Subscribe Us

RIBUAN ANAK MENGIDAP DIABETES MELITUS, AKANKAH MASA DEPAN GENERASI TERGERUS?

Oleh Uqie Nai
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Vivisualiterasi.com
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan ada 1.645 anak mengidap diabetes melitus tipe satu dan kebanyakan berusia 10-14 tahun. Menurut Ketua Unit Kerja Endokrinologi IDAI, Muhammad Faizi, kasus diabetes melitus tipe satu mengalami peningkatan 70 kali lipat sejak 2010-2023 dan kemungkinan jumlah riilnya lebih besar lagi. Penyebabnya, menurut Ketua Umum IDAI, Piprim Basarah Yanuarso dikarenakan pola makan yang mengandung karbohidrat tinggi, gula, dan minyak. Juga dikarenakan gaya hidup lain seperti penggunaan gadget yang membuat anak tidak mau gerak dan olah raga, hingga kurang tidur. 

Piprim menyebut pola makan ini menjadi cikal bakal diabetes di seluruh dunia. Beliau menyarankan agar anak-anak mengonsumsi protein hewani dan sayuran hijau yang mempunyai efek mengenyangkan lebih lama.Anak-anak yang diberi junk food semacam ini, gula darahnya cepat naik kemudian turun drastis. Mereka akan lapar lagi dan mengonsumsi makanan yang sama sehingga insulinnya akan diproduksi terus-meneru.(voaindonesia.com,01/02/2023)

Butuh Keseriusan Negara Mewujudkan Keamanan Pangan

Jika penyebab diabetes melitus pada anak karena efek konsumsi makanan tidak sehat, maka butuh solusi sistemis yang dilakukan negara. Pertama, negara harus melakukan pemeriksaan massal kepada anak dan remaja untuk menemukan kasusnya. Dengan pemeriksaan awal, pencegahannya tidak terlalu berat. Masyarakat juga harus diberi edukasi tentang pencegahan ini sehingga tidak meremehkan gejalanya atau menganggap bahwa diabetes melitus penyakit biasa. Karena anggapan ini, banyak anak dibawa ke rumah sakit saat kondisi sudah parah. 

Kedua, negara harus melakukan pengawasan pangan dan mengontrol distribusinya ke tengah masyarakat, atau membuat aturan khusus untuk para produsen. Negara bisa mengerahkan jajaran dan instansi terkait untuk memilih dan memilah produk yang layak (sehat) dikonsumsi, mana yang tidak. Sebelumnya, negara sudah memastikan bahwa produsen makanan telah memahami aturan produksi yang halal dan thoyyib

Ketiga, ketersediaan bahan baku yang murah dan berkualitas. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisir kecurangan yang dilakukan produsen dan pedagang.

Keempat, pemberlakuan sanksi. Negara harus memberikan sanksi tegas bagi pelaku yang menyalahi aturan produksi dan distribusinya. Apalagi sampai menyebabkan bahaya fisik dan psikis konsumen.

Namun sayang, solusi yang diharapkan tersebut masih belum dan sulit terwujud karena kapitalis sekuler yang menjadi landasan negara. Selain menyebabkan hilangnya fungsi raa’in dan junnah, aturan kapitalistik telah merampas berbagai hak publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan di bawah pengelolaan kapital (pengusaha). Negara dan instansi kesehatan atau keamanan seakan mencukupkan diri dengan imbauan, tanpa diiringi solusi riil berupa pelayanan dan pengawasan. Masyarakat bukan tak ingin memeriksakan diri ke klinik kesehatan, tetapi karena birokrasi dan biaya mahal serta pelayanan tidak optimal membuat mereka abai terhadap kesehatannya sendiri. Ketika keluhan cukup berat, barulah mereka membawanya ke rumah sakit meski kadang terlambat. Jadi wajar ketika muncul slogan ‘orang miskin dilarang sakit’ karena beratnya biaya yang harus dikeluarkan. 

