Rita Yusnita
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com- Sumber Daya Alam (SDA) suatu negeri merupakan satu hal penting yang dapat menunjang perekonomian negara tersebut. Tidak semua negara mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan beraneka ragam. Lain halnya dengan Indonesia yang dikenal sebagai penghasil berbagai jenis tambang seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, batu bara, emas, dan perak.

Dengan pengelolaan yang baik, sumber daya alam tersebut tentunya akan menghasilkan keuntungan yang kemudian bisa digunakan untuk berbagai kepentingan publik.

Sayangnya, ada sebagian dari oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya dalam hal pengeloaan sumber daya alam. Seperti dilansir CNNIndonesia.com pada Jum'at (11/08), mantan pejabat dirjen mineral dan batubara Kementerian ESDM yaitu Ridwan Djamaluddin (RJ) ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait tambang nikel ilegal. Selain RJ, ada juga beberapa tersangka lain yaitu HJ sebagai Sub Koordinator Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Kementerian ESDM, SM selaku Kepala Geologi Kementerian ESDM sekaligus mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM. Selain melibatkan oknum pejabat, kasus ini juga melibatkan tersangka lain yaitu seorang pengusaha asal Brebes Windu Aji Sutanto (WAS). Juga beberapa tersangka lain yaitu HW selaku General Manager PT Antam UPBN Konawe Utara, GAS selaku pelaksana lapangan PT LAM, AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Pratama, dan OS selaku Direktur PT LAM. Adapun tambang nikel tersebut berada di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. 

Kasus ini bermula ketika PT Aneka Tambang Tbk, selaku pemegang konsesi seluas 16.900 hektare di Blok Mandiodo, menandatangani kerja sama operasi (KSO) dengan PT Lawu Agung Mining dan Perusahaan Daerah Sulawesi Tenggara untuk menambang tujuh juta ton cadangan nikel pada 2021. Kemudian PT lawu Agung mengontrak 38 perusahaan untuk bekerja sama menggarap lahan PT Antam. Berasarkan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB), lahan yang boleh dikelola semestinya hanya 22 hektare. Kuota yang diberikan kecil karena ribuan hektare lainnya merupakan kawasan hutan, sehingga memerlukan izin pinjam kawasan hutan (IPPKH) untuk menggarapnya. Namun, perusahaan-perusahaan itu justru menggarap hingga 157 hektare lahan termasuk kawasan hutan. Kawasan yang dulunya terlihat hijau, sekarang menjadi gundul akibat aktivitas pertambangan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat melalui citra satelit yang terekam di Google Earth, dilansir bbcnews.com (Jum'at, 11 Agustus 2023).

Seharusnya berdasarkan perjanjian KSO, ore nikel hasil pertambangan itu semestinya diserahkan ke Antam. PT Lawu Agung seharusnya hanya menerima upah sebagai kontraktor saja, namun nyatanya hasil dari pertambangan di kawasan hutan itu ternyata dijual juga secara ilegal ke smelter-smelter di Morosi dan Morowali. Menurut Kejaksaan Agung, PT Lawu Agung memanfaatkan dokumen RKAB dari sejumlah perusahaan, salah satunya PT Kabaena Kromit Pratama, untuk membuat penjualan nikel terkesan legal. Hasil pertambangan yang semestinya menjadi pemasukan negara malah dinikmati oleh pihak-pihak dari PT Lawu Agung, PT Kabaena Kromit Pratama,dan juga pihak lainnya. 

Oleh karena itu, menurut Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, temuan penyidik sejauh ini menunjukkan adanya “persekongkolan” antara para pejabat dengan perusahaan dalam praktik pertambangan ilegal ini. “Kalau SOP-nya diikuti, perusahaan seperti PT Kabaena seharusnya tidak bisa mendapatkan RKAB karena deposit tambangnya sudah habis. Jadi ini SOP-nya ditabrak semua, tidak mungkin mereka tidak tau, sampai terjadi pencurian terus-terusan,” kata Boyamin. 

Tindakan ilegal yang dilakukan oleh beberapa pihak tadi dikarenakan tambang nikel ini sangat menjanjikan. Melansir laporan tahunan PT Antam 2022 yang dirilis pada Mei 2023 lalu, total cadangan nikel di Konawe Utara mencapai 47,75 juta ton. Sementara khusus di Blok Mandiodo 2,58 juta ton. 

