Subscribe Us

IMPOR, HANYA JERATAN KAPITALISME

Oleh Putri Cahaya Illahi
(Aktivis Dakwah)

Vivisualiterasi.com-
Indonesia tak pernah lepas dari jeratan barang-barang impor, apalagi momen hari raya. Tentunya besarnya impor akan meningkat. Demi mengamankan pasokan menjelang lebaran, pemerintah mencanangkan mengimpor daging sapi dan kerbau sebesar 200 ribu ton. Tak hanya itu, pemerintah juga mengimpor gula kristal putih sebanyak 991 ribu ton. Namun Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan enggan memberikan penjelasan terkait progres perizinan dan proses impor beras dan daging kerbau. (republika.com, 02/04/2023)

Gula merupakan komoditas pangan yang strategis. Keberadaannya harus ditunjang dari luar negeri, mengingat produksi dalam negeri belum mampu menutupi kebutuhan nasional, jelas kepala Bapenas Arief Prasetyo Adi. Berdasarkan pragnosa neraca pangan nasional Januari-Desember 2023 produksi gula dalam negeri hanya 2,6 juta ton sementara kebutuhan nasional sekitar 3,4 juta ton. Untuk memenuhi itu pemerintah akan melakukan impor gula secara bertahap, pada Maret-Mei ditargetkan masuk sekitar 99.000 ton gula. (katadata.com, 25/03/2023)

Negara yang katanya agraris, ternyata menandatangani kontrak dengan empat negara demi memenuhi kebutuhan bantuan bahan pangan 500.000 ton. Pemerintah menilai serapan beras dari petani dalam negeri belum cukup. Impor tersebut merupakan tahap pertama dari total penugasan Bapenas sebesar 2 juta ton hingga Desember 2023. (kata data.com, 12/04/2023)

Negara Agraris Tapi Masih Impor

Sepertinya negara ini menjadikan impor sebagai satu-satunya jalan ketika terjadi kekurangan bahan pokok dalam negeri tanpa pertimbangan yang matang. Padahal Indonesia ialah negara agraris yang banyak memiliki lahan pertanian dengan mata pencarian petani, akan tetapi malah membuka pintu impor bagi negara lain. Secara tak sadar, tindakan ini akan mematikan perekonomian petani dalam negeri karena harus bersaing dengan pasar bebas. Selain itu, perilaku ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang bergantung terhadap negara lain. Sekaligus melemahkan kemandirian dan kedaulatan negara mengurus dirinya sendiri yang berpeluang menguatnya penjajahan ekonomi.

Dalam perekonomian yang dinahkodai oleh kapitalisme menjadikan aktivitas impor sebagai jalan pintas mendapatkan keuntungan. Sebagaimana asas berjalannya roda perekonomian kapitalisme yakni keuntungan, sekalipun harus mengorbankan rakyat. Terlebih lagi beras impor diklaim murah bila dibandingkan dengan beras lokal. Laporan bank dunia menyatakan bahwa harga beras di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di kawasan asia tenggara. Bahkan dua kali lipat dari harga beras yang ada di Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. 

Alasan harus impor adalah demi bantuan sosial dan menjaga bahan pokok agar stabil. Tetapi pada kenyataanya, semua itu hanya lip service semata untuk mengumpulkan keuntungan. Seharusnya dengan adanya pertanian, maka akan memberikan peluang besar bagi masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan. Bukan malah menjadi tumbal demi kepentingan segelintir orang. 

Impor dalam Aturan Islam

Sebenarnya persoalan ini sudah dibahas tuntas oleh sistem perekonomian Islam dalam tatanan negara dalam balutan Daulah Khilafah. Khilafah akan menjadikan Islam sebagai pedoman roda kehidupan baik dari perihal masuk WC sampai pengaturan negara dibahas secara detail. Negara dengan kepemimpinan berlandaskan syariat Islam tidak akan menjadikan impor sebagai satu-satunya cara untuk mewujudkan tersedianya berbagai bahan pokok negeri. Khilafah akan digenjot untuk menghasilkan sendiri bahan pokok untuk negeri dengan memfasilitasi para petani dengan teknologi mutakhir, bibit unggul, serta melakukan berbagai penelitian untuk peningkatan hasil mutu pertanian. Bagi penduduk kurang mampu yang berada dalam wilayah negara Islam yang ingin menggarap lahan pertanian akan diberikan pinjaman dari Baitul Mal. Hal ini dilakukan agar penduduk yang ingin mengelola lahan pertanian tidak terjerat riba. Sedangkan negara boleh saja mengekspor hasil pertanian ke luar negeri dengan skema harga diserahkan kepada penjual dan pembeli. Tetapi kegiatan impor berada dalam pengawasan negara. 

Selain itu negara akan menarik kembali tanah yang telah ditinggalkan atau tidak dikelola selama tiga tahun oleh pemiliknya dengan cara menghidupkannya kembali. Salah satu cara menghidupakannya yakni dengan menjadikan sebagai lahan pertanian untuk menunjang bahan pokok dalam negeri. Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. (HR. Bukhari)

Demikianlah negara Islam mengatur hubungan perdagangan dengan negara lain. Bukan untuk meraup keuntungan semata melainkan menjamin kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya kebutuhan pokok dalam negeri tanpa harus bergantung kepada negara lain. Negara Islam akan menjalankan kekuasaan secara mandiri tanpa harus bergantung kepada negara lain yang beresiko pada penjajahan ekonomi. Wallahua'lam. [Mly]

Posting Komentar

0 Komentar