Terkait makanan yang dikonsumsi, negara di alam kapitalis sekuler tak memiliki standar baku seperti halal-haram atau baik-buruk yang benar-benar menenteramkan masyarakat. 

Ketika banyak anak mengidap diabetes melitus pada intinya adalah kesalahan negara. Negara dianggap telah gagal memberikan keamanan pangan dan memberi kemudahan pengobatan. Karena hak primer rakyat tak terpenuhi oleh negara, masyarakat berupaya bertahan hidup dengan berbagai cara. Baik konsumen atau produsen (pedagang), terutama mereka dengan taraf ekonomi pas-pasan akan memanfaatkan bahan makanan yang murah dengan kualitas rendah. Termasuk jajanan yang dikonsumsi anak-anak. 

Begitu pula dengan sanksi yang diterapkan negara terhadap pelaku kecurangan belum berefek jera. Sebatas mencabut izin usaha atau produksi. Mirisnya, sanksi ini tak berlaku bagi pengusaha/produsen besar karena diduga pemasukan pajak kepada negara relatif tinggi. Sebut saja pabrik rokok dan minuman beralkohol. Jika hal ini terus dibiarkan, yang menjadi korban adalah generasi muda dan masa depan bangsa. Kondisi fisik yang lemah dan sakit-sakitan, akan melemahkan potensi generasi untuk kemajuan bangsa hingga memungkinkan terjadinya lose generation. Mengingat penyakit diabetes ini sulit disembuhkan secara medis.

Islam Solusi Sistemis yang Menyejahterakan

Menjaga kesehatan tubuh dengan mengonsumsi makanan dan minuman halal dan thoyyib merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Halal dalam pemahaman ahli fikih adalah dari segi zat dan prosesnya. Disebut thoyyib jika tersebut aman, baik, dan tidak menimbulkan masalah apapun jika dikonsumsi (baik jangka pendek maupun panjang) dan memberi manfaat bagi tubuh. Sebagaimana firman Allah Swt.: 

“Wahai manusia! Makanlah oleh kalian dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi…”(QS. Al-Baqarah [2]: 168)

Karena seorang muslim hanya boleh mengonsumsi makanan halal dan baik, maka harus dihindari makanan yang haram. Dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah telah disebutkan beberapa contoh makanan yang haram dikonsumsi seperti hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah Swt. (kecuali bangkai ikan dan belalang), khamr, babi, binatang buas bertaring, binatang pemakan kotoran, dan darah. 

Pemahaman kaum muslim ini akan didukung oleh negara dengan tanggung jawabnya sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (penjaga). Yaitu mewujudkan maqashid syariah di tengah umat berupa penjagaan agama, akal, jiwa, harta, dan kedaulatan negara dari apapun yang membahayakan. Bentuk riilnya, negara akan memberikan hak primer kepada rakyat per individu, memberikan pelayanan gratis kesehatan, dan pendidikan. Termasuk memberlakukan sanksi tegas bagi siapa saja yang merampas hak umat berupa kecurangan yang berakibat pada madarat (sakit). Sanksi ini adalah takzir yang kewenangannya berada di tangan qadhi (hakim).  

Dengan demikian, masyarakat yang hidup dalam naungan Islam akan merasakan aman dan nyaman tanpa dipusingkan dengan masalah pangan atau pengobatan serta keamanannya. Kaum muslim akan fokus pada aktivitas yang bernilai pahala dan menunjang kemajuan Islam dengan karya dan buah pemikirannya. 

Rasulullah saw. telah bersabda: 

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, lahirnya generasi Islam yang sehat, kuat, dan cemerlang adalah sebuah keniscayaan sebagaimana sosok fenomenal yang lahir di era peradaban Islam sebelumnya. Seperti Mush'ab bin Umair, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, ulama empat mazhab, Shalahuddin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, dan yang lainnya. Wallahu a'lam. [Mly]

Posting Komentar

0 Komentar