Vivisualiterasi.com-Sebagai mahasiswa, kita pasti sudah kenyang membaca isi berbagai jurnal, prosiding, ataupun buku di perpustakaan. Manfaat membaca dari berbagai sumber itu banyak. Kita bisa mendapat ilmu dan terbantu dalam mengerjakan tugas dari dosen. Bisa juga sebagai salah satu data pendukung dalam melakukan penelitian atau riset. Berbicara soal riset, sedih rasanya. Ketika ide yang sudah diperjuangkan siang malam, ternyata hanya berakhir di lembaran demi lembaran kertas draft.
Kalau kita berpikir lebih jauh, penelitian yang ada saat ini sebenarnya sedang “macet di tengah jalan”. Karena tidak ada tindak lanjut dari penelitian yang sudah dilakukan. Hal ini seperti yang disampailkan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko saat menghadiri kuliah umum “Ketahanan Pangan dan Energi Untuk Indonesia Maju” di Gedung Auditorium Universitas Jember, Jum'at (24/3/2023). Beliau menyampaikan kritik terhadap hasil penelitian mahasiswa yang sering kali hanya berakhir di laci kampus. Meskipun begitu, tidak dimungkiri bahwa salah satu penyebab belum teraplikasikannya riset mahasiswa adalah tidak adanya kerjasama antara kampus dengan industri. Sehingga, ke depan Moeldoko berharap antara kampus dan industri memiliki kerjasama dalam melakukan pengembangan penelitian yang dilakukan mahasiswa. (republika.com, 25/03/2023)
Di laman lain, Moeldoko mendorong agar perguruan tinggi terus melakukan riset di bidang ketahanan pangan dan energi serta membantu dalam melakukan sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. (liputan6.com, 25/03/2023).
Pernyataan Moeldoko tersebut bagaikan “lempar batu sembunyi tangan”. Bagaimana tidak? Dalam menangani dunia riset pendidikan, hal ini sudah seharusnya penguasa sendiri yang menanganinya. Bukan malah mengalihkannya kepada swasta. Di titik ini kita seharusnya bertanya mengapa harus melimpahkan masalah ini kepada swasta? Apakah negara tidak punya cukup uang untuk membiayai riset anak bangsanya sendiri? Apakah uang negara lebih pantas dinikmati oleh kalangan tikus berdasi yang menghambur-hamburkan uang rakyat?
Belum lagi proyek food estate yang digembor-gemborkan mampu untuk menjaga ketahanan pangan di negeri ini nyatanya tak berjalan dengan baik. Seperti program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digadang dapat mengelola 1,23 juta Ha tanah. Saat ini hanya mampu bertahan 400 Ha saja. Penyebabnya adalah transmigran yang menjadi tenaga kerja di sana hanya dianggap sebagai penopang ekspansi agribisnis. Hidup mereka tak kunjung membaik, hak tanah tidak mendapatkan kejelasan, dan kehidupan mereka berada pada daerah rawan pangan. Tak berhenti sampai disitu, kebijakan penguasa terkait kenaikan tarif BBM, listrik, dan lain sebagainya tentunya menambah masalah hidup para pekerja. Pada dasarnya penguasa sudah memahami jika inflasi pangan dan energi ini bisa menjadi jurang resesi sekaligus pengguncang ekonomi keluarga.
Membicarakan soal riset dan perguruan tinggi di era sekarang, kita tentunya tidak bisa melepaskannya dari konsep penta-helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat/komunitas, serta media yang bergerak bersama untuk mewujudkan inovasi dalam ilmu pengetahuan. Konsep ini sangat rawan untuk dikapitalisasi menjadi produk ataupun jasa yang menghasilkan keuntungan. Hal ini terbukti dari tujuan dari konsep itu sendiri. Penta-helix diklaim mampu menguatkan ketahanan ekonomi masyarakat karena mampu membentuk sebuah kelompok kemitraan dalam proses pengembangan potensi dalam suatu wilayah.
