Subscribe Us

SEKULARISME BIANG KEJAHATAN KERAH PUTIH

Oleh Kiki Zaskia, S. Pd 
(Pemerhati Kebijakan Publik) 


Vivisualiterasi.com- Remisi artinya pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pengertian remisi bagi narapidana secara umum yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. 

Sementara remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri yang apabila napi koruptor telah dapat memenuhi syarat-syarat tertentu maka dapat memperoleh remisi alias pengurangan masa tahanan sebagai narapidana korupsi. Aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Dalam Pasal 1 aturan tersebut pun dijelaskan pengertian remisi sebagai berikut, "Remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana diberikan kepada narapidana dan anak yang memenuhi syarat, ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.” 

Sepanjang September 2022, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM telah memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana koruptor. Napi korupsi bebas dari penjara pada hari yang sama, Selasa (6/9/2022). Beberapa di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri. (beritasatu.com, 11/09/22) 

Kepala Bagian Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkum HAM RI Rika Aprianti menjelaskan bahwa pemberian pembebasan bersyarat (PB) ini berdasarkan pasal 10 UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan. Napi koruptor yang mendapatkan PB telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali. Ini meliputi remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 

KPK pun mengkritik perihal ramai-ramai pemberian PB kepada para napi koruptor ini. KPK menyebut, sejatinya korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang harus ditangani dengan cara ekstra. Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) tak habis pikir dengan 23 koruptor mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu makin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa. (detiknews.com, 07/09/22) 

KPK dengan kewenangannya akhirnya mendesak adanya kebijakan yang berefek jera, baik melalui pidana pokok penjara badan maupun tambahan. Seperti pencabutan hak politik ataupun merampas aset koruptor untuk memulihkan kerugian negara. 

Tindakan korupsi kini seolah menjadi rahasia umum, meskipun disetiap instansi pemerintahan dengan label zona integritas atau area bebas gratifikasi hingga antirasuah sudah disosialisasikan. Sayangnya, praktik korupsi dari hulu ke hilir sudah membudaya. Misalnya, praktik suap merajalela dalam pelayanan publik yang menjadi langkah awal bibit koruptor. 

Tak dipungkiri, dikalangan masyarakat seringkali kesulitan dalam pengurusan pelayanan publik jika belum ada dana pelicin untuk melancarkan proses pelayanan. Bahkan dalam pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) tak jarang masyarakat harus merogoh kocek supaya segera dituntaskan. Hal demikian dimanfaatkan aparat instansi tertentu. Seolah tak ada pilihan lain. Pada akhirnya aktifitas suap-menyuap dalam pelayanan publik menjadi hal yang lumrah. Padahal jika masyarakat tidak terjebak dengan kondisi pelik ini, maka mampu memuhasabahi kebijakan-kebijakan yang keliru dalam pelayanan publik bahkan melawan arus budaya suap. Kelalaian, baik dari pemerintah maupun kepasrahan dari masyarakat dengan kondisi saling mengeksploitasi kepentingan satu-sama lain tak terlepas dari ide-ide kufur yang menyebabkan kepribadian zalim terbentuk yaitu, sekularisme. 

Dalam kehidupan sekularisme, jabatan adalah suatu kesempatan untuk mendapatkan hak jabatan sesuai dengan kepentingan bahkan kepuasan pribadi sehingga jika dalam menjalankan amanah kepentingan pribadi belum terpenuhi maka boleh mengutak-atik kewajiban tata pelayanan pada masyarakat dengan sesuka hati. Meskipun dengan pola materi. 

Di sisi lain hanya sebatas pertanggungjawaban moral. Yakni sebatas tataran etis dan nonetis bukan pada halal-haram. Padahal, Rasulullah saw., bersabda:

“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud) 

Kini, sanksi pelaku tipikor hanya sebatas formalitas saja sebab di negeri ini kejahatan korupsi tak menjadi kejahatan luar biasa yang merugikan negara. Buktinya, remisi dilancarkan dengan dalih memenuhi prasyarat hukum. Hingga, dalam perhelatan pemilihan legislatif masih ada mantan napi koruptor yang diberi kesempatan mengemban amanah. 

Sebaliknya dalam Islam, jabatan merupakan ladang amal yang luar biasa disisi Allah Swt. Sebab dengan titipan amanah/jabatan yang diberikan menjadi kesempatan untuk berkhidmat pada Allah Swt. yakni menegakkan aturan serta menjadi sebaik-baik manusia yang diridai-Nya bermanfaat bagi manusia lainnya. 

Sejatinya, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Pertanggung jawabannya pun bukan hanya di hadapan manusia namun dihadapan Allah Swt. Dalam Islam, pencegahan korupsi dilakukan secara sistemis dan ideologis. Pertama, mengutamakan ketakwaan dan kezuhudan pejabat atau pegawai negara, selain syarat profesionalitas. Sebab amanah yang diemban semata-mata sarana untuk 'izzul islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan komunalnya. 

Kedua, politik riayah. Dengan ini, rakyat akan terurusi kebutuhan hidupnya, termasuk para pejabat atau pegawai negara sehingga menjamin loyalitas dalam mengurusi umat. Pemerintah menggaji dengan upah yang layak. 

Ketiga, pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah, dan tidak berbiaya tinggi. Dengan begitu mampu menekan korupsi, suap, dan lainnya. Pemerintah Islam juga akan membentuk badan pemeriksa keuangan untuk mengetahui apakah pejabat melakukan kecurangan atau tidak dengan pengawasan yang ketat. 

Keempat, sanksi tegas dan efek jera sesuai hasil ijtihad khalifah. Bisa berbentuk publikasi tindak korupsi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai pertimbangan harta yang dikorupsi. 

Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua. Setelah berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi Gubernur Syam. 

Hal ini menjadi sebuah gambaran bahwa Islam bukanlah semata agama ritual saja namun juga sebagai 'qiyadah fikriyyah' dalam mengarungi kehidupan yang mampu menguraikan solusi tuntas pemberantasan korupsi. Wallahu a’lam bisshawab. [Ng]
 

Posting Komentar

0 Komentar