Keuntungan yang berlipat menjadi sebab maraknya penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Hal ini sangat mungkin terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Di mana dalam sistem ini kerap terjadi ekonomi transaksional. Para pengusaha dan penguasa jahat “kongkalikong” mengeruk keuntungan dari hasil sumber daya alam. Dalam mekanisme seperti ini jelas pengusaha yang diuntungkan. Sistem hilirasi yang digadang-gadang oleh Juru bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antom Arif akan memberi nilai nyata keuntungan dan manfaat bagi rakyat, faktanya tak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. 

Maraknya tambang ilegal, khususnya sumber daya alam nikel ini disebabkan juga oleh lemahnya penegakan hukum ditambah “bekingan” aparat dan oknum pejabat. Kementerian ESDM pernah merilis data bahwa terdapat lebih dari 2.700 titik penambangan ilegal di seluruh Indonesia. Penegakan hukum pun seringkali hanya fokus pada pemain di lapangan saja, padahal pihak yang terlibat bisa sampai pada level pembuat kebijakan seperti yang terjadi pada kasus di Blok Mandiodo. 

Selain menyebabkan kerugian materi, penambangan nikel secara ilegal juga berdampak buruk pada lingkungan. Warga sekitar mengeluhkan tercemarnya air laut di sekitar wilayah operasi tambang, sehingga hasil tangkapan laut menjadi minim. Belum lagi pasokan air bersih yang tercemar sehingga mengganggu kesehatan warga. Berbagai keluhan tadi sering disampaikan warga pada pemerintah maupun aparat penegak hukum namun nyaris tak pernah direspon, dilansir bbcnews.com, (11/08/2023). 

Begitulah kondisi yang terjadi jika pemerintahan masih mengadopsi hukum buatan manusia. Peraturan dan hukum yang dibuat demi kepentingan segelintir orang saja. Begitu pun dengan para pemangku kebijakan yang seolah tutup mata dan telinga terhadap keluhan dan kesusahan masyarakat yang dipimpinnya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan sistem Islam. 

Islam memiliki aturan bahwa kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum, yang artinya hanya boleh dikelola oleh negara saja. Hasilnya diserahkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Oleh karena itu, haram hukumnya jika menyerahkan pengelolaannya kepada individu, swasta, apalagi asing. Pedoman pengelolaan ini merujuk pada sabda Rasulullah saw,

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api,” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Jadi menurut aturan Islam, tambang nikel yang jumlahnya sangat besar itu adalah terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam hadits di atas. Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal dan Karim (1999:72-73), mengatakan, ”Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Jadi, sebagai konsekuensi dari keimanan mereka terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, maka setiap Muslim termasuk juga para penguasa wajib terikat dan patuh pada seluruh aturan Islam tanpa kecuali. Karena seluruh persoalan kehidupan termasuk pengeloaan SDA harus dikembalikan pada aturan yang shahih yaitu merujuk pada al-Qur’an dan hadits. 

Begitupun dengan tindakan pada para pelaku kecurangan (korupsi), Islam mempunyai aturan yang sangat efektif baik dari segi pencegahan (preventif) maupun segi penindakan (kuratif). Dari segi pencegahan (preventif), rekrutmen sumber daya manusia (SDM) sebagai aparat, negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas bukan berasaskan egoisme yang nantinya berujung pada tindakan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Negara juga wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak, sebagaimana Abu Ubaidah pernah berkata pada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.” Juga pentingnya keteladanan dari seorang pemimpin, sehingga umat dan masyarakat dapat mencontoh perilaku yang baik dari pemimpinnya. 

Dari segi tindakan pun, Islam akan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap para pelaku. Hukuman yang diberikan tentunya akan adil dan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Hukuman bagi para pelaku korupsi adalah ta’zir. Hukuman ta’zir bisa lebih berat sesuai dengan pertimbangan hukum, bahkan bisa mengarah pada hukuman mati. Hukuman yang sesuai bagi pelaku karena termasuk kepada pelanggaran dalam memakan harta sesama dengan jalan bathil. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya,

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan batil, dan ( janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Demikianlah sistem Islam mengatur dan menetapkan negara sebagai pengatur urusan rakyat dan berkewajiban menyejahterakan rakyatnya individu per individu. Wallahua'lam Bish-shawab.(Dft)


Posting Komentar

0 Komentar