Selain itu, konsep ini juga dapat mewujudkan mimpi sustainable development goals (SDGs) yang mampu mempercepat pembangunan ekonomi. Padahal pihak industri tidak akan mungkin memberikan “makan siang gratis” kepada siapapun yang menjadi koleganya. Sehingga, hanya kaca mata untung rugi saja yang akan membayang-bayangi jalannya riset para peneliti. Lebih mirisnya, riset yang didorong untuk dilakukannya hirilisasi ini belum tentu berhubungan dengan kebutuhan rakyat. Seringkali hanya sesuai dengan pesanan industri yang diharapkan mampu menghasilkan banyak keuntungan. Pemerintah hanya sebagai tangan panjang dari industri dengan para peneliti dan perguruan tinggi.
Pada akhirnya, yang menentukan standar dari industri dan kemajuan riset serta teknologi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Oleh karena itu, konsep penta-helix ini tentu tidak mampu membawa kemaslahatan bagi rakyat ataupun negara. Melainkan makin berkiblat pada kepentingan pasar dan para kapitalis.
Tak hanya masalah penta-helix, namun problem riset di Indonesia ini juga terjegal oleh faktor lain yaitu adanya ketergantungan impor berbagai bahan kimia dan peralatan untuk keperluan riset, khususnya riset dalam bidang sains. Hal ini secara tidak langsung akan membuat riset Indonesia berada di barisan belakang. Bahan kimia yang tidak bisa dibeli dengan harga yang murah dan terbatasnya jumlah peralatan riset, akan menjadi penghalang bagi berkembangnya riset di negeri ini.
Membiarkan kehidupan terus berada dalam dalam kendali para kapitalis tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyat tak terkecuali para mahasiswa dan peneliti. Padahal tujuan riset sebenarnya adalah untuk memberikan problem solver terhadap berbagai masalah umat. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi paripurna untuk mengatasi masalah ini. Solusi tersebut hanya ada pada sistem Islam. Terdapat tiga hal dalam sistem politik Islam yang mampu mewujudkan riset yang berdaulat.
Pertama, visi dan misi riset harus berlandaskan pada akidah Islam. Visinya adalah mewujudkan riset yang mandiri, berdaulat, dan menyejahterakan. Kemudian, misinya berupa rancangan riset yang didedikasikan untuk kemaslahatan umat.
Kedua, menciptakan ekosistem riset yang sehat. Dalam memenuhi konsep kedua ini, negara akan memberikan fasilitas mulai dari pendanaan, infrastruktur, peningkatan SDM, hingga ikut terjun langsung dalam penentuan riset yang dapat menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Dengan adanya ekosistem seperti ini, maka peneliti akan fokus menuangkan ilmunya sebagai bentuk pengabdian mereka pada umat.
Sebagaimana pada masa kejayaan Islam telah banyak ilmuwan baik muslim maupun muslimah yang mana risetnya bermanfaat hingga sekarang. Seperti Maryam Al-Asturlabi yang menciptakan astorlabe sebagai cikal bakal GPS. Al-Khawarizmi yang menciptakan angka nol, Al Jazari yang menciptakan jam air dan lain sebagainya.
Ketiga, perlu diterapkan sistem politik Islam secara kafah (keseluruhan). Dengan adanya penerapan Islam secara kafah, maka sistem kehidupan seperti pendidikan akan mampu menjamin tercetaknya periset yang mumpuni.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa hanya Islam yang mampu memecahkan setiap problematika umat dari bangun tidur sampai bangun negara. Aturan meludah saja aturannya, apalagi aturan untuk kebutuhan manusia, tentunya ada panduannya. So, sudah saatnya para penguasa segera menengok solusi Islam dalam menghadapi setiap masalah rakyatnya. Jika Islam diterapkan secara sempurna, maka bukan hanya mendapatkan kesejahteraan negara namun juga rida dari Zat Yang Maha SegalaNya. Wallahua’lam.[AR]


0 Komentar