Subscribe Us

KEKERASAN DI PESANTREN, AMARAH BERUJUNG PETAKA

Oleh Asma Sulistiawati 
(Pegiat Literasi)


Vivisualiterasi.com- Berderet kejadian memalukan sekaligus menyedihkan menerpa pondok pesantren kita. Mulai dari kasus pelecehan seksual, homoseksual, hingga bullying yang berujung maut. Na’asnya, hal ini tidak hanya terjadi di pondok pesantren pinggir kota, bahkan yang berkelas nasional pun tak luput dari terpaan kasus memalukan ini.

Program pondok pesantren ramah anak adalah program yang diluncurkan pada 2018 dengan melibatkan beberapa kementerian terkait. Di antaranya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), Kementerian Agama (Kemenag), dan UNICEF.

Tujuan diadakannya program ini adalah untuk memberikan sumbangsih nyata dalam proses penetapan nilai-nilai Islam dengan lebih nyata dalam suatu sistem penyelenggaraan pendidikan pesantren, menciptakan pesantren yang melindungi, dan menyenangkan bagi anak dalam suasana nilai (akhlak karimah). Serta terciptanya lingkungan pembelajaran yang ramah antara anak (santri) dan pendidiknya (Ustaz). (inlis.kemenpppa.go.id)

Tercetusnya ide program pondok pesantren ramah anak ini diawali dari maraknya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan pada anak di pondok pesantren. Diharapkan dengan diluncurkannya program ini, maka hak-hak anak akan lebih terlindungi dan anak bisa belajar dengan lebih baik. Namun apa daya, jauh panggang dari pada api. Praktik serta hasilnya ternyata jauh dari idealisme yang digadang-gadang. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Akar Masalah Kekerasan Pada Anak

Berbagai kasus kekerasan dan pelecehan pada anak terjadi disebabkan karena mewabahnya virus sekularisme yang telah menjangkiti berbagai lapisan masyarakat di seluruh pelosok dunia. Sebagaimana sudah kita ketahui, bahwa sekularisme memandang bahwa dunia dan agama adalah dua hal berbeda yang harus dipisahkan. Apapun aktivitas dunianya, maka agama tidak boleh dilibatkan.

Ini adalah paradigma berpikir sekularisme. Paradigma ini kemudian berkembang menjadi pandangan hidup. Kalau sudah menjadi pandangan hidup maka siapapun dia, tua, muda, kaya, miskin, anak-anak, orang dewasa, semuanya akan menjalani hidup dengan gaya sekuler apapun agamanya.


Orang tua yang sekuler, akan melihat anaknya sebagai aset dunia. Anak akan dituntut agar bisa menjadi ‘orang’ nantinya, dengan cara hidup sukses dan mapan.
Anak yang sekuler, akan melihat hidupnya sebagai road map menuju kekayaan dan kesuksesan masa depan berbasis materi. Masyarakat yang sekuler, tidak peduli apapun aktivitasnya yang penting tidak mengganggu kepentingan umum. Semuanya sepakat, untuk tidak memperhatikan bagaimana akidah individu yang ada. Karena menurut mereka, itu urusan masing-masing.

Individu-individu yang ada pun menganggap bahwa agama itu cukuplah beribadah secara pribadi, menjaga hubungan dengan Tuhannya melalui ibadah. Jika kita melihat melalui kacamata Islam, maka kasus kekerasan dan pelecehan pada anak ini merupakan akibat ditinggalkannya Islam sebagai akidah dan pandangan hidup (ideologi).

Kasus-kasus ini bisa terjadi ketika pelakunya adalah orang-orang yang tidak takut dengan ancaman Allah Swt. Mereka tidak takut ketika Allah mengancam para pelaku liwath atau homoseks. Mereka juga tidak takut ketika Allah murka dengan perzinaan. Dan mereka juga tidak takut ketika Allah mengancam qishosh bagi mereka yang sengaja menghilangkan nyawa orang. Kasus-kasus ini juga bisa terjadi karena adanya pengaruh teknologi global yang memungkinkan untuk bisa mengakses situs-situs porno, ditambah adanya pergaulan yang minim aturan syari’at.
Ditambah pula dengan mandulnya kurikulum pendidikan yang tidak berbasis akidah. Walhasil, yang tercetak adalah orang yang pintar secara akademis akan tetapi akhlaknya terbelakang.

Inilah dampak sekularisme ketika dibiarkan. Dia akan merusak keimanan dan membuat manusia hidup layaknya binatang, na’udzubillaah min dzalik.

Pondok Pesantren Ramah Anak Dengan Islam

Ruju’ ilal haq, kembali kepada yang benar, Islam. Inilah satu-satunya solusi pamungkas agar pondok pesantren benar-benar ramah anak. Kenapa solusi ini harus ditempuh?
Pertama, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Di dalam Islam, pendidikan adalah basis pembentukan dan pengkaderan para generasi. Artinya melalui pendidikan, Islam tidak hanya mencetak orang yang berilmu atau cendekiawan. Akan tetapi juga mencetak orang yang faqih fiddiin. 

Kedua, orang yang menempuh pendidikan adalah orang yang mulia di mata Allah. Allah bahkan berjanji akan mengangkat derajatnya dan mengganjarnya dengan surga. 
Ketiga, kurikulum pendidikan disusun sedemikian rupa, berjenjang, dan tetap menjadikan akidah sebagai landasan dalam penyelenggaraan proses pendidikan. 

Keempat, semua pihak dilibatkan untuk menciptakan iklim pembelajaran yang optimal dan maksimal. Mulai dari anak didik, orang tua, guru, struktur organisasi sekolah, bahkan pemerintah. Semuanya wajib bergerak dengan tetap menjadikan Al Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum dan landasan berpikir. 

Kelima, pemerintah juga menyiapkan diri dengan menyusun seperangkat aturan dan sanksi bagi pelanggar hukum. Tidak ada istilah tebang pilih. Sistem peradilan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan syariat.

Poin-poin di atas tidak bisa dilaksanakan selama pemerintahan yang ada masih menjadikan sekularisme sebagai soko gurunya. Hanya bisa terlaksana jika pemerintah menjadikan Al Qur’an dan sunnah sebagai dasar hukum, landasan hukum, patokan dalam membuat kebijakan-kebijakan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika institusi pemerintahan yang ada adalah institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam. [Ng]

Posting Komentar

0 Komentar